Bab 14
Gavier menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu membuang wajahnya ke arah lain.
"Ba--baiklah."
Saat Gavier menatap Alenda lagi, dia merasa heran karena gadis itu masih tersenyum lebar. "Ada apa?"
"Kita harus mengadakan pesta!"
"Pesta? Kenapa?" tanya Gavier yang tak begitu suka kerumunan.
"Untuk menyambutmu kembali! Boleh, kan?" Alenda berjalan mendekat dan mendongak tepat di depan wajah Gavier.
"Ke--kenapa lagi? Wajahmu terlalu dekat!"
Alenda bisa melihat telinga Gavier yang lebih merah dari biasanya. Hal itu membuatnya super senang. "Bagaimana? Aku lebih besar, kan? Tinggiku hampir menyamaimu."
Benar. Padahal dulu dia hanya gadis kecil yang cukup berani, pikir Gavier yang baru menyadari bagaimana Alenda bisa tubuh menjadi wanita dewasa yang begitu cantik.
"Benar, kau jauh lebih besar."
"Lebih cantik?"
"Benar, juga lebih can ... Alenda!" kata Gavier kala sadar apa yang baru saja dia katakan. Hal itu membuat Alenda tertawa lagi.
"Baiklah, aku akan berhenti menggodamu. Ayo," ajak Alenda sembari mengulurkan tangannya pada Gavier.
"Ke mana?"
"Makan bersama. Hal yang selalu ingin kulakukan bersamamu."
Gavier tak membalasnya. Dia tau apa maksud Alenda. Sayangnya, itu tidak akan pernah terjadi. Sampai kapanpun, Gavier tak akan menunjukkan wajahnya pada Alenda. Dia tak ingin menghapus senyum cantik itu. Dia masih ingin melihatnya.
"Aku ... tidak bisa."
Kemudian Alenda menarik kembali tangannya. Apa itu semua karena wajahnya? Alenda jadi teringat kembali kekesalannya yang tak bisa melihat wajah Gavier. Kalau saja dia punya kesempatan untuk memecahkan topeng itu, maka dia akan melakukannya sejak lama. Sayangnya kalau dia berbuat bar-bar begitu, takutnya Gavier malah membunuhnya. Sebaik apa pun pria itu padanya, tetap saja dia raja yang tidak punya perasaan istimewa apa pun untuknya.
"Aku lupa, tapi ... kalau menemaniku bagaimana? Kau bisa melihatku makan sambil kita berbincang," ucap Alenda.
"Memang bisa begitu?"
"Bisa, dong! Ayo!" Alenda menarik tangan Gavier agar mengikutinya. Aezarus yang ada di sana kembali terpanah oleh kebaikan ratunya. Siapa sangka dia tidak jijik berdekatan atau menyentuh Gavier yang dari lama dikenal buruk rupa.
"Ratu itu polos atau apa, ya? Bisa-bisanya menyentuh raja begitu saja."
"Benar, kasihan sekali."
"Kalau dia masih sendiri, pasti aku sudah melamarnya."
"Hahaha, diam-diam kau licik juga. Memangnya kau berani bersaing dengan Yang Mulia?"
"Hmm, setidaknya aku berani bersaing lewat tampang."
Ucapan dari para prajurit membuat Aezarus kesal. Lantas dia melempar belatinya hingga menancap di pilar yang ada di dekat prajurit itu. Mereka yang ketahuan sedang membicarakan Gavier langsung menggigil di tempat.
"Haah ... tanganku licin lagi," ucap Aezarus sembari menatap tajam mereka. Setelah berhasil membuat mereka ketakutan, Aezarus berbalik kembali mengikuti langkah kedua Yang Mulianya.
***
Alenda menelan daging yang dia makan sembari menatap Gavier yang duduk di dekatnya. Baru kali ini Gavier menemani seseorang makan, jadi rasanya cukup aneh. Apalagi dia boleh duduk di tempat sedekat ini tanpa perlu melakukan apa-apa.
"Sejujurnya Gavier, aku penasaran. Sejak kapan kau memakai topeng?"
Gavier menatap ke arah kedua tangannya yang memakai kaus tangan hitam. "Sejak aku lahir."
"Apa? Tapi bisa saja kau tidak bisa bernapas, kan? Lama sekali. Berlebihan kalau kau dianggap buruk rupa sejak lahir. Padahal semua bayi itu menggemaskan," ucap Alenda sambil memotong dagingnya.
"Sayangnya, aku bisa bernapas. Aku sudah terbiasa. Aku memang jelek sejak lahir."
Alenda memperhatikan baik-baik ukiran topeng Gavier yang bisa dia lihat dari jarak dekat. Kalau dari kecil dia sudah dapat tekanan mental dan cibiran bahwa dia jelek, pasti kepercayaan dirinya benar-benar sudah hilang. Alenda jadi bersimpati. Rasanya dia bisa merasakan kesedihan dan ketakutan Gavier kecil. Mungkin Dewa Hephaestus juga merasa begitu saat kecil.
Lantas Alenda meletakkan tangannya di atas tangan Gavier. "Apa kau baik-baik saja?"
"Apa ... maksudmu?"
Telinganya memerah lagi. Walau dia banyak berubah, tapi kebiasaannya ini masih tetap sama.
"Dari kecil kau pasti merasa sendiri, tapi ayah dan ibumu juga memakai topeng, kan?"
"Bagaimana kau--"
"Aku melihatnya di perpustakaan. Ibumu sangat cantik," ucap Alenda.
Mendengar itu Gavier tersenyum. Baru kali ini seseorang memuji ibunya, bukan hanya mencibir karena mau menikahi ayahnya yang buruk rupa. "Terima kasih, baru kali ini aku mendengarnya."
"Tapi aku memang mengatakan fakta. Dari setengah wajah saja aku bisa menilai bahwa ibumu sangat cantik!"
"Orang-orang berpikir bahwa ayah telah menyihir ibu sampai mau bersamanya. Aku juga pernah berpikir begitu. Tapi saat melihat mereka bersama, aku sadar aku salah. Merekalah definisi dari cinta sejati yang sampai kapanpun tak mungkin kumiliki. Walau kita percaya bahwa cinta datang dari hati bukan rupa, tapi aku tidak munafik kalau kita pasti menyukai sesuatu yang lebih indah, kan?" kata Gavier sembari menatap wajah cantik Alenda.
Alenda jadi ikut kepikiran. "Iya, sih. Daripada jelek, kalau dikasih tampan aku juga lebih memilih yang tampan."
Perkataan Alenda rasanya memukul keras kepala Gavier. Dia pun menunduk. "Iya, kan? Kau juga sama."
"Benar, aku tidak bisa berbohong. Aku juga suka wajah yang tampan. Karena cinta datang dari mata ke hati. Kalau nyaman melihat rupanya, maka hati akan langsung menilainya."
Gavier hanya diam, hatinya cukup sakit mendengar itu.
Alenda menggenggam tangan Gavier. "Tapi Gavier, kau tidak perlu terlalu cemas. Kau tau kan kalau selera setiap orang berbeda? Hal itu membuat mereka memiliki penilaian, pemikiran, dan cara pandangnya masing-masing terhadap orang lain. Sehingga saat kita menatap seseorang, bisa saja kita terlihat jelek atau tampan di depan orang itu. Maksudku ... belum tentu yang menurut orang lain jelek, menurutku juga jelek dan belum tentu yang menurut mereka cantik, menurutku juga cantik. Apa kau mengerti?"
"Jadi ... masih ada kemungkinan seseorang menganggapku tampan?"
"Yap!" Alenda langsung menjawabnya tanpa ragu.
"Tapi, aku berbeda, Alenda."
Astaga, bagaimana caraku menanamkan kepercayaan diri dan menyingkirkan insecure yang dimiliki pria ini, sih?
"Apa lagi, Gavier Hephaestus?"
Gavier jadi salah tingkah kalau namanya dipanggil lengkap begitu. Lantas dia berdeham kecil untuk menetralkan jantungnya. "Ehem ... rupaku ini karena kutukan turun-temurun."
Apa maksudnya adalah soal peristiwa yang menimpa Dewa Hephaestus?
"Itu ... apa yang terjadi?"
"Hmm, kau tidak perlu tau. Itu adalah sesuatu yang tidak menyenangkan didengar," kata Gavier. Alenda jadi kesal, padahal dia sudah tau semuanya.
"Gavier," panggil Alenda.
"Ya, Istriku?"
"Mau kupukul?" Alenda melayangkan kepalan tangannya.
"A--apa? Kenapa kau mau melakukannya?"
"Karena kau menyebalkan. Jangan bicara kalau hanya ingin membuat orang penasaran!" bentak Alenda.
Gavier jadi panik, dia sampai menegakkan tubuhnya. "Ka--kau marah? Maafkan aku. Aku hanya tidak ingin kau memikirkan sesuatu yang tidak perlu."
Hmm, mungkin sedikit sulit untuknya menceritakan hal itu. Baiklah, aku akan memberinya waktu, pikir Alenda.
"Kalau begitu, apa kau mau meredakan amarahku?"
"Tentu saja! Kalau kau mau mengatakan bagaimana caranya--"
"Ayo ke pasar," ajak Alenda.
"Pasar?"
Alenda mengangguk. Biasanya momen seperti itu akan tampak romantis dan seru. Alenda sudah sering membaca cerita kerajaan di novel-novel, di mana raja dan ratu menyamar sebagai rakyat biasa dan berjalan-jalan di sekitar istana.
Ah, tapi topengnya? Dia akan sangat mencolok.
"Apa yang sedang kau pikirkan? Bagikan itu denganku." Tiba-tiba saja Gavier mengelus kening Alenda yang mengerut karena sibuk berpikir. Hal itu membuat jantung Alenda berdetak sangat keras sampai rasanya di dalam ruangan ini Alenda hanya bisa mendengar jangtungnya.
Dag dig dug ....
Dag dig dug ....
Dag dig dug ....
Serangan berbahaya, batin Alenda yang susah payah menelan daging di mulutnya.
"Kenapa kau diam saja?"
Alenda membeku di tempat. Dia jadi terlihat sangat aneh. Sejak kapan dirinya merasa nyaman melihat manusia bertopeng? Ini sangat menyebalkan.
"Ah, aku jadi tidak berselera makan," gumam Alenda.
"Hah? A--apa aku membuatmu marah lagi?"
"Ya, kau harus bertanggung jawab! Aku akan menunggumu jadi bersiap-siaplah! Kita pergi hari ini!" Alenda bangkit dari kursi lalu membalikkan badannya. Kedua tangannya mengepal kuat menahan tingkah Gavier yang tampak menggemaskan di matanya. Kedua mata Alenda memejam.
Shit! Gue nggak boleh begini! Gue nggak tau mukanya! batin Alenda, kemudian dia segera berlari ke luar. Sedangkan Gavier menunduk sambil overthinking di tempat.
"Apa salahku, ya? Apa aku membuat Alenda sangat marah?" Gavier menenggelamkan wajahnya di bawah lipatan tangan. "Harusnya aku tidak melakukan apa-apa. Aku kan memang selalu membuat orang kesal!"
Alenda belum pergi dari ruang makan. Dia mengintip keadaan Gavier dan mendengar gumamannya.
Shit! Pengin gue gigit tuh anak!
- The beast & His Secret -
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top