Chapter 29

Tubuh Siahna terasa segar setelah mandi. Dia sengaja berlama-lama mandi, seolah dengan begitu semua perbuatan kotor yang dilakukan Ashton bisa ikut luruh. Ketika kembali ke kamar, sudah ada segelas susu di atas nakas. Namun tidak ada siapa pun di sana. Siahna membenahi piamanya sambil berjalan menuju ranjang. Dia menyimpan beberapa potong pakaian di dalam lemari. Setelah bercerai dari Kevin, Siahna lupa mengambil bajunya.

Perempuan itu mengecek ponselnya, kebiasaan yang susah dihilangkan sejak menjadi personal shopper. Ada kecemasan jika dia melewatkan pesan dari kliennya. Karena dulu hal itu pernah terjadi dan membuat Siahna diomeli.

Setelah tidak melihat ada pesan yang penting, perempuan itu meletakkan gawainya di kasur. Siahna duduk bersandar di kepala ranjang. Kepalanya masih pusing, mungkin karena terlalu banyak menerima kebenaran pada hari ini. Namun jantungnya sudah bergerak normal, tidak lagi seolah hendak menabrak tulang dadanya seperti tadi. Dia jauh lebih tenang dibanding dua jam silam.

Siahna tidak menyangka dia berhasil bertahan tanpa kehilangan kesadaran atau malah menjadi amnesia. Terutama jika mengingat bagaimana respons tubuhnya ketika pertama kali mengenali Bella. Nyaris lumpuh. Namun hari ini Siahna bisa melewati semuanya lebih baik meski kejutan yang meninjunya sungguh sulit untuk dicerna.

Video itu memang membuat Siahna agak kesulitan mengendalikan diri. Siapa yang tidak jika berada di posisinya? Bagi Siahna, video kejahatan yang diunggah di internet hanya ditontonnya pada serial kriminal atau tayangan berita. Intinya, jauh dari dunia Siahna. Akan tetapi, siapa sangka jika dirinya menjadi salah satu objek yang tayangannya bisa ditonton siapa saja?

Selama bertahun-tahun, ingatan samar-samar yang masih bertahan membuat Siahna yakin bahwa Verdi yang sudah memerkosanya. Tak pernah sekalipun terpikir jika Ashton pelakunya. Dia memang sangat membenci Ashton, tapi karena alasan lain. Siahna menganggap Ashton orang yang bejat karena membiarkan Verdi mulai menggerayanginya saat Siahna tak sepenuhnya sadar.

Pada akhirnya, Renard adalah penyelamat Siahna. Dengan caranya sendiri, lelaki itu mampu menentramkannya dan membuat Siahna merasa aman. Perempuan itu tidak sampai histeris saat mengetahui bahwa ternyata Ashton yang sudah memerkosanya. Namun, tetap saja sulit bagi Siahna untuk menerima kenyataan bahwa Ashton dan Verdi tega merekam perbuatan biadab itu. Bahkan Verdi mengunggahnya di internet!

Perempuan itu memejamkan mata dengan rasa sakit menusuki kepalanya. Tadi dia nyaris menangis saat melihat video menjijikkan itu. Mungkin dia akan pingsan jika tidak mendengar suara Renard. Lelaki itu membelanya mati-matian.

Ya, Renard menjadi kekuatan baru yang tak pernah diduga Siahna. Seumur hidup, bisa dibilang perempuan itu menghadapi dunia sendirian. Lalu, kini ada pria yang mengaku mencintainya dan tak pernah memandang hina meski sudah tahu semua rahasia buruk yang ditanggung Siahna.

Ketika Ashton mendadak muncul, perempuan itu tidak histeris atau semacamnya. Karena Siahna tahu, Renard akan melindunginya. Dia memang ditenggelamkan oleh perasaan jijik, marah, muak. Apalagi dia baru mengetahui jika sudah menyimpan dugaan yang salah selama lebih tujuh tahun ini.

Siahna mengira, Verdi yang memerkosanya. Ternyata, Ashton yang menghancurkan harga dirinya bahkan hingga membuahkan janin yang bertumbuh di perut Siahna. Namun, Siahna tak sampai kehilangan kesadaran atau bereaksi mengerikan meski dia berhak untuk itu. Renard membuatnya yakin bahwa lelaki itu adalah tempat bersandar yang aman baginya. Ashton dan Bella takkan bisa menyakitinya lagi sekarang.

Suara ketukan membuat Siahna membuka mata. Dia belum sempat menjawab saat Renard masuk dengan sebuah nampan berisi makanan. "Kamu baik-baik aja kan, Sweetling?" tanyanya cemas. Lelaki itu melirik ke arah gelas berisi susu. "Kenapa nggak diminum?"

"Nanti," sahur Siahna. "Kamu bawa apa? Aku nggak selera makan, Re."

Nampan yang dibawa Renard diletakkan di atas kasur. "Makan di sini aja, ya? Aku sengaja masakin buat kamu. Masa nggak dimakan, sih? Ini bikinnya dengan cinta yang meluap-luap."

Siahna tersenyum samar. Renard membawa dua piring nasi goreng dendeng. "Kamu yang bikin? Aku nggak percaya."

"Tanya gih sama Riris. Dia kuusir dari dapur karena aku pengin masakin pacarku. Tapi menunya ya sederhana gini, seada-adanya isi kulkas. Riris baru besok belanjanya."

Siahna memercayai kalimat Renard. Demi menghargai upaya lelaki itu, Siahna mengambil salah satu piring dan mulai menyantap nasi goreng itu. Renard memiliki kemampuan yang cukup untuk urusan memasak, meski lelaki itu mengaku hanya bisa membuat menu-menu sederhana.

"Enak. Beda emang kalau dibikinnya pakai cinta yang meluap-luap," gurau Siahna. Renard juga mulai menyantap makanannya.

"Aku tau," balas lelaki itu pendek. Renard duduk di kasur, tepat di depan Siahna dengan kaki terlipat.

"Mbak Petty dan Mbak Arleen gimana?" tanya Siahna, agak takut.

"Nggak usah buang-buang waktu mikirin hal yang nggak penting."

"Nggak gitu juga kali, Re. Aku... mereka pasti kaget banget. Kamu bilang apa aja?"

"Semua yang perlu mereka tau. Udah ya, kamu makan dulu. Harus punya tenaga untuk ngadepin dunia yang gila ini."

Kalimat Renard tidak memberi gambaran detail. Namun Siahna tidak membuat bantahan. Meski sudah memaksakan diri, Siahna hanya mampu menghabiskan sepertiga porsi nasi goreng itu. Ketika dia akhirnya mengembalikan piring ke atas nampan, Renard tidak berkomentar. Setelah selesai makan, Renard kembali mengajukan pertanyaan.

"Kamu beneran nggak apa-apa, Sweetling?" Suara Renard terdengar cemas.

"Nggak apa-apa," geleng Siahna. "Kaget, marah, dan jijik. Tapi aku bisa mengatasinya."

Renard berdeham. "Aku nggak tau gimana cara kerja otak Bella. Dia sampai ngontak Ashton itu..."

Siahna menghirup udara dengan dada terasa penuh. "Maaf sebelumnya ya, Re. Aku nggak bermaksud menghina. Tapi menurutku, Bella harusnya diawasi psikolog atau psikiater. Aku kok merasa dia itu... ada masalah."

"Aku tau, Sweetling." Renard menahan rambutnya dengan tangan kanan, menunjukkan garis halus yang sudah cukup samar di keningnya. Siahna memajukan tubuh supaya bisa melihat dengan jelas. "Ini hasilnya waktu aku pertama kali ngomongin cerai. Bella melemparku pakai remote, tiga jahitan."

Siahna ternganga. Tangan kanannya terulur begitu saja, mengelus bekas luka Renard. "Gimana caranya kamu bisa bikin dia akhirnya setuju bercerai?"

Renard bercerita bahwa sebagian besar karena campur tangan mertua lelakinya. Siahna berkali-kali menahan diri agar tidak mengernyit karena membayangkan kehidupan rumah tangga yang harus dijalani Renard.

"Sekarang aku jadi lebih paham kenapa dia bereaksi kayak tadi. Karena Bella nggak beneran rela pisah dari kamu. Makanya dia berusaha... apa ya? Bikin kamu nggak pernah punya pasangan?"

"Dan Gwen yang selalu dijadiin alasan. Kayaknya nggak bakalan ada perempuan yang bisa memenuhi kriteria Bella untuk jadi pacarku. Padahal, urusan kami udah kelar kecuali yang berkaitan sama Gwen." Renard mengacak-acak rambutnya. Siahna tertawa kecil.

"Kamu bisa-bisanya malah ketawa sekarang ini. Tadi aku marah dan takut banget. Nyampur-nyampur pokoknya."

Saat itulah Siahna baru teringat pada buku-buku jari Renard yang juga terluka karena memukuli Ashton. Perempuan itu meraih kedua tangan Renard. Lalu, dia meniup punggung tangan lelaki itu dengan perlahan. "Makasih karena kamu udah belain aku ya, Re. Kalau kamu nggak ada, mungkin aku bisa gila setelah tau semua ini." Siahna merasakan matanya memanas. Dia mengangkat wajah untuk menatap Renard. "Selama ini, nggak pernah ada orang yang belain aku mati-matian. Kamu yang pertama. Aku tadi baru nyadar, apa yang kamu lakuin itu bikin aku kuat. Video terkutuk itu dan ketemu Ashton di hari yang sama, ternyata bisa kuhadapi. Makasih ya, Re."

Lelaki itu tidak pernah menjawab kalimat panjang Siahna. Renard malah menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Kini, Siahna menumpahkan perasaannya dengan isakan. Ada banyak sekali emosi yang saling berkelindan dan tak bisa diurai. Namun, Siahna juga memindai perasaan lega. Karena, sepahit apa pun, dia berhadapan dengan kebenaran. Dia tak peduli lagi jika semua orang tahu apa yang pernah dialaminya. Selain itu, Renard ada di sisinya.

Ketukan di pintu yang sengaja dibiarkan terbuka oleh Renard, membuat pasangan itu melepaskan dekapan. Arleen yang pertama dilihat Siahna sebelum Petty yang berdiri di belakangnya.

"Kami boleh masuk, nggak?" tanya Arleen hati-hati. Siahna buru-buru mengangguk sembari mengisyaratkan Renard agar pindah. Lelaki itu malah duduk di sebelah kiri Siahna sembari menggenggam tangan kekasihnya. Siahna yang jengah berusaha melepaskan genggaman Renard tapi ditolak lelaki itu.

"Maaf ya Na, kalau selama ini... aku nyebelin. Aku nggak tau apa yang udah terjadi sama kamu." Petty lebih dulu bersuara. Dia duduk di tepi ranjang, menghadap ke arah Renard dan Siahna. Arleen hanya berdiri di dekat Siahna. "Kamu luar biasa, Na."

Arleen mengimbuhi, "Renard barusan ngasih tau semuanya. Kami... nggak bisa bayangin apa yang kamu rasain, Na. Aku beneran ikut sedih untuk semua yang udah kamu alami."

Arleen yang sensitif itu sudah menangis sebelum kalimatnya usai. Siahna buru-buru maju, menjangkau tangan perempuan itu. Mau tak mau, Renard melepaskan genggamannya. "Makasih, Mbak," desahnya. "Aku nggak apa-apa, kok. Bagian buruknya udah lewat." Tatapannya kemudian ditujukan pada Petty. "Aku lega karena Mbak nggak kesel lagi sama aku," candanya. Petty tertawa kecil mendengarnya.

"Makanya Mbak, jangan selalu reaktif kalau ada apa-apa. Cerna dulu masalahnya. Mama dulu udah sering ngingetin, kan?" sergah Renard. Petty yang biasanya selalu memiliki stok kata-kata untuk mendebar, cuma mengangguk.

"Udah ah, kok kayak adegan sinetron-sinetron gitu, sih. Yang jahat biasanya insyaf di akhir episode. Persis kayak ekspresimu, Mbak," tukas Renard, kali ini dengan nada jail. Petty memukul bahu adiknya sebagai respons.

"Na, jadi rencana ke depan gimana? Kamu nggak mau lapor polisi?" tanya Arleen. "Bella sama teman-temannya udah bikin kejahatan serius. Paling nggak, dia tau kamu..." Arleen berhenti. Perempuan itu lalu menepuk-nepuk punggung tangan Siahna.

"Dulu, aku sering kepikiran itu, Mbak. Tapi belakangan ini... entahlah. Apa ada gunanya? Semuanya udah kejadian. Aku nggak yakin harus ngapain." Siahna ingin menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya saat masih aktif di Survivor, tapi akhirnya memilih untuk menahan diri.

Renard menyela, "Nanti aja dipikirin pelan-pelan. Aku sih setuju sama Mbak Arleen. Mereka itu harus dapat ganjaran walau kejadiannya udah lama."

Mereka menghabiskan waktu mengobrol di kamar itu. Petty memesan piza dan banyak roti serta cake. "Setelah banyak masalah, kita harus makan banyak untuk ngembaliin kalori yang hilang dan menjaga kestabilan gula darah." Itu alasannya saat Renard mengajukan protes karena ada terlalu banyak makanan yang memenuhi ranjang.

Siahna merasa lega karena berada di antara orang-orang yang peduli padanya. Bahkan Petty pun bisa menerima hubungan Siahna dengan Renard. Sebenarnya, itu situasi yang cenderung tidak terduga. Karena perempuan itu sudah membayangkan reaksi kakak sulung kekasihnya itu jika mengetahui hubungan asmara dirinya dan Renard. Namun, hal yang lebih mengejutkan justru terjadi keesokan harinya.

Pagi-pagi, Gwen sudah datang. Kali ini, bukan ibunya yang mengantar. Kevin yang menjemput Gwen, tentunya atas perintah Renard. Begitu bertemu Siahna, Kevin dan keponakannya bereaksi sama hebohnya walau dengan alasan berbeda. Jika Gwen begitu senang melihat Tante Nana sedang menyiapkan sarapan bersama Riris, Kevin justru tampak cemas.

"Aku udah nggak apa-apa, Mantan Suami. Nggak usah lebay gitu, deh. Ada Renard yang jadi pahlawanku. Ssstt, dia sampai mukulin orang," bisik Siahna. "Aku jadinya malah takut dia dilaporin ke polisi."

"Kalaupun iya, nggak masalah. Aku juga udah nggak sabar masukin mereka ke penjara," sahut Kevin. Mereka mengobrol tentang peristiwa kemarin yang sebenarnya ingin dilupakan Siahna.

Usai sarapan, Renard dan Gwen malah pamit karena ingin membeli sesuatu. Gwen merengek ingin mainan yang namanya tak diingat Siahna. Tak lama, Petty dan Arleen yang kemarin tidak menginap, kembali lagi bersama keluarga mereka dan membawa banyak makanan yang tampak lezat.

"Ini kenapa Renard sama Gwen belum balik, ya? Udah hampir tengah hari gini," kata Siahna, cemas. Dia sempat menelepon dan mengirimi pesan via WhatsApp, tapi belum direspons oleh Renard.

Kevin menjawab santai tanpa mengalihkan tatapan dari layar televisi. "Kayak nggak tau Gwen aja. Kalau minta beliin satu benda, pulangnya malah bawa tujuh barang tambahan."

Kevin benar. Ketika akhirnya ayah dan anak itu pulang, Gwen memang membeli banyak mainan yang memenuhi tiga kantong plastik. Siahna baru saja hendak beranjak dari tempat duduknya ketika Renard bergabung di ruang keluarga dan malah berlutut di depan perempuan itu. Kevin langsung berteriak memanggil semua kakak, ipar, dan keponakannya yang sejak tadi menghabiskan waktu di halaman belakang.

"Kamu ngapain?" tanya Siahna dengan gugup, meski dia sudah bisa menebak apa yang sedang dilakukan Renard. Lelaki itu tidak berlutut untuk mencari sesuatu yang terjatuh tanpa sengaja, kan? Tatapannya ditujukan ke sekeliling ruang keluarga yang mendadak dipenuhi orang.

"Menurutmu?" balas Renard dengan tenang. Sammy dan Arthur mendadak berubah seperti anak remaja karena mulai bersuit-suit ribut. Anak-anak mereka pun berusaha mengekori apa yang dilakukan oleh sang ayah. Petty, seperti biasa, menjadi polisi yang membuat suasana menjadi hening.

"Renard, jangan main-main, ah!" tukas Siahna dengan wajah panas.

Lelaki itu malah menatapnya intens, membuat Siahna tak sanggup bicara. Sementara di belakang Renard, Gwen berjalan pelan ke arah tantenya. "Aku pengin ngomong banyak tapi mendadak nge-blank. Padahal tadi malam udah latihan," Renard mengangkat bahu tak berdaya. Lalu lelaki itu menoleh ke belakang dan berseru pada putrinya, "Gwen, kamu aja deh yang ngomong."

Kevin dan Arleen tertawa serempak. Sementara Siahna makin bingung. "Kamu apa-apaan sih? Gwen memangnya mau ngomong apa?"

Renard tak menjawab. Kini, Gwen berdiri di sebelah kanan ayahnya. Tangan kanannya terulur ke arah Siahna, dengan sebuah cincin kebesaran melingkari telunjuknya. "Ini aku lho yang milihin. Susah nyari cincin untuk Tante Nana, Papa rewel soalnya. Ini yang paling cakep." Anak itu melirik ke arah Renard yang sedang tersenyum lebar. "Katanya, Papa cinta sama Tante Nana. Papa pengin ngajak jadi pengantin, pakai gaun cantik yang kayak putri-putri itu, lho! Nantinya Tante Nana bisa tinggal di sini sama Papa, trus kita juga gampang ketemu. Trus lagi, Papa bisa jagain Tante Nana." Gwen terdiam, tampak mengingat-ingat.

"Pa, gitu kan, ya? Aku lupa mau ngomong apa lagi," ucapnya pada Renard. Siahna menyaksikan itu dengan bibir terbuka. Lalu, Gwen kembali bicara padanya. "Pokoknya gitu deh. Tante Nana nggak boleh nolak. Kalau nggak mau nikah sama Papa, aku bakalan nangis."

Siahna tertawa, tak sanggup bicara. Akhirnya, dia cuma memeluk Gwen dengan erat.

Lagu :  Say You Won't Let Go (James Arthur)

Catatan :

Ada kabar gembira nih, buat penyuka cerita-cerita yang agak berbeda. Entah dari romansanya sampai kondisi para tokoh utamanya. Aku dan lima penulis lainnya bikin seri baru yang dikasih judul #UnconditionallyLoveSeries.

Pengin tau seberapa berbeda kisah-kisah yang kami tulis? Bisa cek di sini jadwalnya. Eh iya, jangan lupa komen dan vote-nya, ya.

Senin dan Selasa : I Need You - kakahy

Selasa dan Rabu : Ready to Love You - purpleefloo

Rabu dan Kamis : Lovesick – Indah Hanaco

Kamis dan Jumat : Shades of Cool - awtyaswuri

Jumat dan Sabtu : Inspirasa - coffeenians

Sabtu dan Minggu : Icy Eyes - matchaholic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top