Part 7 : Prison

GADIS itu terus meronta-ronta di bangku besi yang dililiti tali tambang bersama tubuhnya.

Sekali lagi bangku itu menimbulkan suara berdecit akibat geseran dari tubuh sang empu, sehingga membuat ngilu gigi bagi siapapun yang mendengarnya.

"Lepaskan aku...kumohon lepaskan..."
Rintihnya terdengar menyayat hati, air mata tak bosan-bosannya terus membanjiri pipinya yang mulus nan putih.

"Kumohon siapapun tolong lepaskan aku..."
Gadis itu masih menggeliat tatkala tali yang membelitinya terasa semakin erat mengukungnya, membuat tubuhnya terasa sakit dan bisa dipastikan meninggalkan bekas-bekas merah.

Hening.

Gadis itu kini mulai terdiam meskipun dengan dirinya yang masih sesegukan sambil menatap kosong pada pintu tepat di hadapannya. Berharap akan ada pangeran kesiangan yang akan menyelamatkan, setidaknya kekasihnya.

Dirinya mulai merasa lelah dengan air mata yang masih tertinggal.

Dia putuskan untuk diam dan tenang dengan posisi tertunduk, meskipun kepalanya semakin terasa pusing dan berat, karena kepalanya itu baru dihantam oleh benda yang dia sendiri tak tau benda apa, serta rasa sakit mulai menjalari tubuhnya.

Cklek

Tiba-tiba saja pintu di ruangan itu terbuka, membuat gadis yang bernama lengkap Kelly Collins tersebut cepat-cepat mendongakkan kepala demi ingin melihat sudah datangkah pangeran yang ditunggu-tunggunya.

Sosok itu muncul dengan kaos lengan panjang berwarna biru dongker seperti penampilannya biasa saat di kampus, selalu mengenakan kaos lengan panjang atau pun jaket kulit.
Padahal pria itu tadinya mengenakan kaos dan dilapisi jaket, namun entah mengapa dia mengganti pakaiannya itu.

Kelly mulai bergetar tatkala matanya menangkap sosok yang baginya sangat menyeramkan bahkan mungkin lebih menyeramkan dari film-film horror yang pernah ia tonton.

Mulutnya menganga, ingin mengatakan sesuatu, namun rasanya kata-kata yang ingin ia lontarkan tercekat dalam tenggorokkannya.

"Hei sayang. Maaf ya membuatmu menunggu lama, aku baru menyelesaikan 'tugasku' tadi."

Pria itu mulai menutup pintu dengan pelan bahkan nyaris tak menimbulkan suara.

Di tangannya tergenggam sebuah sabit yang terlumuri dengan sesuatu berwarna merah segar.

Darah.

Kelly tersentak dan mulai berusaha mendorong bangku yang ia duduki ke belakang.
Well, padahal dia mengharapkan sesosok pangeran tampan berkuda putih menyelamatkannya, tapi lihatlah, Tuhan malah mengirimkan sesosok malaikat pencabut nyawa yang memiliki wajah rupawan.

Dia bahkan tertohok pada kata terakhir yang dipikirkannya.

"Max..."
Akhirnya, suara lembut nan serak itu bisa keluar juga setelah sebelumnya tersangkut di tenggorokkannya.

Pria yang disebut 'Max' itu mulai menyeringai bak iblis yang benar-benar membuat siapapun menelan salivanya.

"Ada apa Kelly sayang? Uh kenapa kau menangis? Aku hanya meninggalkanmu selama 30 menit, dan kau sudah menangis tersedu-sedu seperti ini, hahaha."
Max melangkahkan kakinya menghampiri gadis tersebut,
salah satu tangan Max segera mendarat pada pipi mulus Kelly dan mengusap air matanya.

Bulu kuduk Kelly meremang ketika tangan pria itu bersentuhan dengan kulitnya.
Meskipun Max mengusap air matanya dengan sangat lembut dan hati-hati, namun hati Kelly merasa sangat gelisah dan ia tau dia akan tamat oleh pria tersebut kapan saja.

"Ssssttt tenanglah sayang, bukankah ini bukan pertama kalinya kita berada dengan jarak sedekat ini? Tak perlu gugup, santai saja, okay?"

Kelly hanya diam masih terus menatap ke dalam iris mata berwarna hazel milik Max. Nafas Max yang tenang dapat ia rasakan karena jarak mereka yang memang terbilang dekat, karena pria itu membungkukkan tubuh tingginya.

"Menjauhlah!"
Entah dapat dorongan dari mana, Kelly membentak Max meskipun nada ragu-ragu masih terdengar jelas pada katanya.

Max hanya tersenyum sekilas lalu mulai berdiri dengan normal di hadapan gadis manis tersebut.

"Apa yang kau lihat, sayang?"
Max bertanya, kali ini wajahnya berubah dingin seketika sembari memperhatikan Kelly yang tatapannya mulai teralihkan pada genggaman di tangan kanannya.

Dia mengangkat sabit yang masih bermandikan darah segar hingga menetes ke lantai itu, dengan cepat.

"Kau melihat ini ya?"
Kelly hanya bungkam, tentu saja tak berani menjawab dan tak mau menjawab.

"Hemm...bagaimana jika aku membunuhmu saja sekarang?"

Kelly menelan salivanya dengan susah payah, keringatnya semakin bermunculan karena rasa takut yang menderanya.
Mata emerald indahnya kini terfokus pada sabit yang berada di genggaman Max, yang kini mengudara sempurna di dekatnya.

"Max...k-kau, kau mau apa dengan sabit itu?"

Max tersenyum miring, dan dengan gerakan cepat kemudian mengarahkan ujung sabit itu ke arah lantai.

"Kau tak dengar ya? Aku bilang aku ingin membunuhmu."

"Ta-tapi apa salahku?!"

"Ya! Benar! Aku tak akan membunuh seseorang jika mereka tak bersalah. Tapi kau...apa kau tau kau sudah menyakitiku, sayang?"
Kelly menggeleng pelan, otaknya mulai memikirkan kata-kata Max barusan, yang dapat dicernanya jika pemuda di hadapannya itu berarti sudah pernah membunuh, atau mungkin dia memang seorang pembunuh.

"Kau tak tau ya?"
Max bertanya dengan nada mengada-ngada sembari memiringkan kepalanya. Pria bermata hazel tersebut mulai meletakkan sabitnya di lantai dekat dengan Kelly berada.

Dirinya kemudian beranjak mengambil sesuatu yang berada di atas meja besi yang ada di ruangan itu.

Sebuah sapu tangan.

Max mengelap keringatnya dan mengelap jejak darah yang tertinggal di tangannya.
Kelly tersentak seketika, ketika menyadari sesuatu yang luput dari pandangannya.

Sepatu pemuda itu yang bermandikan darah berwarna pekat.
Kelly meringis dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, merasa mual hanya dengan melihat darah kental yang cukup membuat sepatu Max berubah warna menjadi merah.

Tiba-tiba saja Max sudah berdiri di hadapannya lagi dengan sesuatu yang baru saja diambilnya, yang kini berada di genggaman pria itu.

"Kau mau bermain game tidak?"
Tanya Max tanpa mengalihkan pandangan dari handphonenya.

"Begini, cara mainnya kita harus memasang bom dulu pada musuh kita, setelah itu kita tekan tombol hijau yang sudah di sambungkan pada hp-ku. Kau mau mencoba?"
Max menyodorkan handphonenya pada Kelly, namun gadis itu hanya bungkam dengan air mata yang masih tersisa di pipinya.

Meskipun Kelly merasa bingung dengan ajakan Max yang tiba-tiba mengajaknya bermain game, namun gadis itu memiliki firasat lain, firasat buruk yang kini menguasai otaknya.

"Yakin tak ingin bermain? Gamenya seru lho, ketika kita menekan tombol hijau pada layar hp-ku ini, tubuh musuh kita akan hancur seketika dan berserakan kemana-mana. Kepalanya hancur, tangannya terlepas disertai kakinya, otaknya yang keluar dari cangkang kepalanya, pokoknya semuanya hancur tak berbentuk."

Kelly mulai merasakan firasat buruknya memang benar-benar akan terjadi, gadis itu berpikir jika dirinya akan tamat hari ini juga mungkin seperti 'musuh' yang disebutkan Max tadi.

"Tapi Kelly, musuhnya disini adalah Varel Rackbourn. Maukah kau merelakannya?"
Kelly membulatkan matanya ketika nama kekasihnya disebutkan.

Berarti maksud Max adalah Varel yang menjadi musuhnya disini, dimana pria itu memang mungkin telah memasang bom pada tubuh Varel, dan bom itu siap meledak kapan saja dan menghancurkan tubuhnya ketika Max menekan tombol hijau di handphonenya.

"Max! A-apa maksudmu?!!!"

"Aku tau kau mengerti maksudku sayang. Dalam sekali tekan, nyawa kekasihmu itu akan melayang, hahahaha."

"TIDAK!!!! KUMOHON MAX JANGAN LAKUKAN ITU!!!"
Jerit Kelly memenuhi ruangan itu, sambil mengguncang tubuhnya yang masih terliliti tali.
Air matanya yang tadinya sudah mulai mengering, kini kembali dibanjiri air mata baru lagi tak henti-hentinya membasahi pipinya.

"Tapi Kelly, dia adalah musuhku, aku harus menewaskannya jika ingin menang 'kan?"
Kata Max retoris.
Pria berambut hitam itu tertawa kecil, tak menggubris teriakan dan tangisan Kelly yang memecah ruangan itu.

"Kumohon Max...jangan lakukan apapun terhadap Varel...Apa salahnya sampai kau ingin membunuhnya...?"

"Salahnya banyak sekali, bahkan tak terhitung. Yang menjadi masalah utamanya, dia telah merebutmu dariku, sayang."

"Kau...KAU BENAR-BENAR GILA MAX!!! KAU TAK WARAS!!!"

"Hahahaha, gadisku ini dari tadi banyak bicara dan berani membentakku ya?"

Plak!

Satu tamparan keras berhasil dilayangkan Max pada pipi mulus gadis dihadapannya, alhasil membuat gadis yang masih terikat di bangku itu terdiam.

Sudut bibir Kelly terlihat mengeluarkan sedikit darah, karena tamparan Max yang kuat dan bertenaga.
Mata Kelly menatap lirih pada Max di depannya, bukannya dia merasa sedih atas perlakuan Max, namun gadis itu mengkhawatirkan sesuatu yang berada di genggaman pria tersebut, dimana nyawa kekasihnya sedang terancam.

"Kumohon Max, jangan lukai Varel, kumohon..."

Max mendecih kasar, dan dengan cepat tangannya meraih dagu Kelly dan memberinya tatapan yang sulit diartikan.

"Sebegitu cintanya kah kau pada kekasih sialanmu itu?!"

"Te-tentu saja. Dia adalah kekasihku, Varel-lah yang selalu ada untukku selama ini. Kumohon Max jangan lakukan apapun padanya..."

"Kau bodoh Kelly! Kau benar-benar sudah dibodohkan oleh pria sialan itu! Apa kau tau sahabat dekatmu Nathalie Lewis itu? Varel berpacaran dengannya, dan mereka sering menghabiskan waktu di apartemen Nathalie. Saat kau sakit kemarin, dia pamit pulang karena dia berkata ada janji dengan temannya kan? Apa kau tau, dia sudah membohongimu! Dia berselingkuh darimu Kelly, dia berselingkuh dengan sahabatmu Nathalie!!!"

Kelly tersentak.
"Darimana kau tau itu? Maaf Max, aku tau ini hanya akal-akalanmu saja untuk menjelekkan Varel. Biar bagaimanapun aku percaya sepenuhnya pada kekasihku, Varel!"

Max terkekeh sesaat, rupanya gadisnya itu memang benar-benar sudah diracuni Varel.

"Kau sempat melihatku kan waktu itu, di jendelamu? Ya, itu memang aku, kau tak salah lihat Kelly, kau memang melihatku waktu itu. Aku-lah yang selalu mengawasimu selama ini dan yang paling mengkhawatirkanmu. Tentang obat itu misalnya, Varel beralasan tak punya uang ingin membawamu ke rumah sakit ataupun ke dokter kan? Setelah mengikuti Varel dari apartemen Nathalie, aku langsung membelikanmu obat, dan kembali lagi ke rumahmu untuk mengantarkannya. Apa itu belum cukup untuk membuktikannya?"

Kelly mengerjapkan matanya berkali-kali, semua yang dijelaskan Max barusan memang seperti yang dialaminya.
Membuatnya harus menerima kenyataan pahit tentang hubungan Varel bersama Nathalie, sahabatnya.

Tidak! TIDAK!
Dia tak boleh mempercayai perkataan Max sepenuhnya, tentu saja, Varel-lah yang hanya harus dia percayai, bukan Max yang jelas-jelas dirinya tak mengenal dekat pria itu.

Kelly menggelengkan kepalanya dengan cepat, otaknya kini dibombardir oleh pernyataan-pernyataan Max yang membuat hatinya meyakini semua perkataan pria dihadapannya.

"AKU TAK PEDULI!!! AKU HANYA PERCAYA PADA VAREL, BUKAN KAU!!!"

Max mendengus kasar, lalu menghembuskan nafasnya perlahan dan mulai merubah posisinya menjadi berjongkok di hadapan Kelly.

"Kenapa kau lakukan ini padaku? Kenapa kau terus menyakitiku, Kelly? Kumohon jawablah..."

"Aku tak menyakitimu Max, kau yang menyakiti dirimu sendiri!"

Max menyeka air mata yang keluar dari sudut matanya, pria itu terlihat meringis dalam posisi kepala yang menunduk.

Kelly dapat mendengar isakan kecil yang lolos dari pemuda di depannya, seperti anak kecil yang menangis karena tak dibelikan mainan, begitulah Max sekarang.

Pemuda itu terlihat rapuh dan terluka.

Mengapa dia menangis lagi?
Kenapa dia begitu cengeng hanya gara-gara aku?
Sudah dua kali, dua kali aku melihatnya menangis.
Dan itu semua alasannya adalah aku?

Entah mengapa, melihat pemandangan di depannya membuat Kelly sedikit tak tega dan ingin menenangkan pria tersebut, namun tak bisa dipungkiri jika itu siapa tau hanya siasat Max saja untuk mengelabui Kelly, agar gadis itu mempercayainya.

Max mendongakkan kepalanya, kali ini ekspresi wajahnya tak lagi menunjukkan tatapan terluka ataupun menyedihkan lagi.
Sekarang dia lebih terlihat seperti... kecewa?

Max meraih sabit yang ada di lantai yang ada di sebelahnya.
Sabit berlumuran darah itu kembali di arahkannya ke atas, kali ini tepat pada wajah mulus nan manis milik Kelly.

Kelly tersentak tatkala merasakan sabit tajam berdarah itu kini menyentuh pipinya, hingga darah yang tersisa di sabit itu teralihkan pada pipi mulusnya.

"M-Max..."
Ujung sabit yang terus dimainkan Max di area wajah Kelly, terasa seperti kematian sudah mendekati Kelly, hingga membuat jantung Kelly serasa berhenti berdetak.

"M-Max apa-argh!"

Tbc...

Well, part ini aku rasa kepanjangan, seneng gak? :'v

Seneng dong ya.

Btw, akankah Kelly dibunuh oleh Max?
Huaaa Max kasian banget sampe dua kali nangis * berlari meluk Max + hapusin air matanya* 😭😭😭😭

Aku mau kasi pertanyaan, kalo ada yang bisa jawab di kolom komentar, aku kasi picture Max yang lagi ketawa sampe nampak gigi di part selanjutnya 😁

Pertanyaannya : Warna kesukaan Max Maxwell apa hayo?
(Yg bener" baca pasti tau dong)

Keep Reading and Vomment, or if not I will send Max capture and kill you!👹

Regards,
MelQueeeeeen

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top