Bab 8
Dian segera keluar kamar. Mendebat Dean saat gadis situ sedang marah akan percuma. Mungkin besok Dian akan mencoba untuk membujuk Dean lagi. Dan semoga saja gadis itu mau mengerti. Ia juga berusaha memahami Dean. Pasti sulit untuk gadis itu menerima, Dian berusaha mengerti. Selama ini mereka tak pernah berpisah lama. Mungkin karena itu juga Dean tidak bisa terima.
Dian melangkah gontai menuju kamar tamu di samping dapur. Lalu mendapati mama tengah asik bersama telepon. Dian tidak ingin menegur atau berbasa-basi, ia segera melangkah. Berharap mama tidak melihatnya atau sekedar pura-pura tidak melihat.
Namun sayang, alih-alih membiarkan Dian pergi mama justru memanggilnya. Meletakkan ponsel yang semula digenggam, lalu melangkah menghampiri Dian.
"Kamu mau ke mana?"
"Kamar tamu," jawab Dian pelan.
"Diusir Dean? Mama 'kan udah bilang, jangan macem-macem sok mau pergi dari sini. Nggak kasihan sama kembaran kamu? Nggak kasihan sama Ayah? Mereka butuh kamu selagi Mama nggak ada."
Dian terdiam sebentar. "Justru itu. Dian pergi, berharap Mama mau lebih banyak di sini. Peran Dian udah hampir selesai. Dan Mama mau nggak mau harus kembali. Mereka lebih butuh Mama dibanding orang itu."
Mama tertawa pelan. "Kalau Mama nggak mau? Kamu mau apa?"
Sesaat Dian terdiam, tidak menyangka kalau sang mama benar-benar berubah seperti sekarang. Di mana mamanya yang dulu? Yang lembut dan penuh kehangatan? Apakah harta jauh lebih penting dibanding mereka yang mama punya sekarang? Dian tak mengerti. Sama sekali tidak mengerti mengapa mamanya berubah seperti sekarang.
"Mama bener-bener berubah sekarang. Aku nggak kenal Mama."
"Kamu nggak perlu kenal Mama, sayang. Cukup di sini, gantikan peran Mama. Selesai. Tapi ternyata kamu nggak mau menggantikan Mama selama itu, ya terpaksa saudara kembar kamu yang akan menggantikan kamu." Kemudian Mama berlalu dengan tawa pelan setelah mengusap pipi Dian.
Dian menghela napas panjang. Semoga saja apa yang sedang mamanya lakukan sekarang segera ketahuan oleh yang lain. Inilah alasan Dian mengapa ia tak ingin lebih lama berada di rumah. Mama berubah menjadi orang yang tak pernah Dian kenal. Tak ada lagi sisi lembut, tak ada lagi suara menenangkan yang biasa ia dengar menjelang tidur saat kecil dulu. Tak ada lagi kehangatan. Dan Dian hanya bisa berharap semoga mama cepat sadar dan kembali seperti semula.
🍀🍀🍀
Hari berganti terasa lebih cepat. Pagi ini, meja makan hanya diisi oleh si kembar. Mama berangkat pagi sekali entah jam berapa dan ayah baru saja pergi beberapa menit yang lalu. Tinggallah kecanggungan di sana.
Dean sepertinya masih marah, sejak tadi ia hanya akan merespon ketika ayah bertanya. Mengabaikan Dian. Bahkan seperti menganggap saudaranya itu tak ada. Dian mencoba bersabar untuk tidak lagi membahas masalah kemarin.
Namun tiba-tiba Dean bersuara.
"Kamu serius sekolah asrama? Di mana?" Sejak semalam, Dean memang penasaran sekali sekolah mana yang akan Dian masuki. Banyak sekali sekolah asrama di sini. Dan ia tak yakin, Dian akan memilih sekolah asrama di kota mereka tinggal.
Dian terkejut sebenarnya. Ia yakin Dean tak akan menyapanya mungkin hingga esok tiba. Tapi ternyata tidak. Dean dengan rasa penasaran yang tinggi tidak akan diam saja, Dian yakin saudara kembarnya itu pasti akan terus membujuknya untuk tetap tinggal. Tapi sayang, keputusan Dian benar-benar bulat sekarang.
"Masih belum tau. Ada beberapa yang mau aku pilih lagi."
Dean tidak menjawab lagi. Ia menghabiskan makanannya terlebih dahulu. Kemudian menatap Dian dengan pandangan yang tak terbaca.
"Aku nggak tau alasan kamu sebenarnya untuk sekolah asrama itu apa. Yakin banget kalau bukan cuma itu alasannya. Tapi tolong, mungkin kamu bisa pertimbangkan sekali lagi keputusan kamu itu. Kita udah dari kecil banget bareng-bareng terus, bakal aneh rasanya kalau tiba-tiba kamu jauh. Aku nggak bisa."
Dian tersenyum, lalu menggenggam tangan Dean erat. Mencoba meyakinkan saudara kembarnya meski itu sulit. "Aku yakin banget, kamu bisa. Ingat kata Kakek dulu, kita nggak mungkin sama-sama terus sampai tua nanti. Akan ada saat di mana masing-masing dari kita berbeda tujuan dan harus memperjuangkan tujuan kita bagaimana pun caranya. Saat itu telah tiba, Dean. Aku dan kamu, meski baru umur 15 tahun, kita udah beda tujuan. Kita udah nggak bisa bergantung satu sama lain lebih lama. Kamu pasti bisa."
Dean menggeleng. Ia menarik tangannya dari genggaman Dian. Lalu berdiri.
"Aku kasih kamu satu kali lagi kesempatan. Pikirkan semuanya baik-baik sampai hari kelulusan kita tiba. Aku pikir, kamu bakal berubah pikiran dan kita nggak akan pisah. Tapi kalau pilihan kamu tetap sama, aku nggak akan pernah ngomong lagi sama kamu."
Dian menghela napas lebih dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Ini yang ia takutkan ketika berani memutuskan pergi dibanding tinggal lebih lama. Dian pasti tidak akan menerima maaf dari saudara kembarnya. Tapi jika terus berada di sini, tak akan ada kemungkinan semua perlakuan Mama terbongkar. Orang itu bilang, ia harus pergi jauh jika ingin semuanya terbongkar.
Salahkah Dian jika ia ingin semua orang tahu mama yang katanya baik itu sebenarnya tidak demikian?
Dian hanya ingin ayah tidak terluka lebih dalam. Cukup ia sering melihat ayah kesusahan dan lebih sering bertengkar dengan mama. Ia ingin semuanya cepat terbongkar dan ayah akan baik-baik saja. Meski nyatanya ayah akan lebih terluka pada awalnya.
🍀🍀🍀
Semuanya terasa aneh sejak Dean memintanya untuk kembali memikirkan keputusannya hingga hari kelulusan nanti. Adik kembarnya itu tiba-tiba bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Seolah amarahnya yang kemarin meluap begitu saja. Tak ada lagi sautan kemarahan atau pun teriakan yang memintanya untuk tidur di kamar tamu seperti malam sebelumnya.
Padahal Dian sudah bersiap-siap jikalau Dean memintanya untuk kembali pisah kamar.
Yang dilakukan gadis itu saat ini adalah memandang lemarinya dan mengeluarkan sebagian isinya. Entah memiliki pemikiran dari mana, anak itu tiba-tiba ingin menyumbangkan sebagian bajunya. Bahkan setelah menyisihkan baju yang tak akan ia pakai lagi, pakaian gadis itu masih tetap lebih banyak dari miliknya.
Awalnya Dian ingin berkomentar, menanyakan banyak hal. Namun melihat keceriaan adiknya yang bersikap seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka membuat Dian urung. Jujur, ia takut seandainya Dean kembali marah atau mungkin lebih dari sebelumnya.
Dian memang mengatakan jika ia siap hidup berpisah dengan saudara kembarnya. Padahal nyatanya, ia merasa berat. Jika Dian tidak memikirkan perkataan seseorang tempo lalu, ia tidak akan pernah ingin melakukan ini. Dian tidak pernah ingin berkorban. Tapi nyatanya, ia tidak bisa melihat penderitaan orang-orang yang ia cintai lebih lama. Dian sangat-sangat ingin semua ini berakhir sesuai dengan janji orang itu.
Meskipun itu akan melukai mamanya, Dian tidak peduli. Ia hanya ingin mama sadar, bukan hanya ia yang butuh bahagia. Dian, Dean dan ayahnya juga butuh kehadiran mama.
🍀🍀🍀
Madura, 081220
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top