Playing With The Devil 6
"Ck. Gimana bisa kamu seceroboh ini sih, Liz?"
Eliz menunduk dalam. Bagai prajurit kalah perang, ia tak ubahnya seperti seorang pesakitan di depan Dika. Tak mampu mengatakan apa pun bahkan untuk membela dirinya sendiri. Ia benar-benar terhempas ke dasar jurang yang bernama malu tanpa akhir.
Sudahlah setengah telanjang, nungging di depan cowok semacam Dika, terus pakai acara jatuh juga. Ini Tuhan lagi buat stand up comedy atau gimana sih ceritanya? Ya kali aku jadi tumbal.
Tangan Eliz menggenggam erat simpul handuk di depan dadanya. Dika menaruh sejenak lampu darurat di lantai dan meraih kaki cewek itu. Memeriksanya. Dan rintihan samar lolos dari bibir Eliz ketika satu bagian di bawah mata kakinya tersentuh jari Dika.
Dika menatap Eliz. "Sakit?"
"Ya iyalah sakit!" sentak Eliz. "Masa enak sih ?"
Embusan napas Dika mengalun lebih panjang dari biasanya. Sekilas ia tampak geleng-geleng kepala mendapati letupan emosi Eliz.
"Rasanya sakit dan ... memalukan!" lanjut Eliz dengan wajah memanas. "Ini semua gara-gara kamu dan PLN!"
Dika tersentak. "Loh kok aku sih?"
"Iya gara-gara kamu. Karena kalau seandainya kamu nggak ada, aku nggak bakal ngalamin hal memalukan kayak ini! Kalau pun aku bakal telanjang, seenggaknya itu aku sendiri! Dan kalau pun aku jatuh, itu juga sendiri!"
"Dan kamu mau sendirian di rumah gelap-gelapan kayak gini?" tanya Dika sinis. "Cih! Kamu kan penakut."
Mulut Eliz mengerucut. Yang dikatakan Dika memang benar. Tapi, bukan berarti ia akan mengakui itu. Alih-alih ia justru melanjutkan umpatannya.
"PLN sialan! Ngapain juga madamin listrik pas hujan angin gini?"
"Justru itu! Mungkin bahaya kalau tetap dinyalain. Atau memang ada yang rusak gitu. Kamu ini pikirannya negative thinking mulu sih. PLN tuh juga kerja taruhannya nyawa kali."
Argumen Dika dengan telak membuat Eliz terdiam seketika. Tak bisa membalas lagi membuat Eliz pada akhirnya hanya mendengkus kasar.
Dika memasukkan ponselnya yang tergeletak di lantai seraya berdoa di dalam hati. Semoga saja benda itu tidak rusak setelah turut terjatuh bersama dengan Eliz. Ia menyerahkan lampu darurat pada Eliz.
Eliz menerimanya. Tapi, matanya lantas membesar. Tepat ketika dilihatnya Dika yang beranjak tampak ingin meraih tubuhnya.
"E-e-eh! Kamu mau ngapain?"
Kedua tangan Dika sudah bergerak. Terulur ke arah Eliz. Dalam gestur yang membuat cewek itu memasang antisipasi.
Dika mengerjap-ngerjap bodoh dengan dua tangan yang menggantung. Dalam posisinya yang setengah berjongkok, ia tampak seperti ingin meraih lutut dan punggung Eliz. Ingin menggendongnya.
"Kamu mau di sini sampe pagi?" tanya Dika dengan ekspresi polos. "Cuma pake handuk doang?"
Eliz membuka mulut. Ingin menjawab pertanyaan itu. Tapi, Dika kembali bergerak. Tanpa menunggu persetujuan cewek itu, ia meraih tubuh Eliz. Membawanya untuk terjatuh dalam gendongannya.
Eliz merasa tubuhnya melayang. Sontak membuat ia berpegang pada Dika dengan satu tangan. Sementara tangannya yang lain memastikan lampu darurat aman bersama dengannya.
Diam, tak mengatakan apa-apa, Eliz menggigit bibir bawahnya. Menundukkan pandangan. Berusaha tak melihat pada Dika yang melangkah dalam irama teratur. Membawa dirinya berayun lembut dalam setiap pergerakan yang ia lakukan.
Sesuatu sepertinya ada yang salah di sini. Sesuatu yang membuat Eliz menahan napasnya. Mendadak ... ia merasa sesak.
Deg!
K-kenapa jantung aku ... jadi kacau gini?
*
Satu ketukan pelan membuat Eliz melihat pada pintunya. Ia tau itu siapa. Tentu saja adalah Dika.
"Bentar, Dik."
Eliz menyempatkan diri untuk menuntaskan sisiran rambutnya terlebih dahulu. Barulah kemudian ia beranjak. Membuka pintu dan menyadari bahwa ternyata ia lupa menguncinya.
Astaga. Untung aja itu cowok nggak langsung masuk.
Mendapati Dika yang berdiri di depanya, Eliz dengan sengaja tidak membuka lebar pintunya. Seolah khawatir kalau Dika mendadak masuk saja. Ck. Ia kan hapal betul bagaimana sifat cowok itu.
"Apa lagi?" tanya Eliz seraya membuang napas panjang. "Laper lagi?"
Dika menggeleng. Ia menunjukkan ponselnya. "Batre aku low. Kamu ada power bank?"
"Ck. Selalu aja ngerepotin."
"Kalau-kalau kamu lupa, kalau bukan karena aku," lirih Dika mengulum senyum geli, "Sekarang ini kamu masih pake handuk doang di bawah."
Wajah Eliz memanas. Yang dikatakan oleh Dika memang benar. Tapi, sejurus kemudian sesuatu melintas di benaknya. Matanya melotot.
"Astaga! Kok aku baru nyadar sih?"
Dika bingung. "Apa?"
Eliz tidak memedulikan Dika. Alih-alih ia langsung mengambil power bank di lemari nakasnya. Menyerahkan benda itu pada Dika dan berkata.
"Coba kamu telepon hp aku deh. Mudah-mudahan aja itu hp masih belum tewas beneran."
Masih ada setitik harapan Eliz. Semoga saja masih ada sedikit baterai yang tersisa. Paling tidak untuk menerima satu panggilan dari Dika.
Dika yang tidak mengerti maksud Eliz, tetap saja melakukan apa yang cewek itu minta. Ia menekan kontak Eliz dan sejurus kemudian satu suara terdengar.
Can I go where you go?
Can we always be this close forever and ever?
And oh, take me out and take me home (Forever and ever)
You're my, my, my, my
Lover
Dika beranjak mencoba menerka asal suara itu. Langkah kakinya pelan, seolah sedang mengendap-ngendap agar tidak ketahuan pencuri yang ingin ditangkap.
Ck, pikir Eliz.
Dika menunduk di sisi tempat tidur Eliz. Tangan cowok itu meraba ke sela-sela dinding dan---.
"What's D?"
Dika bertanya seraya menunjukkan layar ponsel Eliz yang masih sedikit berdering, menampakkan nama kontak yang ia beri untuk nomor Dika. Lantas layar itu padam, tepat ketika Dika memutuskan panggilannya.
"Semacam simbol nama gitu?"
Eliz merebut ponselnya dari tangan Dika. "D for you, Dik! Tinggal pilih," tukasnya seraya menyambungkan ponsel itu dengan power bank. "Mau Damnit atau..."
"Dearest?"
"Eh? Stres!"
Dika nyengir. Ia meraih satu kabel yang masih tersisa dan turut mengisi daya ponselnya. Tiga benda itu langsung Eliz letakkan di atas nakasnya. Sementara Dika tampak mengedarkan pandangannya. Melihat-lihat kamar Eliz. Hingga matanya membentur sesuatu di nakas.
"Kamu main remi?"
Dika menimang sekotak kartu remi. Melihat ke belakang melalui pundaknya. Pada Eliz yang mendekatinya.
"Kalau lagi ada Mas Noel aja. Dan itu pun baru jarang," jawab Eliz dengan mata menyipit. "Mau ngapain?"
Dika tertawa hingga matanya setengah terpejam. "Kamu tuh bawaannya defensif banget ya kalau dengan aku? Dikit-dikit nodong. Mau ngapain mau ngapain? Hahahaha."
Bola mata Eliz berputar-putar. "I know you, Dik. Dari dulu kamu nggak berubah. Usilnya kelewatan."
"Nggak. Aku anak baik-baik. Cuma kamu aja yang nganggap aku jahil."
"Kamu baik-baik cuma di hadapan orang-orang. Dengan aku?" Eliz menghempaskan kedua tangannya ke atas. "Kita sama taulah ya gimana sifat kamu yang dari kecil udah sering ngusilin aku."
"Tenang, aku lagi nggak niat mau ngusilin kamu malam ini kok." Dika mendadak duduk di lantai yang dialasi karpet dan membuka kartu. "Dari pada ngusilin kamu, mending aku kasih kamu kesempatan buat mainin aku malam ini."
Mata Eliz menyipit. "Apa?"
"Truth or dare." Dika menyeringai. "Kamu bisa main apa?"
Sejenak otak Eliz berpikir. Dengan kedua tangan yang kemudian bersedekap di depan dada, ia tampak menilai Dika. Mungkin mencoba mempertimbangkan keseriusan perkataan cowok itu.
Dika tersenyum dengan mengedip-ngedipkan mata. Bersila dan memamerkan remi di tangannya.
"Ehm ...."
Eliz mendehem dengan pemikiran yang langsung berputar-putar di benaknya.
Mainin Dika? Balas ngejahilin dia? Ehm ... kayaknya enak juga kali ya kalau lihat Dika hujan-hujan gini tidur di teras? Atau mungkin nyuruh dia lari keliling kompleks nggak pake baju?
"Ehm!"
Eliz buru-buru mendehem lagi. Demi mengusir sekelumit senyum geli yang berencana untuk langsung menunjukkan diri. Ia harus pura-pura tenang. Ide licik itu tidak boleh terendus Dika.
"Oke!" terima Eliz kemudian dengan ekspresi sedikit angkuh. Turut bergabung dengan Dika di karpet tebal nan lembut itu. Duduk tepat di hadapannya. "Kita main. Hitung-hitung buat ngabisin waktu sebelum tidur."
Wajah Dika tampak cerah. "Mau main apa?"
"Jangan song!" jawab Eliz cepat. "Aku nggak bisa."
"Terus? Kalau bukan song, kita main apa?"
"Cangkul!"
Tawa Dika sontak pecah. Ia terbahak-bahak hingga matanya berair. Eliz bingung. Memangnya ada yang lucu dari jawabannya?
"Astaga, Liz! Kamu udah segede ini, tapi cuma bisa main cangkul?"
Oke, Eliz menemukan benang merahnya. Tapi, apa boleh buat. Dirinya memang hanya bisa main cangkul.
"Eh. The real game is cangkul. Nunjukin seberapa lucky kita. Howev, aku pikir aku lebih punya Dewi Fortuna ketimbang kamu."
"Hahahahaha. Sesuka kamu deh."
Eliz beranjak seraya menaruh lampu darurat di lantai. Tak terlalu jauh dari tempatnya dan Dika duduk saat ini.
Kedua tangan Dika bergerak dengan lincah mengocok tumpukan kartu itu. Gerakannya pelan dan teratur. Dan itu membuat otot bisep juga trisepnya menunjukkan diri dalam tampilan slow motion yang membuat mata Eliz gatal.
Dika membagi 4 kartu secara bergantian untuk mereka. Satu kartu pembuka ia taruh di tengah. Tiga lupis.
Sebelum meraih kartu miliknya, Dika meletakkan sisa kartu di samping kartu pembuka. Dan nyaris bersamaan dengannya, Eliz pun meraih kartu miliknya. Dika menyeringai.
"Poker face, Liz. Ketahuan banget aku bakal menang babak pertama ini."
Eliz memberengut. Tidak membalas perkataan itu lantaran sibuk menggerutu di dalam benaknya.
Gimana aku nggak shock kalau kartu yang aku punya semuanya sekop?
Eliz tidak punya pilihan lain. Tangannya terulur. Meraih tumpukan kartu. Membuat Dika tertawa.
"Eh? Udah nyangkul aja malam-malam."
"Ini kamu sengaja kan ngasih aku kartu nggak ada yang bener. Kamu pasti udah curangin aku dari awal."
Dika melempar kartu enam lupis. "Lah! Kamu malah nuduh. Hahahaha. Aku tuh nggak pernah curang loh."
Tentu saja Eliz tidak percaya. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Selain menahan geram dan kembali mengambil kartu baru. Untung, di kartu keempat yang ia ambil Eliz berhasil mendapatkan lima lupis.
Dika menyeringai. Bersiap mengeluarkan kartu selanjutnya. Dan sorot mata cowok itu membuat Eliz membeku.
Please, jangan.
Doa Eliz tidak dikabulkan Tuhan. Karena Dika jelas-jelas mengeluarkan kartu dua lupis!"
Eliz mengerang. "Tuh kan! Kamu sengaja!"
"Hahaha. Ini permainan, Liz. I play to win, of course," ujar Dika dengan mata berkilat-kilat. "Aku emang sengajalah!"
Eliz berusaha menahan emosi mendengar perkataan Dika. Tapi, apa mau dikata. Babak pertama memang menyebalkan. Kartu lupis itu malapetaka untuknya. Dan walaupun ia berniat untuk balas menyerang dengan menggunakan kartu sekop dan keriting yang sudah ia koleksi -cangkulan parah memang, itu tidak berguna sama sekali. Mengingat dari awal Dika belum ada mencangkul dan ternyata cowok itu dengan cerdik -atau dengan tega kalau menurut versi Eliz- membantainya dengan lupis sialan itu.
Eliz mengumpulkan semua kartu itu. Dan menatap Dika ketika cowok itu bertanya padanya.
"Truth or dare, Liz?"
Otak Eliz berpikir. Matanya melihat dengan jelas sorot jahil di mata Dika. Ia tidak ingin mengambil risiko.
Kalau aku sampe milih dare, jangan-jangan Dika malah nyuruh aku buat nyuci pakaian dalam dia lagi.
Ih! Hanya dengan membayangkannya saja Eliz sudah gemetaran. Apalagi kalau itu benar-benar jadi kenyataan? Pasti ia akan pingsan di tempat!
"Truth!"
Dahi Dika sedikit mengerut. Sepertinya menyangsikan pilihan Eliz. "Yakin?"
Eliz mengangguk mantap.
"Padahal aku kan nggak mungkin banget loh nyuruh kamu gedor-gedor rumah Pak RT malam-malam gini cuma buat minta segelas teh panas."
Eliz melongo. Untung deh nggak milih Dare.
"Oke. Aku mau nanya." Dika menatap Eliz tajam. "Kamu tuh kenapa sih bawaannya suka emosi terus kalau deket dengan aku?"
Dengkusan Eliz lolos. Wajahnya tampak menyiratkan ekspresi tak percaya untuk pertanyaan itu.
"Itu untuk apa ditanyain sih? Kayaknya seisi alam semesta juga tau jawabannya. Dan itu karena dari dulu kamu udah jahil terus dengan aku."
Dika mengusap ujung dagunya. Seolah sedang berpikir. "Tapi, perasaan dulu waktu kecil kita main-main ... kamu juga senang-senang aja. Nggak kayak sekarang. Kenapa?"
Eliz menghela napas panjang. Mengumpulkan kartu yang berserakan. Mulai mengocoknya.
"Peraturannya cuma buat satu pertanyaan, Dik, kalau-kalau kamu lupa."
Tentu saja. Dika mengangguk dan tidak mendesak. Alih-alih ia langsung meraih kartu yang sudah Eliz bagikan.
Kartu joker terbuka di antara Eliz dan Dika. Hal itu tidak akan disia-siakan oleh Eliz. Secepat mungkin tangannya bergerak. Membuka satu kartu.
"Sialan!" umpat Dika. "Cepet amat sih!"
Eliz tergelak melihat ia yang berhasil membuka kartu dua hati. Sekelumit harapan timbul. Mungkin saja ia bisa mendapatkan kesempatan untuk menyerang balik Dika.
Namun, harapan tinggal hanya harapan. Harapan Eliz tidak menjadi kenyataan ketika Dika dengan seringai di wajahnya mengeluarkan kartu miliknya, sembilan hati. Lebih dari cukup untuk memberikan kesempatan balik bagi dirinya. Dika mengeluarkan delapan keriting.
"As!"
Penuh dengan nada ejekan, Eliz membalas kartu Dika. Dan ketika tiba gilirannya untuk mengeluarkan kartu selanjutnya, ia berpikir.
Tadi pas aku ngasih kartu dua hati, Dika langsung ngeluarin sembilan hati. Dan itu artinya Dika nggak punya kartu hati lain yang lebih kecil. Jadi ....
"Good one, Liz, good one." Dika mengangguk-angguk melihat Eliz mengeluarkan empat hati. "Lumayan ada perlawanan nih kayaknya."
Eliz menyeringai melihat Dika yang bergerak untuk cangkulan pertama di babak kedua. Ia bersiap untuk bernyanyi. Tapi ...
"Hahahaha."
Dika meleletkan lidah seraya memamerkan kartu di tangannya. Wajah Eliz yang semula cerah oleh kesenangan sontak berubah. Bahkan rasa senang itu hanya bisa ia rasakan tak lebih dari dua detik lamanya.
"Kayaknya Dewi Fortuna kamu selingkuh ke aku deh malam ini. Tau banget sih Dewi Fortuna mana cowok cakep. Hahahaha."
Eliz hanya mencelos melihat Queen yang Dika keluarkan.
"Giliran aku."
Mata Dika memicing. Terlihat dengan jelas bahwa cowok itu akan menyerang Eliz. Cewek itu membeku.
"Aku harap kamu ada lupis."
"Shit!"
Dika kembali tertawa ngakak. Penuh geram Eliz kembali mencangkul.
"Cangkul cangkul cangkul yang dalam."
Dika mulai bernyanyi ketika melihat sudah hampir setengah kartu berpindah di tangan Eliz. Dengan penuh riang gembira. Amat bersemangat dengan sesekali tepuk tangan yang ia lakukan.
"Menanam jagung di kebun kita. Ups! Hahahaha. Udah nemu si lupis."
Eliz dengan kesal membanting sepuluh lupis itu. Dan secepat kilat ia lalu mengeluarkan kartunya yang lainnya. Babak kedua ini sepertinya Eliz akan kalah lagi.
"Truth or dare, Liz?"
Eliz kembali mengumpulkan kartu-kartu itu. "Truth."
"Oke." Dika sedikit mengubah posisi duduknya. "Lanjutan pertanyaan tadi. Di satu masa, dulu, kita main-main buat sama-sama happy. Tapi, kayaknya kamu jadi nggak suka main dengan aku lagi. Kenapa?"
Eliz mengembuskan napas dengan pelan. "Soalnya kamu ngusilin aku terus. Dan aku nggak suka jadi mainan kamu terus."
"Kamu emosian dengan aku karena aku suka jahilin kamu. Kamu nggak mau main dengan aku lagi karena aku suka ngusilin kamu," simpul Dika. "Kenapa jawabannya kayak yang sama gitu?"
"Ya apa boleh buat. Memang gitu kenyataannya. Aku nggak bohong."
Dika mengerutkan dahinya dan membiarkan Eliz untuk kembali mengocok dan membagikan kartu. Kali ini, Eliz merapal jampi-jampi di dalam hati.
Cukup sudah Dika nelanjangin aku dengan dua pertanyaannya itu. Babak ketiga ini, aku yang harus balik nelanjangin dia.
Dan akhirnya ....
"Yes!"
Seruan Eliz terdengar begitu nyaring. Kedua tangannya terangkat ke atas. Lebih dari cukup untuk membuktikan betapa cewek itu senang kali ini. Karena untuk pertama kalinya, ia berhasil menang!
"Truth or dare, Dik?"
"Truth."
Kesenangan Eliz meredup. Tampak bibirnya berkedut.
Ugh. Kenapa dia nggak milih dare aja coba?
Dika tertawa. Tentu saja matanya tidak akan luput melihat kekecewaan yang tercetak nyata di wajah Eliz. Ia bisa menebak.
"Kamu nggak kepikiran buat nyuruh aku lari keliling kompleks malam-malam gini kan?"
Eliz mengerjap bodoh. Kok dia bisa tahu?
Namun, Eliz tidak akan mengakuinya. Alih-alih ia menggeleng. Menerima pilihan Dika.
"Oke, truth."
Wajah Eliz seketika berubah serius. Dalam hitungan detik yang singkat, sepertinya cewek itu mendapatkan pertanyaannya.
"Ini karena kamu yang mancing. Jadi, aku nyambung aja."
Dika mengangguk. "Oke."
"Kenapa kamu suka banget jahilin aku?" tanya Eliz seraya buru-buru mengangkat satu tangannya. "Jangan jawab dengan jawaban: karena kamu enak buat dijahilin, Liz." Cewek itu geleng-geleng kepala. "Not accepted."
Kekehan samar Dika lolos. Ia menarik napas dan bersedekap. Tampak santai saja ketika menatap Eliz tanpa kedip sekali pun.
"Oke. Jawabannya simpel," ujar Dika kemudian. "Karena cuma dengan ngejahilin kamu aku bisa dapat perhatian kamu lagi."
T-tunggu.
Mata Eliz mengerap berulang kali. Sepertinya ia mendapatkan jawaban yang di luar dugaannya. Jawaban yang membuat otaknya seketika butuh waktu untuk berpikir. Mencerna dengan baik apa maksudnya.
A-apa? Tadi Dika ngomong apa? Ehm ... semacam ada perhatian-perhatiannya gitu kan?
Sepertinya Eliz butuh konfirmasi dulu. Khawatir jangan-jangan telinganya salah mendengar. Maklum sih. Di luar kan sedang hujan badai. Itu bisa sekali mengganggu sistem kerja organ pendengarannya.
"M-maksud kamu a---"
"Kalau-kalau kamu lupa, Liz," potong Dika cepat. "Peraturannya cuma buat satu pertanyaan."
Sial!
Eliz tidak bisa berbuat apa-apa. Selain mengembuskan napas panjang dengan rasa sesak yang membuat dadanya tak nyaman. Keadaan yang membuat ia jadi bertanya-tanya.
Ini kenapa dari tadi badan aku kayak lagi terganggu gitu ya sistem kerjanya?
Nyatanya menghirup udara dalam-dalam tidak memberikan dampak banyak untuk cewek itu. Jantungnya yang entah mengapa berdetak dengan cepat, tidak bisa untuk didamaikan. Terutama ketika otaknya memutar perkataan Dika tadi.
"Karena cuma dengan ngejahilin kamu aku bisa dapat perhatian kamu lagi."
Eliz meneguk ludah. Satu pertanyaan besar di benaknya semakin membuat dirinya tak nyaman.
I-itu maksudnya apa ya?
Dika mengocok kartu remi. Memberikan waktu sejenak bagi Eliz untuk melihat melewati ventilasi jendela. Demi mendapati hujan yang masih turun dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Begitu pula dengan listrik yang belum menunjukkan harapan akan menyala dalam waktu dekat. Padahal saat itu sudah hampir tengah malam.
"Ayo! Kita mulai lagi."
Merapalkan doa yang sama, Eliz mengambil empat kartu miliknya. Sambil melihat pada kartu pembuka. Dan ketika ia mendapati kartu apa yang ia dapat, doanya berhenti seketika di tengah jalan. Sudah bisa menebak, ia tau ke mana babak keempat itu akan membawanya. Kekalahan.
Dari empat kartu, Eliz hanya mendapatkan dua kartu. Yaitu, sekop dan hati. Kartu yang sama sekali tidak berguna bagi Eliz. Lantaran kedua kartu itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk menandingi kartu pembuka.
Tebak. Apa kartu pembuka itu? Oke, benar! Lupis.
Tidak terkira lagi betapa geramnya Eliz melihat kartu pembuka itu. Hingga ia berjanji di dalam hatinya.
Ingatkan aku untuk nggak makan kue lupis dalam sebulan ini.Aku benci lupis.
"Kamu menang lagi," lirih Eliz lesu. Tepat ketika pertandingan keempat itu breakhir. "Ini kamu kayaknya memang curang. Masa dari tadi aku nggak pernah sekali pun dapat lupis sih?"
Dika menyeringai. "Dewi Fortuna jelas-jelas lebih suka cowok ganteng ketimbang cewek cantik. Makanya aku menang terus dari tadi."
Eliz menggeleng lesu seraya mengumpulkan kartu itu kembali. Mengabaikan Dika yang tampak harap-harap cemas. Dengan satu tangan yang naik ke depan mulutnya. Tapi, Eliz tampak bergeming. Sepertinya tidak menyadari ada yang berbeda dari perkataan cowok itu.
Dika mendehem. Langsung bertanya.
"Truth or dare?"
Sejenak Eliz pikir akan memilih truth lagi. Tapi, demi apa pun. Gara-gara si truth itu, ia dan Dika jadi sambung-sambungan pertanyaan coba. Dan sepertinya, kalau Eliz memilih truth lagi, pasti Dika akan bertanya hal-hal di seputar itu-itu juga. Eliz memutuskan untuk memberikan jawaban yang lain.
"Dare!"
Dika melongo sedetik. Lalu ia mengerjap. Kemudian ia menatap Eliz lekat. Tampaknya tidak percaya dengan apa yang baru saja Eliz katakan.
"Dare?" tanya Dika mencoba meyakinkan. "Are you sure, Liz?"
Eliz membalas mata Dika. Membalas tanpa sedikit pun keraguan yang tersirat di sana. Alih-alih justru kemantapan.
"I'm, Dik. Bahkan kalau kamu nyuruh aku gedor-gedor rumah Pak RT buat minta nasi putih sepiring juga nggak jadi masalah."
Dika mengabaikan perkataan satire Eliz. Ketimbang membalasnya, cowok itu justru tampak menarik napas dalam-dalam. Ia terlihat gelisah. Dengan jakun naik turun yang membuat geli mata Eliz.
Ehm ... sejak kapan sih Dika bertransformasi jadi cowok yang physically keliatan jantan kayak gini?
Karena entah mengapa, tapi pemandangan jakun Dika membuat Eliz menjadi tak nyaman. Itu terlihat begitu maskulin di matanya. Dan hal tersebut seperti memberikan sinyal peringatan bagi dirinya. Dalam bentuk sirine yang mendengung seketika. Tepat ketika pada akhirnya Dika kembali bersuara.
"Oke, dare for you, Liz." Dika menatap Eliz tanpa kedip. "Kiss me."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top