Bab 50
I just wanna live in this moment forever.
"Aku di sini, Istriku."
Alenda mengucek cepat kedua matanya. Dia kembali menatap pria yang berdiri di depannya. Berusaha meyakinkan dirinya bahwa ini mungkin saja bukan mimpi.
Tiba-tiba Alenda menekan kedua pipi Gavier sampai bibirnya mengerucut. "Kumu ngupuyun, Ulundu?" (Kamu ngapain, Alenda?)
"Ini ... Gavier? Gavier Hephaestus suaminya Alenda Laqueen Celsion Hephaestus?"
Gavier mengerutkan keningnya, lalu manggut-manggut. Detik berikutnya Alenda mendorong kepala Gavier. "Nggak-nggak. Nggak boleh percaya. Suamiku cuma satu dan dia udah meninggal." Alenda mengelus dadanya seperti menahan godaan yang ada.
Gavier bingung, lantas dia memiringkan kepalanya. "Ini beneran aku, loh. Aku ... Gavier. Aku suami kamu."
Alenda menggeleng berkali-kali. Kepala yang tadi Gavier bawa pun diambil kembali oleh Alenda. Kali ini dipeluknya erat. "Gavier cuma satu. Jangan berani-berani menipuku!"
"Apa?"
Alenda berbalik menatap Olivia. "Vi, Oryza di mana?"
Olivia yang juga masih bengong karena bingung melihat interaksi aneh itu pun terkesiap. "Ah? Eh? Ya?" Olivia segera menggelengkan kepalanya agar sadar.
"I--itu ... anu, Yang Mulia, dia sedang ... kalau tidak salah tadi ada di dekat kandang kuda."
"Baiklah," jawab Alenda.
Dia pun meninggalkan Gavier dan Olivia begitu saja. Keduanya saling pandang. Usai punggung Alenda memudar dari pandangan Gavier, pria itu berdecak sambil mengacak rambutnya. "Kok begini? Harusnya tadi kan dia senang sambil memelukku."
"Sa--saya juga bingung, Yang Mulia."
Alenda menghentikan langkahnya kala melihat wajah Oryza yang senyam-senyum sambil menatap sekuntum bunga. Ketika menyadari kedatangan Alenda, dia segera menyembunyikan bunga itu ke belakang punggung. "Nyo--Nyonya?"
"Tadi malam kau yang membawaku, kan?" tanya Alenda langsung tanpa basa-basi.
"Eh? Apa maksud Anda?"
"Yang di lapangan tadi bukan suamiku, kan? Bukan Gavier, kan? Soalnya kan ini kepalanya!" Alenda mengangkat kepala yang mirip Gavier itu ke depan wajah Oryza. Sontak Oryza oleng ke belakang hingga bunga yang dia bawa pun hancur terduduki.
"Ya--Yang Mulia Ratu!" Oryza mencebikkan bibirnya. Dia kesal tapi tidak berani melawan ratunya.
"Aku salah?"
"Anda mengejutkan saya! Saya benar-benar trauma melihat kepala itu. Kenapa Anda dan Tuan Gavier mudah sekali melempar-lemparkan kepala manusia? Jantung saya sudah mau ke luar dari tadi." Oryza menepuk-nepuk dadanya untuk meyakinkan Alenda. "Lalu ...."
Oryza memindahkan tubuhnya sambil menunduk. "Yah ... hancur."
Alenda ikut berjongkok dan memperhatikan bunga mawar yang hancur itu. "Ini untukku?"
Oryza tersenyum paksa. "Maaf ya Yang Mulia, saya kan sudah bilang kalau saya punya tipe ideal. Saya tidak semengenaskan itu untuk memberikan bunga pada istri tuan saya."
"Idih ... memang siapa yang mau sama kamu?" ejek balik Alenda.
"Saya punya kok! Yang Mulia tidak tau, kan? Ya memang tidak. Yang Mulia kan tidak tau apa-apa soal saya."
"Aku tau! Olivia, kan?" ucap Alenda sambil menaik-turunkan alisnya.
Oryza membulatkan matanya. "Dari mana Anda tau?"
"Kelihatan aja. Kamu bahkan sampai melalaikan tugasmu hanya karena bicara dengan TEMAN dari desa yang sama. Kan mencurigakan," kata Alenda, sengaja sekali menekan kata teman untuk menggoda Oryza.
Sontak Oryza memasang muka sedih sambil menyentuh dadanya. "Anda menyakiti saya, Yang Mulia."
Alenda tertawa lalu mengusap kasar muka Oryza. "Halah, drama!" Kemudian Alenda melirik ke arah taman yang ada di samping kandang kuda. Di sana ada berbagai bunga selain mawar yang bisa dijumpai.
"Apa kamu ingin memberikan ini padanya?" tanya Alenda.
Oryza mengangguk, wajahnya masih masam karena ngambek dengan Alenda.
"Bagaimana kalau bunga itu?" Alenda menunjuk bunga berwarna ungu putih berukuran kecil. Daripada bunga, bentuknya lebih seperti daun, tapi memang cukup menarik.
"Itu bunga apa, Yang Mulia?"
"Itu tanaman Myosotis. Biasanya juga disebut Bunga Forget Me Not. Artinya bagus, yaitu kamu akan selalu mengingat dia di mana pun kamu berada dan juga bisa berarti kamu tidak ingin dia melupakanmu. Ya ... walaupun kalian cuma TEMAN, kan sudah bagus kalau kamu tidak dilupakan."
"Yang Mulia!" rengek Oryza sambil menendang-nendang udara.
Alenda tertawa lagi. Dia mendekat ke taman itu, diikuti Oryza. Mereka berjongkok bersama sambil memungut bunga yang disebut Alenda. Di sela-sela kegiatan tanpa manfaat itu, Oryza melirik Alenda. "Yang Mulia ...."
Alenda mencabut beberapa bunga. Saat menyadari upayanya terlalu kasar, dia kembalikan kembali bunga itu seperti semula. "Hm?"
"Apa Anda memutuskan untuk menghabiskan waktu hari ini bersama saya? Bukankah harusnya Anda menemui orang lain?"
Alenda menatap Oryza dengan muka sewot. "Kenapa? Kau tidak suka?"
"Bukan begitu. Saya cuma takut babak-belur di tangan tuan hari ini," kata Oryza sambil menghela napas berat.
Mendengar itu, Alenda juga ikut menghela napas. "Hari ini aku tidak ingin bicara dengannya dulu. Aku takut. Kemarin adalah mimpi terburukku. Jadi rasanya ... aku masih belum siap melihatnya lagi."
"Tapi Anda senang, kan?"
Alenda mengulum senyum. "Tentu saja. Aku senang melihat Gavier lagi. Saking senangnya, aku sampai tidak bisa memilih kata yang tepat untuk mengucapkannya."
Oryza ikut tersenyum. Detik berikutnya dia menoleh ke seseorang yang sedang berdiri tak jauh dari mereka. Orang itu terus menggerakkan ibu jarinya searah dari kiri ke kanan di depan leher, memberikan isyarat pada Oryza kalau tidak segera pergi maka kepala Oryza akan menggantikan kepala Gavier.
"O--oh begitu ...." Oryza bangkit diam-diam tanpa sepengetahuan Alenda.
***
Sudah dua hari Alenda mengabaikan Gavier habis-habisan. Keduanya memang sudah kembali ke Istana Disappear. Tapi pekerjaan mereka yang sudah menumpuk benar-benar menyambut mereka. Khususnya segala hal yang perlu dikerjakan berdua. Sebagai raja dan ratu, mereka memiliki pemikiran berbeda sehingga para pejabat suka mendengar perdebatan mereka dalam menemukan kebijakan yang unggul.
Mulai dari makan pagi, siang, hingga malam, Alenda tidak datang. Dia sibuk menyelesaikan seluruh urusan istana, juga mendatangi pemakaman korban-korban dari peristiwa penyerangan kerajaan. Selain itu, ketika menetap di penampungan dulu, Alenda sadar bahwa ada banyak kota yang tidak terurus hingga para penduduknya terpaksa mencari wilayah layak untuk dihuni. Maka dia memulainya dari sana, memperbaiki keadaan rakyat yang dulu tidak tersentuh.
"Yang Mulia," ucap Lalea di tengah-tengah Alenda yang sibuk membalas surat dari beberapa kerajaan bagian tenggara.
"Ya?"
"Yang Mulia Raja meminta izin untuk bertemu Anda."
Alenda menghentikan pergerakannya. "Di mana beliau sekarang?"
"Ruang kerjanya, Yang Mulia."
Alenda mengulum senyum. Dia memikirkan beberapa ide menarik untuk Gavier. "Minta dia menemuiku di taman setelah matahari tenggelam."
"Baik, Yang Mulia."
Setelah itu Alenda mulai berdandan dan bersiap-siap. Dia juga memerintahkan beberapa pelayan untuk menyiapkan kursi panjang serta camilan.
Setelah matahari tenggelam, Alenda menunggu Gavier di bawah cahaya bulan. Gavier yang juga baru berdandan rapi berjalan mendatangi Alenda dengan senyuman.
Rasanya panas dingin. Seperti mereka sudah lama tidak bertemu.
"Alenda ...."
Alenda berbalik, senyumnya mengembang kala melihat Gavier. Gavier yang sudah sangat-sangat-sangat merindukan Alenda membuka lebar tangannya. Berharap Alenda mau berlari ke arahnya.
Tak menunggu lama, Alenda mendekati Gavier dan langsung meloncat. Kedua lengannya memeluk erat leher Gavier. Saking senangnya, Gavier mengangkat tubuh Alenda, mendekapnya tak kalah erat.
"Apa kamu merindukanku?" tanya Alenda.
"Tentu saja. Tidak menghabiskan waktu bersamamu adalah mimpi burukku," kata Gavier.
Alenda terkekeh. Lantas dia menyentuh pipi Gavier setelah pria itu menurunkannya. "Mengetahui kalau kamu mati ... aku bahkan tidak bisa membayangkan apakah matahari masih muncul esok hari."
Gavier menempelkan keningnya pada kening Alenda. "Maaf ... maafkan aku ... harusnya aku datang lebih cepat. Harusnya aku tidak membuatmu menangis sebanyak itu. Kamu pasti menderita."
Alenda memejamkan matanya untuk menikmati momen ini. "Aku baik-baik saja. Saat tau kamu masih menghirup udara yang sama denganku, segala air mata yang tumpah sudah terbayar lunas."
Kemudian Gavier memundurkan kepalanya. "Ah, apa itu benar? Kamu yang membunuh kaisar?"
Alenda mengangguk dengan senyuman lebar. "Siapa pun yang berani melukai suami dan anakku, akan mengalami hal yang sama," kata Alenda tanpa beban atau penyesalan.
"Aku bangga padamu." Gavier menepuk-nepuk puncak kepala Alenda. Senyuman pria ini benar-benar dunia Alenda. Rasanya Alenda ingin menghentikan waktu sekarang.
"Maukah kamu menyapa anakmu?" Alenda mengambil tangan Gavier dan diletakkannya di perutnya. "Bagaimana? Apa dia baik-baik saja?"
Gavier meraba perut Alenda sambil memejamkan mata. Dia mendengar degup jantung yang begitu kuat. Tampaknya anak ini tumbuh dengan sehat.
"Dia sangat kuat seperti ibunya," ucap Gavier.
"Kamu mau memberikan nama siapa?" tanya Alenda yang penasaran dengan pendapat Gavier.
"Tapi kita belum tau dia laki-laki atau perempuan," kata Gavier yang bingung karena belum pernah memikirkan namanya.
"Tidak masalah! Kita hanya perlu menyiapkan keduanya." Alenda menunduk dan menatap sayang perutnya. "Kalau laki-laki aku ingin menamainya Viktor agar di dalam hidupnya dia selalu dipenuhi oleh kemenangan. Kalau dia laki-laki kan dia yang akan menjadi pewaris takhta."
Gavier menggenggam tangan Alenda lalu mengajaknya duduk di kursi panjang itu. Kalau sambil duduk begini, ngobrolnya bisa lebih nyaman. Dia pun mengusap perut Alenda lagi. "Kalau perempuan ... aku ingin menamainya Adara. Maka dia akan tumbuh menjadi perempuan yang cantik dan penuh semangat."
"Ide bagus!" Alenda terkekeh. Sepanjang keduanya tertawa dan tersenyum oleh ocehan masing-masing, mereka terus-menerus berdebar dan kembali jatuh cinta. Lagi dan lagi.
Bagi Gavier, Alenda akan selalu menjadi perjalanan cintanya. Yang setiap hari, setiap saat, ketika dirinya menatap wajah cantik Alenda yang berbicara, dia akan kembali jatuh cinta.
Dan bagi Alenda, Gavier adalah pelajaran terbaik hidupnya. Yang setiap masalah, setiap penyelesaian, setiap kasih sayang, dan setiap pertengkarannya adalah hal berharga yang selalu membuatnya kembali jatuh cinta dan memaknai hidup dengan sangat luar biasa.
"Alenda," panggil Gavier.
Alenda menunduk sambil memainkan kedua tangan Gavier yang lebih besar darinya. "Hm?"
"Apa kamu bahagia?"
Mendengar itu, Alenda langsung mendongak. Bibirnya mengembang dengan bola mata berkaca. "Nggak ada yang lebih membahagiakan selain momen ini. Apa kamu nggak bisa melihatnya di wajahku?"
Gavier terkekeh, kemudian kembali bertanya, "Menurut kamu ... apa hubungan kita bisa berhasil?"
Sepertinya Gavier sedang mengajaknya melakukan sesi deeptalk seperti waktu itu. Lantas Alenda menepuk-nepuk pahanya. "Mau tidur di sini, nggak?"
Usai Gavier menidurkan kepalanya di atas paha Alenda, Alenda pun jadi sibuk memainkan rambut pria itu. "Tentu saja hubungan kita bisa berhasil. Apalagi kalau kita bisa menjaga janji kita dari awal pernikahan dan benar-benar cuma berpegangan berdua."
"Kamu tau, Vier? Saat aku tau ... aku cuma punya waktu 5 tahun lagi di sini, rasanya ... aku nggak bisa mikir apa-apa. Kayak mau berkomentar apa gitu juga nggak bisa. Karena kita semua tau kalau keberadaanku di sini aja udah keajaiban," kata Alenda.
Gavier jadi teringat lagi dengan hal itu. "Aku nggak tau setelah 5 tahun ini apa aku bisa hidup tanpa kamu."
"Bisa. Pasti bisa. Ada anak kita yang harus kamu jaga, yang harus jadi alasan kamu untuk bertahan di dunia," jawab Alenda langsung.
"Sepertinya ... aku harus mengatakannya sekarang," ucap Gavier sambil menatap kosong bulan purnama.
"Hm?"
"Dari awal ... aku pengin minta maaf sama kamu." Ucapan Gavier membuat Alenda semakin fokus untuk mendengarnya. "Maaf ... karena aku sudah membawa kamu ke masalah-masalahku. Maaf ... karena kamu harus selalu mengerti kekurangan-kekuranganku. Maaf ... karena aku sudah membuat kamu mau nggak mau menerima aku yang nggak punya apa-apa selain status raja."
Alenda mulai meneteskan air matanya kala mendengar itu. Gavier pun bangkit dan duduk kembali. Dia usap air mata yang turun di pipi Alenda. "Aku nggak ngomong begini untuk melihat kamu menangis."
Alenda menggeleng, dia mulai terisak. "Aku nggak sedih ... aku bahagia. Aku cuma berpikir apa yang sudah aku lakukan sampai dipertemukan laki-laki sebaik kamu, yang benar-benar mengutamakan kebahagiaanku."
Gavier terdiam, dia biarkan kini giliran Alenda untuk mencurahkan isi hatinya.
"Setelah mendengar waktuku cuma 5 tahun, aku pikir kamu akan marah dan menyalahkan aku yang menipu kamu selama ini. Aku pikir kamu akan melepasku karena nggak bisa melihatku pergi 5 tahun lagi," kata Alenda sambil mengusap air matanya.
Gavier mengerutkan keningnya. Dia benar-benar tidak tahan melihat Alenda menangis. "Awalnya ... aku juga berpikir kalau aku nggak akan sanggup melepas kamu. Bahkan aku mau menahan kamu dan nggak memperbolehkan siapa pun mengambil kamu dariku, tapi ... setelah semua yang terjadi, aku mulai berpikir ulang. Menurutku itu egois. Bukankah di dunia asalmu, kamu juga punya kehidupan? Kamu punya keluarga, teman, dan orang-orang yang mungkin sedang menunggu kamu. Iya, kan?"
Alenda mulai teringat dengan kedua orang tuanya, bahkan Inggit yang selalu berisik di sampingnya. Apa mereka semua kini sedang menangis histeris sembari menunggunya pulang? Atau heboh dengan meminta bantuan polisi hingga Badan Intelijen Negara? Ayah Alenda di dunia nyata bisa melakukan apa saja untuk anaknya.
Alenda tak menyangka bahwa Gavier benar-benar memikirkan itu semua.
"Kamu benar. Orang tuaku ... pasti khawatir," ucap Alenda.
Gavier tersenyum miris sambil mengusap air mata Alenda. "Untuk itu, mari menikmati 5 tahun ini dengan sebaik-baiknya. Aku tidak mau membuang-buang waktu untuk melakukan hal bodoh sehingga waktu yang tersisa menjadi tidak berarti."
- The Beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top