Bab 1
Aku Tag kalian disini yaa... berhubung prakata di up udah lama.
Buat yg mampir di ceritaku, yang suka baca berbagai genre, dibawah ini dafatar teman odoc yang bisa kalian baca selama bulan oktober. Yups, dimulai tanggal ini.
Scroll aja kebawah untuk bab satunya...🤗🤗
Semangat odoc semua...😍😍
1. BintangSarla+ reasons
2. Mahardika007 | [EX]FIRED
3. Kim_Hakimi + Ke Bacut
4. AlfiyahYaapa+ Indigo Keren
5. @matcha_shin + Dietary
6. zzztare + Teman Sejati
7. DhieKaviar + The O
8. putriaac + Medium Girl
9. rosianaq + Days After Die
10. Yastafid_jamie+ Revenge
11. Antrasena_ + Be Antagonist
12. Dee_ane + Mozaik
13. PuxxCho + Etc.
14. wishaka_ + Promise
15. shinnohikari01 + The Lost Memoir
16. knockon97+ Problem Solved!
17. Zeanisa_+ Dilarang Jatuh Cinta!
18. batiaratama + Between Us
19. Dashcube+ After Aiden Kissed Me
20. Marc_Eliana@+ Hati Bunga Sepatu
21. amaliafin_ + Goth-Loli
22. Qomichi+ Dear Our Beloved Stratosphere
23. WidiSyah + Star Sign: Lunarium
24. Jumaidapulungan21 + Menjemputmu
25. DaniyalDeb + Buku Deya
26. Ahzanysta + Endless Heart
27. faridusman84 + Against Destiny
28. hanavanka + Gravihati
29. yolaww + Mika Vs Pasukan Conidin
30. helloimaaa + A Good Friend
31. jimmy_wall + Lili's Love Story
32. opicepaka + Meretakkan Merekatkan
33. yourbellylee + More Than Signal
34. call_me_miss_L + Terjerat Berondong
35. I_Majid + Menuba
36. rachmahwahyu + Terpaksa Menikahi Dokter
37. Inassya_ + Goodbye
38.heuladienacie + Fourth Diaries
39. Pelangibetina + Cinde Rella
40. Desimala + Perfeksionis
41. lianaadrawi + Pesona CEO
42. Zika_Amell + Mata Batin Adinda
43. AilaRadit + Berlari Untuk Menyerah
44. alshabibil_ + I'm Secure
45. Melodybisu + Catatan Kecil
46. Lyla_ss + Perfect Student
47. HygeaGalenica + Valkyrie Inner Protector
48. @kianaalderi_ + NEVERLAND
49. NamikazeHana + Rose's Dilemma
50. DrReno + Choco Pie
51. Bukan Pembunuh
52. Servitarachma + Perfect News In Campus
53. caldromeda_+Dark Side
54. MoonChul-ah + Kiss Stealer
55. SarinaavaOn with The Stranger
Bab 1
"Dingin banget tanganmu, Key!"
Aku hanya tersenyum menimpali Hanna yang sedang menggenggam tanganku. Rihanna Shabira, teman pondokku dulu di Madura.
Aku tahu tidak ada namanya di hati, tapi bagaimanapun dia yang akan mengucap janji di hadapan semua orang, di hadapan Tuhan, bahkan penduduk Arsy menyaksikan.
Suara Rayyan mulai terdengar. Seketika pendengaran terasa hening, angin pun rasanya turut berhenti, bahkan detak jarum jam tak lagi terdengar. Seakan Tuhan dengan ajaib menghentikan semua aktivitas di langit dan di bumi, turut memerintahkan untuk mendengarkan janji diatas janji, peralihan sebuah tanggung jawab besar hingga akhirat kelak.
Dengan sekali tarikan napasnya telah mengubah statusku dalam hitungan detik. Aku tak percaya ini benar dan nyata. Aku bukan lagi anak gadis mamah, aku sudah jadi istri seseorang yang tidak aku cintai, seseorang yang baru kutemui seminggu yang lalu.
Sah.
Cairan bening menganak sungai di pipiku. Bukan, bukan seperti ini yang kumau, menikah karena perjodohan, terlebih aku belum usai kuliah, baru separuh jalan. Yang membuatku lebih mengenaskannya lagi adalah wali nikahku bukan Babah, tapi adikku. Rayyan.
Kepergian Babah sejak aku mau memasuki SMA mampu merubah semuanya, dari mamah yang sakit-sakitan, kakak-kakakku berjuang sendiri demi pendidikan, belum lagi aku yang harus mamah pasrahkan secepat ini agar tak terlalu menjadi beban. Masih ada dua adikku, laki-laki dan perempuan. Salah satu alasan aku mengiakan pernikahan ini adalah agar aku tak lagi menjadi beban mamah, terlebih aku memang tak bisa memebrikan apapun untuk mamah selain manut.
Aku tak mau melihat tatapan sendunya lagi saat kehilangan Babah. Aku tahu ada raut kecewa pada Tuhan namun ia tetap menanamkan, bahwa inilah takdir Tuhan. Dan aku tak mau melihat raut kecewa lagi di wajahnya jika aku menolak laki-laki baik yang mamah harapkan.
Ya, takdir Tuhan pula sekarang statusku berubah menjadi seorang istri. Ingat! ISTRI. ku tekankan sekali lagi, ISTRI. Dan aku geli. Aku tidak pernah menyangka label gadis pada diriku berhenti di titik ini.
Dan kali ini aku harus berdiri di atas podium yang berhiaskan bunga sana-sini, baju kebesaran dan tentunya keberatan, ditambah susunan bunga berbahan logam yang aku tidak mengerti bagaimana para petugas MUA memasangkannya, yang pastinya riasan di kepala membuaku pusing.
Sayangnya aku harus memasang topeng senyum untuk hasil pemotretan yang sempurna dan agar orang-orang mengira aku tak terpaksa, menanggap pernikahan yang bahagia padahal aku tersiksa, terlebih ini bukan karena ada rasa.
Sedang yang tertangkap oleh penglihatan, banyak orang-orang berlalu lalang, sibuk kesana-kemari memegang nampan, bersahut-sahutan, mengatur undangan, para tamu datang dan pergi.
Aku tidak ikut campur perihal berapa banyak undangan yang mamah sebar, sebegitu enggannya diriku pada acara sakral yang aku mau sekali seumur hidupku.
Lelah sebenarnya, ingin lari, ingin tidur, ingin melepas semua yang rasanya menyesakkan. Tapi, lagi-lagia aku tak ingin membuat wanita paruh baya yang kucintai kecewa, terlebih aku harus bahagia meski pura-pura.
"Hai, Key." Perempuan berdarah jawa, kulit sawo matang dengan hidung kecil menyapaku. Aku rasa ini seperti mimpi.
Undangan memang dikirim ke Jakarta, tentu saja aku tidak akan melupakan seseorang yang sudah seperti kakak bagiku, teman bermain semasa kecilku, gadis penyuka kamera yang selalu dibawanya kemana-mana, tak luput aku menjadi objek potretannya.
"Halo, Key?" sapanyalagi. Seseorang menyikutku halus.
"Kak Putri ...," seruku girang saat tersadar dari keterperangahanku.
Tanpa aba-aba aku menubruknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, sampai-sampai dia yang tidak siap dengan seranganku hamper saja menyapa lantai. Untung saja ada laki-laki di sampingnya yang berusaha menahannya.
Eh? Laki-laki disampingnya? Seingetku kak Putri tidak punya kakak laki-laki?
Aku kembali ke posisi semula setelah adegan kecil yang begitu drama.
"Gak nyangka kak Putri mau datang." Aku mulai mengusap cairan bening dengan tisu yang sejak tadi kupegang.
"kak Putri apa kabar? Kukira kak Putri nggak bakalan datang. Karena Mamah bilang sejak tante ...."
"Sttt... kita lanjut nanti. Ternyata adik kecilku sudah dewasa, ya. Hihi."
Kami berpelukan lagi.
"Sekarang aku tanya, kamu bahagia?" bisiknya tepat ditelinga kiri.
Tanpa kusadari pipiku kembali dialiri cairan hangat yang kemudain dingin tersapu angin. Aku mengangguk lalu sibuk menampilkan seyum terlebarku saat Kak Putri melepas pelukan kami. Aku harap senyumku tidak terlihat membohongi.
"Dia siapa?" kucoba mengalihkan tatapan kak Putri yang mencoba mencari jawaban terjujur dari mataku dengan menanyakan laki-laki jangkung yang berdiri di sampingnya, merangkulnya posesif, laki-laki yang sama yang menyangga kak Putri agar tak terjatuh.
"Suamiku," jawab kak Putri dengan senyum kikuknya, melirik seseorang yang disebutnya suami ragu-ragu.
"Aku Ammar, suami Putri. Selamat ya, Key." Tatapan laki-laki yang menyebut dirinya Ammar berpindah pada pria yang berdiri di sampingku lalu menyalaminya, saling menyebutkan nama.
"Barokallahulakuma wajama'a baynakuma fii khair," lanjutnya lagi. Lalu keduanya pamit kembali ketempat yang telah disediakan.
Jujur saja, hal ini lebih membuatku kaget. Bagaimana kak Putri menikah? Sedang mamah bilang sejak tante Khadijah sakit, kak Putri seolah menutup diri dari siapapun, ia berhenti kuliah hanya ingin menemani tante Khadijah, bahkan saat aku mencoba menghubunginya tidak bisa, mendengar kabar dia menikah pun nggak pernah, dan tiba-tiba menghadiri undangan didampingi suami.
Percakapan berlanjut dengan kak Putri saat sore menjelang pulang. Tidak ada percakapan yang mungkin akan memberatkan hati kita masing-masing.
Aku merasa kita seolah terjebak pada situasi yang sama, pernikahan paksa yang tidak bisa untuk menolaknya. Hanya saja mungkin situasinya beda, kak Putri akan lebih mudah mencintai suaminya karena sebelumnya tidak ada yang mampu manarik hatinya. Sedang aku? Situasiku lebih rumit.
Bukankah begitu? Setiap manusia merasa dirinyalah yang memiliki masalah ter-rumit, takdir ter-buruk, merasa apa yang dimiliki orang lain lebih baik.
Mungkin begitu yang dimaksud rumput tetangga lebih hijau. Seperti kali ini, yang aku rasa takdir kak Putri lebih beruntung, lebih mudah mencintai suaminya tanpa terikat masa lalu, tanpa tersiksa dengan bathin sendiri.
Tapi kenyataannya? Aku pun tidak tahu apakah benar yang di alami kak Putri adalah seperti yang aku pikir. Biar saja itu menjadi urusan pribadi kak Putri, aku tidak berhak tahu, terlebih kak Putri adalah tipe yang memendam semuanya sendiri.
Bukankah Tuhan sudah bilang, bahwa penglihatan manusia terbatas. Tapi kenapa masih banyak manusia menganggap apa yang dilihatnya adalah benar. Termasuk aku yang masih menganggap kebenaran tentang apa yang aku lihat perihal kak Putri.
"Key, aku pamit ya?"
"Loh? Kak Putri gak nginep sini? Kan jauh baliknya, nggak cape gitu?"
"Nggak donk. Kalo nginep sini entar malah ganggu manten baru," jawab pria yang membuatku jengah melihatnya, merangkul kak Putri erat seolah takut ada yang mengambilnya. Sedang kak Putri cekikikan di sampingnya mendengar jawaban spontan sang suami.
"Tapi beneran mau balik? Key, kan masih kangen." Terserah apa kata orang mau bilang apa jika melihatku merajuk seperti anak kecil.
"Iyya, Key. Aku gak bisa lama-lama ninggalin Ibu dirumah."
"iyya deh, hati-hati. Fii amanillah, Kak."
Keduanya berbalik dan menjauh, sekejap kemudian hilang dari pandangan. Keduanya seperti sepasang sejoli yang tak mau kehilangan, tak mau melepaskan, bahkan diantara keduanya tak pernah ada jarak saat berdampingan. Bersamaan dengan itu pula waktu seolah merangkak usai, orang-orang mulai berangsur pulang, aku sudah digiring ke kamar untuk melepas gaun kedua yang kupakai. Sungguh melelahkan.
Waktu maghrib telah tiba dan seharian aku berdiri di atas pelaminan, meninggalkan solat dzuhur dan asar. Aku tahu hal itu tidak pernah dibenarkan, beberapa kali ikut bahtsu masail di pesantren tidak pernah ada bahasan membenarkan. Aku kesal sebenarnya, tapi mungkin sekali ini saja, semoga Tuhan memaafkan.
***
"Mamah ketemu kakPutri?"
Mamah mengangguk sebagai jawaban sambil meniriskan ikan untuk makan malam.
"Mamah tahu kalau kak Putri kesini sama suaminya?" lagi-lagi Mamah hanya mengangguk sebagai jawaban sambil meletakkan ikan-ikan yang sudah mengering di mejamakan. Sedang aku dengan santai masih mengelap piring.
"Key gak nyangka kak Putri bakalan mau datang jauh-jauh, padahal kata Mamah, Kak Putri menutup diri. Bahkan Key saja susah ngehubunginnya."
"Kan ada suaminya, Key."
"Tapi, kan selama bertahun-tahun gak ketemu orang-orang, Mah, nggak mau bersosialisasi. Kenapa bisa nikah?"
"Mereka dijodohin, Key."
Key sudah tahu itu, Mah. Ya, aku sudah tahu perihal itu. Kak Putri sudah bilang, namun singkat. Aku yakin mamah lebih tahu banyak mengingat Ibu Kak Putri masih berkirim kabar. Tapi, aku menanyakan ulang karena ingin tahu reaksi mamah soal pernikahanku, aku ingin memancingnya kenapa menerima Yasfhi sebelum bertanya padaku.
"Berarti kak Putri terpaksa donk nikahnya?"
Mamah hanya mengangkat bahunya tanpa menatap teman bicaranya.
"Key juga di jodohin, kan, Mah?" mamah menggeleng. Ia telah duduk menungguku menyelesaikan piring.
"Lalu?"
kalau bukan dijodohin apa namanya? Dia yang ingin meminang? Kita sebelumnya tidak pernah kenal, hanya datang saat tanggal pernikahan telah ditentukan.
Arghh.
Mamah hendak menjawab tapi Rayyan datang dan melapor bahwa Alif-anak kedua kak Ilana-menangis di Bang Iwan. Rayyan kemari berniat mencari Teh Ilana, anak pertama mamah.
Makan malam berlangsung, tidak ada Teh Ilana disini, dia akan makan setelah bang Iwan selesai. Kerja sama yang baik. Sedang anak Teh Ayna ditemani Iya-adik terakhirku. Abidah Daniyah.
"Rayyan kapan balik pondok?" kali ini mamah yang bersuara. "biar mamah siapin apa-apa yang mau dibawa."
"Besok sore, Mah."
"Bentar doang A' izinnya?" Teh Ayna menimpali.
Karena Rayyan laki-laki sendiri diantara kami berlima, kami sepakat memanggilnya Aa', satu-satunya laki-laki yang akan melindungi mamah, yang memiliki tanggung jawab atas mamah jika semua anak perempuan mamah sudah menikah.
Para kaum adam telah usai, tinggal kami ber-empat di mejamakan; mamah, Rayyan, Teh Ayna, dan aku. Ditambah Teh Ilana yang baru datang bergabung.
"Iyya, Teh, Ustadz bilang soalnya Cuma depan rumah, pondoknya Ray seberang jalan doank." Suaranya terdengar parau.
Kami tertawa bersama melihat raut wajah Rayyan yang sepertinya berat menerima izin libur yang sebentar.
"Teteh baliknya juga sore kok A', jangansedih. Kita sama, Cuma dapet izin bentar doank. Hihi."
"Loh, Farhan bilang lusa baru balik, Ay," timpal Mamah seolah keberatan.
Farhan yang mamah bilang suami kak Ayna, mereka bertemu di pesantren, tempat kak Ayna kuliah dan bang Farhan salah satu guru di pesantren. Mereka lebih beruntung, menikah berdasarkan keyakinan dari kedua belah pihak. Nah, aku?
"Nggak jadi, Mah. Kalo masih balik lusa, besoknya Ayna langsung ngajar, belum lagi masih ribet sama krucil. Jadi pulang masih ada jeda istirahat dan beberes di rumah." Mamah mengangguk paham. Meski ada raut sedih disana, mamah seolah memendamnya sendiri. Aku tahu mamah akan sendiri kalau anaknya balik kerumah masing-masing, aku pun juga akan pulang ke rumah suami, Rayyan dan Iya balik pondok.
"Tadi pagi pas walimah, kenapa cuma Aldi yang diajak? Ilyas nggak diajak?"
Deg.
Pertanyaan mamah kembali diajukan untuk Rayyan. Kenapa mamah menanyakan Ilyas di depanku? Ah, aku lupa bahwa mamah tidak tahu perihal kedekatan kami-aku dan Ilyas, bahkan Rayyan pun tidak tahu, atau mungkin dia pura-pura tidak tahu.
"Gus Ilya sudah pindah pondok, Mah, ke Sidogiri."
Aku tercekat, dadaku seolah tertimpa tumpukan benda berat. Ingin pergi, tapi makanku belum usai. Tak ingin mendengar, tapi aku ingin tahu tentangnya. Tiga bulan tanpa kabar, bahkan pergi tanpa pamit. Pindah pondok katanya? Dan tidak mengabariku? Apa aku tidak berarti buatnya? Apa semua omongannya hanya bualan semata?
Sesak, sakit. Aku yang sudah tidak peduli kembali mendengar kabar ini. Apa Ilyas benar menganggapku tak ada? Jadi selama ini kita apa? Tentang rancangan masa depan yang sudah tertata, bahkan urutan kehidupan yang sudah ditulis bersama, Ilyas tinggalkan tanpa rasa beban yang mengudara. Apa semua lelaki sebangsat itu? Babah pengecualian.
"Sejak kapan?"
"Udah tiga bulan yang lalu."
"Ilyas siapa, Mah?" tanya Teh Ilana setelah pringnya penuh dan duduk tepat di samping kananku, menggantikan sosok mas Yasfhi yang sebelumnya duduk disana.
"Itu, teman Rayyan di pondok. Sering kesini ikut Rayyan." Teh Ilana mengangguk paham.
"Kenapa pindah?"
"Abinya yang minta pindah." Aa' sambil memakan apel di atas meja yang sudah Teh Ayna potong dadu, Teh Ayna sendiri membereskan piring-piring kotor, sedang Teh Ilana mulai menyendokkan nasi ke mulutnya setelah mendengar jawaban Rayyan.
"Oh iyya, Ray lupa kalau Gus Ilyas nitip salam buat Mamah dulu, terimakasih sudah mau jadi ibu sementara buat Gus Ilyas, dan minta maaf nggak bisa pamit langsung. Gus Ilyas bilang kalau masih pamit ke Mamah, bakalan ketahuan Abinya bahwa dia sering keluar pesantren, soalnya pas di jemput dadakan." Mamah mengangguk.
"Meski Gus Ilyas udah nggak pernah kesini lagi ketemu Mamah, katanya Mamah tetep orang tua Gus Ilyas. Gus Ilyas sampe nangis loh mah waktu itu."
Kulihat dengan samar-samar mamah seolah menghapus sesuatu di ujung matanya, sedang air yang menghalangi penglihatanku meronta untuk keluar. Kutengadahkan kepala, memaksa agar cairan bening ini tidak lolos dan menelusuri pipi-pipiku. Kupaksakan menyendok nasi yang hampir usai dengan penglihatan remang-remang, menyuapinya ke mulut sendiri, mengangkat muka lagi agar genangan di mataku surut dengan sendirinya.
"Pantas tiga bulan terakhir tiap kamu pulang nggak pernah bawa Ilyas lagi."
Mamah biasa memanggilnya Ilyas meski dia seorang Gus karena ini permintaannya ke mamah untuk menganggapnya sebagai putranya. Permintaan yang sama pula saat kami saling kenal, dia melarangku memanggil Gus.
Detik kemudian, aku berdiri dan lari ke kamar. Padahal, piring kotor belum kubereskan. Aku tidak tahu apalagi yang dibicarakan Mamah dan Rayyan tentang Ilyas. Yang kutahu, dadaku sesak, nafasku berderu tak teratur, hidungku mulai tersumbat dan basah, cairan bening menelusuri kulit pipiku hangat.
Sampai langit gelap pekat, dadaku masih terasa sesak, bantal yang kutiduri basah sempurna, sunyi mulai menghampiri, krucil-krucil sudah banyak yang terlelap. Para orang dewasa masih asik membicarakan masalah kecil acara yang tidak berpengaruh, menbicarakan banyak hal tentang apa-apa yang wajar dalam keluarga. Entah sampai kapan aku akan terus membasahi bantal. Terakhir kudengar suara mamah yang mulai meminta menantu barunya untuk istirahat.
Publish: 30 september 2020
Ig: melodybisu
Wp: melodybisu
KBM: melodybisu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top