KETAHUAN

Prilly POV

Aku mendengar dari dalam kamar, mobil Ali sudah pergi. Aku mencari ponselku dan aku menelepon seseorang.

"Halo, jemput gue sekarang," kataku dari ujung telepon. Tanpa dia menjawab, aku langsung menutup panggilanku.

Setelah 20 menit aku menunggunya, suara mesin mobil terdengar terparkir di pelataran. Aku menggendong Zie dan langsung mengajaknya keluar. Lantas aku masuk ke dalam mobil CR-V hitam milik seseorang yang kutelepon tadi.

"Sudah siap? Kita berangkat sekarang," ucapku datar pada kedua orang yang duduk di jok depan. Kita melaju ke suatu tempat.

Setelah perjalanan kurang lebih 40 menit, di sinilah aku sekarang. Berdiri di depan gedung yang menjulang tinggi terdapat plang besi bertuliskan Gerbang Samudra di depan bangunan itu. Aku tinggalkan Zie di dalam mobil bersama salah satu orang yang bersamaku tadi, sedangkan yang satunya mengikutiku masuk ke dalam gedung.

Saat aku menginjakan kaki di lobi semua karyawan yang berpapasan denganku menunduk memberikan hormat padaku. Aku hanya membalas dengan anggukan dan senyum tipis kepada mereka. Aku berjalan anggun dengan steal ala kantoran, kemeja putih berkerah aku tutup dengan blazer hitam, rok span hitam dua centi di atas lutut, rambut aku geray dan sedikit ku-curly ujungnya, menghilangkan kesan ibu rumah tangga, ditambah high heels 7 sentimeter untuk menunjang tinggi badanku.

Begitulah penampilanku saat ini, seperti masih membantu Papa bekerja di kantornya dulu. Semua karyawan yang melihatku terkejut karena kedatanganku yang tiba-tiba dan aku juga sangat jarang hadir di kantor ini. Mereka tahu jika aku adalah pemilik 70% saham perusahaan ini. Dengan kesibukanku menjadi ibu rumah tangga tidak membuatku lupa akan pengontrolan perusahaan ini. Tanpa aku setiap hari datang ke kantor, aku dapat mengontrolnya dari rumah dengan alat yang semakin canggih.

"Apakah Pak Kurniawan ada?" tanyaku kepada resepsionis.

"Ada Miss di ruangannya," jawabnya terlihat segan dan kepalanya menunduk menghormatiku.

Aku berjalan ke arah lift khusus yang digunakan petinggi di kantor ini. Aku tekan angka 19 untuk menuju ke sebuah ruang. Saat lift sudah berhenti dan terbuka, aku menuju ke salah satu ruang dengan tulisan General Manager. Aku lihat wanita cantik nan seksi duduk di belakang meja sedang sibuk memandangi komputernya. Aku berdiri di depan mejanya, namun wanita itu belum juga menyadari kehadiranku.

"Apa Pak Kurniawan ada di dalam?" tanyaku to the point malah mengejutkannya.

Aku lihat dia mendongankan kepalanya dan kaget melihatku, lantas dia langsung berdiri membungkukkan sedikit badannya menghormatiku.

"A...a...ada Miss," ucapnya terbata.

Tanpa mengetuk pintu, aku langsung membuka pintu ruangan itu. Aku melihat lelaki paruh baya duduk di kursi kebesarannya. Dia sedang memerhatikan layar laptop dengan serius. Dia belum menyadari kedatanganku yang saat ini sudah duduk di kursi depan meja kerjanya. Sedangkan seseorang yang sedari tadi mengikutiku juga duduk di kursi sebelahku.

"Ehem!!!" Aku berdehem untuk menyadarkannya. Benar saja, seketika dia melihatku dengan wajah terkejut.

"Sejak kapan Anda di sini, Nona?" tanyanya padaku sambil menegakkan tubuhnya.

"Ya... sekitar 2 menit yang lalu," jawabku santai duduk bersandar di kursi.

Wajah pria itu tegang dan bingung melihatku ada di kantornya.

"Ada masalah apa? Kenapa Anda tidak menghubungi saya terlebih dulu jika ingin berkunjung Kapten Prilly?" tanyanya lagi sedikit gugup.

Yasyin Kurniawan pemilik salah satu perusahaan pelayaran ternama di Indonesia di bidang penyebrangan. Saat perusahaan ini nasibnya di ujung tanduk, karena keluarganya yang terbelit hutang fantastis dan ketika itu aku mendengar dari Papa jika saham PT Gerbang Samudra akan dijual, Papa ingin membelinya namun aku meminta Papa biar aku saja yang membelinya.

Akhirnya keputusan final 70% saham yang ia punya menjadi milikku. Dia hanya memiliki 30% saham di perusahaan ini. Apa pun keputusah di perusahaan ini aku-lah pemutusnya bukan dia. Sudah baik hati aku tidak membeli semuanya, karena aku menyadari jika dia kepala rumah tangga yang berkewajiban menafkahi keluarganya. Bukannya aku sudah sangat baik hati padanya? Dalam urusan bisnis begini saja aku masih memikirkan orang lain. Entahlah apakah ini sifat baik atau burukku. Aku tidak tega melihat orang lain menderita. Bisa saja dengan sekejap dan dengan kekuasaanku saham yang dia miliki dengan mudah aku beli dan menendangnya dari perusahaan ini. Jika aku jahat dan ambisius untuk menguasai perusahaan ini. Tapi aku bukanlah orang seperti itu.

"Apa Anda mengetahui jika putri Anda berada di Indonesia?" tanyaku padanya. Ia tampak terkejut dan aku yakin ia tidak mengetahui hal itu.

"Maaf, apa maksud Anda, Kap?" tanya dia lagi dengan wajah bingung.

"Iya, saya bertanya dengan Anda. Apakah Anda mengetahui bila putri Anda berada di Indonesia saat ini?" Aku bertanya dengan penekanan di setiap kataku.

"Tidak mungkin. Dia tidak pulang ke rumah dan kemarin terakhir berhubungan dengannya dia masih sibuk dengan pekerjaannya di sana dan tidak bisa secepatnya pulang ke Indonesia," jelasnya padaku.

Aku hanya tersenyum tipis mendengar penjelasannya. Aku berpikir dia orang yang pintar dan cerdas tapi mengapa dia bisa dibodohi anaknya sendiri.

"Anda merindukannya?" Aku bertanya lagi dan membuatnya semakin kebingungan.

"Iya! Tentu saja saya merindukannya. Sudah 3 tahun saya tidak bertemu dengannya, Kap."

"Oh begitu ya?" Aku menegakan dudukku. "Kalau begitu apakah Anda sibuk hari ini?" Dia malah terlihat tegang dan raut wajahnya masih saja kebingungan.

"Tidak terlalu, Kap. Hanya mengurus persiapan docking kapal-kapal saja."

"Baiklah. Apa Anda bisa ikut dengan saya hari ini?"

"Untuk apa, Kapten? Apakah ada masalah dengan pekerjaan saya?" Aku melihat raut wajahnya berubah penasaran, dahinya mengerut seperti sedang berpikir keras.

Aku tersenyum licik padanya dengan tatapan mata menyeringai.

"Ikut saja Pak Kurniawan. Jangan banyak bertanya. Nanti juga Anda tahu sendiri," timpal seseorang yang duduk di sebelahku.

"Baiklah kalau Anda memaksa," jawabnya pasrah dan merapikan meja kerjanya.

Aku berdiri dan keluar dari ruangan itu dengan Pak Kurniawan dan seorang yang sedari tadi menemaniku, mereka berjalan di belakangku. Aku langsung menuju ke mobil CR-V hitam yang aku naiki tadi. Pak Kurniawan, aku paksa ikut semobil dengan kami. Aku lihat Zie tertidur pulas di pangkuan orang yang tadi kutitipi Zie. Hanya jagoanku yang dapat mengembalikan mood-ku ketika aku down dan lemah. Aku tersenyum melihat wajah tampannya yang polos mirip dengan Ali, saat tertidur pun dia masih saja tampan.

Jika aku mengingat Ali, hatiku terasa bergemuruh dan entah mengapa tiba-tiba emosiku naik jika membayangkan apa yang sedang ia lakukan dengan wanita lain. Perih seperti teriris dan sakit luar biasa di dadaku. Aku mengepalkan kedua tanganku dan rahangku sudah mengeras. Wajah dan tubuhku memanas apalagi saat aku lirik Pak Kurniawan yang duduk di sebelahku. Rasanya aku ingin segera menghabisinya dan menguasai perusahaan, sisi devil-ku saat ini sedang berkerja. Entah apa yang Ali lakukan dengan wanita jalang itu. Ali lelaki normal, jika ia tergoda, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan.

Mobil yang kami naiki sudah terparkir di depan gedung yang tidak asing lagi bagiku. Aku turun lebih dulu sedangkan seseorang yang mengemudi mengambilkan strolly milik Zie. Aku melihat seorang yang menggendong Zie menidurkannya di strolly. Aku berjalan mendahului mereka dan Pak Kurniawan berjalan di belakangku. Aku masuk ke dalam gedung diikuti tiga orang di belakang sambil mendorong strolly Zie. Semua karyawan menyapaku ramah. Aku membalas dengan anggukan singkat dan wajah datarku tak seperti biasa saat aku keluar masuk gedung ini.

Kami masuk ke dalam lift, di dalam lift aku masih saja membisu mengontrol emosiku. Saat lift berhenti dan pintu terbuka kami pun keluar dan berjalan di koridor kantor menuju ke suatu ruang. Namun saat kami berjalan sampai di depan suatu ruang, sejenak aku berhenti menoleh ke arah pintu itu. Melempar semyum penuh arti kepada wanita yang duduk di balik meja. Dia membalas senyumku dan menganggukan kepala. Aku melanjutkan berjalan mendorong strolly Zie masuk ke dalam ruang yang aku tuju. Aku duduk di salah satu sofa di ruangan itu diikuti tiga orang yang sedari tadi setia menemaniku.

"Ada urusah apa kita di kantor ini? Kapal kita bukan mengangkut barang ini," tanya Pak Kurniawan sebelum dia duduk di sofa.

"Sudahlah Pak, duduk saja. Tunggu saja dulu, nanti Anda akan tahu sendiri tujuan kami membawa Anda kemari," jawab salah satu orang kepercayaanku sembari duduk sofa.

Aku memijat pelipisku. Rasanya kepalaku pening, berat karena memikirkan sesuatu yang mengganggu otakku beberapa hari belakangan ini. Harus menahan emosiku agar tidak gegabah mengambil tindakan. Aku ingin menyelesaikan setiap masalah yang aku hadapi dengan tenang namun tetap agresif. Saat aku sedang sibuk dengan pikiranku, Iphone-ku berbunyi segera aku melihat seseorang yang meneleponku.

Aku menjawab dan mendengarkan laporannya. Tanpa aku menjawab langsung aku tutup panggilannya, lantas aku berdiri dari dudukku. Dengan emosi yang sudah siap meledak, aku titipkan Zie pada seorang yang ada di ruang itu. Langkah lebar dan dengan cepat aku berjalan keluar ruang itu dan menuju ruang lain yang sedikit jauh jaraknya namun tetap satu lantai.

Saat aku melihat dari jarak jauh, banyak karyawan yang berdiri di depan ruang itu, persis seperti orang mau demo saja. Aku percepat langkahku. Saat semua karyawan menyadari kedatanganku mereka menoleh, aku tatap mereka dengan tatapan membunuh. Akhirnya mereka membubarkan diri dan duduk di tempatnya masing-masing. Aku berjalan dan langkahku terhenti di depan pintu melihat sesuatu yang tidak seharusnya aku ingin lihat. Darahku mulai mendidih, tubuhku terasa panas, aku berdiri dengan kedua tanganku yang sudah mengepal dua-duanya, hingga buku-buku kukuku putih memucat.

Aku rasa ada dua orang di belakangku, mereka juga melihat apa yang aku lihat. Aku melirik dengan ekor mataku, Pak Kuriawan berdiri di belakang sebelah kiriku. Dia sudah memerlihatkan wajah keterkejutannya dan matanya memerah. Aku tersenyum miring.

"CUKUPP!!!! HENTIKAN NADIA!!!!"
pekiknya lantang mengagetkan aksi dua orang yang ada di depan kami.

Aku melihat dada Pak Kurniawan sudah naik turun. Dia menghampiri putrinya yang masih menghimpit suamiku di tembok. Nadia adalah putri semata wayangnya. Putri yang ia banggakan dan menjadi satu-satunya orang yang ia harus jaga karena setahuku istri Pak Kurniawan sudah meninggal dunia.

Dengan kasar dia menarik lengan putrinya menjahukan dari suamiku dan wajah suamiku sangat shock melihatku berdiri di ambang pintu. Karena sedari tadi ia terhalang dengan tubuh wanita jalang itu, makanya aku datang dia tak melihat. Aku tersenyum sinis pada suamiku. Aku masuk ke dalam dan dengan kasar aku banting pintu ruangan itu.

BLAMM!!!!

Ali bergegas berlari ke arahku dan berlutut di depanku, memeluk kedua kakiku erat. Dia menangis, aku hanya terdiam menatap Nadia yang tersungkur di lantai karena sempat Pak Kurniawan melayangkan tamparan di pipi mulusnya.

"KAMU SUDAH MEMPERMALUKAN PAPA, NAD!!! PAPA ADALAH AYAH YANG GAGAL!!!!" katanya sambil menunjuk-nunjuk kasar ke wajah Nadia yang menangis di lantai.

"Maafin Nad, Pa...," ucap Nadia sudah berlinangan air mata.

Jujur dalam hatiku tidak tega melihat pertengkaran antara anak dan ayah di hadapanku begini. Tapi ini adalah caraku memberi pelajaran kepada Nadia agar dia menyadari bahwa perbuatannya sudah kelewatan dan semoga dia jera. Dia tidak hanya menjatuhkan harga dirinya, namun juga menyoreng nama baik ayahnya dan dia juga menjatuhkan martabat suamiku. Hal yang paling tidak bisa aku terima adalah dia menjatuhkan harga diri suamiku dihadapan karyawannya. Aku bukan tipe wanita yang menyelesaikan masalah dengan kekerasan.

Menampar dengan fisik bukan ahliku. Aku tidak mau mengotori tanganku. Dengan cara ini aku menampar Nadia. Aku sadar jika tamparan yang aku berikan kepada dia, sekaligus menyakiti dua hati. Tidak hanya sekadar Nadia yang terluka, namun juga pasti ayahnya lebih sakit.

Wanita yang memiliki pendidikan tinggi dan terlahir di keluarga terpandang hanya karena teropsesi ingin memiliki seseorang yang ia cintai harus menjatuhkan nama baik keluarganya. Sungguh kasihan dan sangat memalukan!!!

Aku melihat Pak Kurniawan terjatuh di sofa, dia memegang dadanya dan napas tersengal. Nadia merangkak menghampirinya.

"Papa... Papa kenapa? Papa jangan tinggalin Nad sendiri, Pa. Nad hanya punya Papa. Tolong buka mata Papa." Nadia mengguncang tubuh Pak Kurniawan dengan air mata yang masih membanjiri pipinya.

##########

Boleh juga caramu, Pril. Menampar bukan menggunakan tangan, namun dengan tindakan. Boleh, boleh, boleh. Hehehe

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top