Bab 6

Dian membuka bungkus plastik di buku yang baru saja ia beli. Kini ia tengah sendiri, Ali baru saja pamit pergi. Katanya, sang ibu meminta untuk segera pulang, entah karena apa. Dian juga sudah menghubungi Dean untuk bertemu di sini saja, ia sedang malas beranjak. Ingin lebih lama di sini. Memikirkan banyak hal yang mungkin akan terjadi ke depannya.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga, kan?

Dian mungkin sedang menyembunyikan sesuatu sekarang. Menyembunyikan banyak hal yang sebenarnya bisa ia bagi, hanya saja Dian tak ingin Dean marah sekarang. Biarlah saudara kembarnya itu tahu nanti, meskipun tidak dari dirinya langsung. Semuanya pasti akan terbongkar secara perlahan.

Saat sedang membaca halaman-halaman awal novel itu, ponsel Dian berbunyi. Menampilkan nama sang saudara kembar. Dian menutup bukunya lalu mengangkat telfon itu.

"Hm? Meja nomor 9. Aku lihat kamu di pintu." Kemudian telfon ditutup oleh Dean saat menemukan tempat Dian duduk.

Senyumnya mengembang seiring dengan langkah Dean yang semakin mendekat. Setidaknya untuk sekarang, Dian harus berpura-pura baik-baik saja. Tidak boleh terlihat aneh dan terlihat mencurigakan. Ia sudah memutuskan untuk membiarkan Dean tahu sendiri apa yang tengah terjadi saat ini.

"Gimana kencannya? Sukses? Atau si Ali kebanyakan modus?" Baru satu detik duduk, Dean sudah mencerca Dian dengan berbagai macam pertanyaan. Sedangkan Dian hanya bisa memutar bola matanya malas. Mulai jengah dengan sikap Dean yang selalu saja menjodoh-jodohkan dia dengan Ali.

Padahal kan mereka baru lulus SMP. Mana boleh kencan seperti yang sering kali Dean bicarakan.

"Apasih?"

"Heran aku tuh, kalian hobi banget kencan ke toko buku. Kencan tuh sekali-kali kita cafe-cafe aesthetic, ke taman kek, bioskop gitu. Eh, malah ke toko buku."

Dian tertawa kecil. "Lagian yang kencan itu siapa, sih? Otak kamu kebanyakan nonton drakor nih, pasti. Kencan mulu yang dipikirin. Pikirin tuh, uang jajan masih ada nggak? Beli baju mulu perasaan."

Menyinggung masalah baju, Dean segera menaruh beberapa tas belanjaan hasil berburunya bersama teman-temannya hari ini.

"Aku tuh beli baju juga paling dipake kamu juga. Kasihan baju kamu itu-itu aja."

"Mama udah sering beliin kita baju kembaran, kamu malah beli lagi."

"Mama itu seleranya beda sama aku. Paling juga yang dibeli kalau nggak babydoll, kaos atau nggak sweatshirt doang."

Dian hanya mengangguk saja. Percuma berdebat dengan Dean, pasti ia yang kalah. Karena memang benar, kebanyakan baju yang Mama belikan hanya dipakai beberapa kali oleh Dean, katanya sih modelnya tak sesuai dengan keinginannya. Jadilah baju-baju itu, Dian yang memakai. Lagipula ia tak sering pergi ke luar rumah. Berbeda dengan Dean yang sepertinya hampir setiap hari nongkrong bareng bersama temannya.

Dian dan Dean memang sangat berbeda hampir di semua sisi kecuali wajah mereka. Padahal sebenarnya wajah mereka juga berbeda, tidak begitu mirip. Kadang Dian merasa iri, mengapa ia tidak bisa selincah dan sehangat saudara kembarnya. Tapi Ali kembali menyadarkan bahwa setiap manusia itu berbeda. Beda otak, beda pula sikap dan kepribadiannya. Karena perkataan Ali tempo waktu lalu, Dian mulai lebih percaya diri. Lagipula memang ini dia apa adanya. Dian tidak bisa menjadi Dean dan Dean juga tidak bisa menjadi Dian. Mereka berbeda dan meskipun begitu, Dian tetap bersyukur memiliki Dean dalam hidupnya.

Tidak semua manusia dilahirkan kembar, bukan?

Karena itu, Dian sudah mulai bisa mengurangi rasa iri yang sebenarnya tidak boleh ia rasakan. Karena Ali tentu saja. Cowok itu memang banyak mengubah Dian dari waktu ke waktu. Meski terkadang menyebalkan, Ali adalah teman terbaik selain Dean. Dan Dian juga bersyukur memiliki Ali dalam hidupnya. Sekali lagi, Dian hanya merasa Ali teman terbaiknya. Jangan seperti Dean yang hobi sekali mengganggunya.

"Kamu cuma beli satu buku doang?"

Dian menoleh, lalu menatap Dean sembari mengangguk. "Tumben."

"Lagi hemat, bulan depan paling beli lagi."

"Berarti bisa dong ngutang?" Dian mendelik.

"Nggak ada. Tanggung jawab sendiri kalau uangnya habis. Suruh siapa beli baju banyak-banyak." Dean seketika cemberut. Padahal sebenarnya ia hanya bercanda. Baju-baju yang ia beli, mendapatkan banyak diskon jadi Dean tetap menghemat dan tidak melewati batas.

🍀🍀🍀

Mereka sampai di rumah tak lama kemudian. Untung saja saat itu mama belum pulang, jadi meskipun pulang lebih telat dari biasanya duo D itu tidak dimarah. Meskipun begitu mereka tetap mendapatkan serangkaian pertanyaan dari ayah.

"Kok tumben kalian pulangnya lebih malem? Keasyikan ngobrol apa gimana?" tanyanya.

Dian menggeleng. "Tadi sekalian makan malam aja, Yah."

"Jadi Ayah nggak dapet apa-apa ini?" Dean menggeleng cepat. Ia dan Dian telah membelikan ayah makanan. Karena tadi mama sempat bilang jika wanita itu kemungkinan pulang lebih malam dari biasanya.

"Mama kalian gimana?"

"Pulang malam katanya, Yah. Mungkin lembur."

Tak ada balasan lagi dari ayah. Pria itu lebih memilih untuk beranjak mengambil sendok, lalu kembali dan memakan makanan yang mereka beli. Melihat respon ayahnya yang sepertinya tidak begitu peduli, membuat Dean sedikit bingung. Lalu tak lama kemudian, Dian pamit pergi ke kamar. Katanya ingin istirahat lebih dulu.

Dean memilih untuk tidak memedulikan keanehan itu, lalu bangkit mengikuti Dian. Senyumnya berubah cerah saat baru saja mengingat jika ada hal yang ingin Dean ceritakan pada Dian.

"Di, Di, ya ampun," katanya heboh.

"Apa?"

"Temen-temen aku pada janjian mau masuk SMA itu bareng. Seneng banget. Meskipun ada beberapa yang beda jurusan tapi tetep aja seneng banget."

Dian terdiam sebentar. "Kamu mau ngambil jurusan apa?" Dian berusaha mengalihkan perhatian dan berdo'a diam-diam semoga Dean tidak bertanya macam-macam.

"IPS lah. Kamu udah tau 'kan, aku mau kuliah jurusan psikolog. Yang paling cocok ya IPS. Tapi kita jadi sekolah bareng 'kan, Di?" Dian seketika terdiam mendengar pertanyaan dari saudara kembarnya.

"InsyaAllah." Dian hanya menjawab satu kata.

Dean terdiam setelahnya. Entah kenapa ia malah tidak suka mendengar jawaban Dian. Kenapa sejak waktu itu susah sekali untuk Dian menjawab iya? Padahal mereka sudah berjanji untuk sekolah bersama. Dian tidak mungkin memiliki tujuan yang berbeda, bukan? Atau ini hanya perasaan Dean saja bahwa saat ini Dian sedang menghindar dari pertanyaan-pertanyaan tentang sekolah? Bukankah pendaftaran SMA sebentar lagi?

Tapi Dean memilih untuk tidak bertanya lebih jauh lagi. Meskipun ia takut Dian mengambil keputusan yang berbeda, memaksa gadis itu menjawab sekarang akan percuma. Dian akan tetap diam sampai saatnya tiba. Dean yakin beberapa hari lagi, Dian pasti menyatakan keputusannya dan saat itu juga Dean berharap untuk tidak berpisah dengan saudara kembarnya.

Bukannya apa, Dean hanya merasa tidak bisa tanpa Dian. Selama ini, Dian selalu berada di dekatnya. Selalu terlihat dalam pandangannya. Akan aneh rasanya jika Dean tidak bisa melihat Dian dalam waktu yang lama. Apalagi SMA adalah jenjang yang lebih serius. Di mana Dean sudah tidak bisa lagi bermain-main.

Namun jika tanpa Dian, Dean yakin hidupnya akan jauh lebih susah.

🍀🍀🍀

Madura, 121020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top