8. Semuanya Baik-Baik Saja
-oOo-
DARU merasakan langkahnya semakin berat ketika memarkirkan sepeda di lahan depan Wiramart. Rasa pening di kepala bagian belakang yang tadi terbentur batu kini merambat sampai belakang mata. Dia harus berkedip beberapa kali untuk menjernihkan pandangannya.
Saat Daru membuka pintu toko, Senja yang berdiri di balik konter kasir menyambutnya dengan ramah. Wajah Senja, sumringah seperti biasa, tetapi itu hanya bertahan beberapa detik setelah dia memperhatikan raut Daru yang lesu. Senja berpikir-pikir, apa yang membuat pemuda ini kelihatan pucat dan lelah?
"Mas Daru," kata Senja ragu-ragu. Tebakannya mendarat pada kondisi adik Daru yang kemarin pulang dalam keadaan demam. "Gimana keadaan Hita sekarang?"
"Baik-baik aja, Mbak," jawab Daru sekenanya.
"Oh, syukur, deh," Senja mengulas senyum lega. "Kukira Hita masih sakit."
Tapi kenapa Daru kelihatan lesu?
Senja mengira bahwa abangnya Hita barangkali sedang tidak enak badan, dan dia kepikiran untuk meyakinkan dugaannya dengan bertanya langsung. Namun, belum sempat Senja membuka mulut, Daru malah melengos pergi ke ruang pegawai yang terletak di bagian belakang toko, meninggalkan Senja yang menatapnya terheran-heran.
Di dalam ruang pegawai yang hanya berisi kursi panjang, serta karpet untuk solat, Daru menutup pintu sebentar untuk berganti seragam toko. Dia mencabut kemeja berwarna beige dari dalam tas, lalu mengenakannya tanpa mencopot kaus yang sedang dikenakannya terlebih dulu. Biasanya Daru akan melepas kausnya, tetapi kali ini dia merasa aneh. Badannya kedinginan sampai-sampai nyaris menggigil.
Karena penasaran, pemuda itu menekan keningnya dengan telapak tangan. Dia menelan ludah saat merasakan panas yang berdenyar di sana.
Sakit adalah penghalang paling besar. Daru sangat membenci setiap kali dirinya butuh istirahat di kasur selama berhari-hari. Sebab itu artinya pengurangan dari jam produktifnya untuk mencari uang. Tentu saja hal ini merugikannya, apalagi upah di toko dihitung berdasarkan jam bekerja. Tidak ada kompensasi bila harus libur karena sakit.
Daru kepalang resah dan kecewa. Kalau sampai dia terpuruk sakit, siapa yang akan mengurus rumah dan menjaga Hita? Tidak mungkin membiarkan bocah sekecil Hita merawat orang sakit, dan dia ogah menitipkan anak itu ke rumah tetangga. Sudah cukup banyak bantuan yang selama ini diterima Daru dari para tetangganya. Dia tidak mau menjadi orang yang merepotkan.
Diliputi sumber kegelisahan tersebut, akhirnya Daru menguatkan diri keluar dari ruang istirahat pegawai. Senja masih berdiri di konter kasir dan sedang melayani pembeli, jadi Daru menghambur ke rak-rak terdekat untuk menata dan memeriksa barang dagangan. Dia masih bisa melayani empat sampai lima pembeli yang menanyainya macam-macam tentang produk jualan. Namun, di tengah jam kerjanya, Daru merasa semakin tidak enak badan. Pemuda itu menggunakan kesempatan di jam kosong untuk berganti peran dengan Senja.
"Mbak, gantian saya yang jaga kasir, ya."
Senja menyetujui permintaannya dan membiarkan Daru berjaga di balik konter. Pemuda itu langsung duduk di kursi jaga, tetapi ekspresinya pucat dan tegang―seperti berusaha menahan sesuatu. Senja yang melihatnya langsung diliputi kecurigaan. "Mas enggak apa-apa?"
"Enggak papa."
"Tapi Mas kelihatan pucat. Belum sarapan, ya? Ini makan dulu seadanya," Senja menarik kemasan roti selai untuk diberikan pada Daru. "Tenang, aku traktir. Tante Wita sekarang lagi ada urusan, jadi enggak bisa ada di toko."
"Makasih, Mbak," Daru tidak sanggup untuk membuat-buat alasan lagi. Wajah pucatnya pasti tidak bisa berbohong. Pemuda itu mengamati roti di atas meja, tetapi nafsu makannya hilang. Sebagai gantinya, perutnya mual dan sakit.
"Gimana kalau Mas libur aja?" Senja bertanya khawatir.
"Enggak usah, Mbak," kata Daru. "Ini udah biasa. Nanti malam juga baikan."
"Hah? Jadi sebelumnya sering kayak gini?"
"Kadang-kadang aja, Mbak." Daru memang tidak mengada-ada. Ada masa-masa dimana dirinya merasa tidak enak badan tetapi memilih untuk tetap bekerja. Ujung-ujungnya dia tetap baik-baik saja. Namun, saat ini memang agak berbeda. Bukan sakit biasa yang akan hilang setelah diguyur obat. Melainkan sekujur tubuhnya terasa berat, seolah minta direbahkan. Sakit di perutnya juga mulai menjalar di punggung dan lehernya. Daru tidak mau bilang macam-macam pada Senja, karena takut keluhannya akan membuat gadis itu repot.
"Mas badannya panas, ya?" Senja hendak memeriksa kening Daru, tetapi pemuda itu menghindar lembut.
"Pusing dikit aja, Mbak. Kemarin saya tidur kemalaman soalnya."
"Loh, kenapa?"
"Hita kan sakit sepulangnya dari Nawarma. Jadi saya nungguin dia semalaman sampai panasnya turun."
Senja manggut-manggut, diam-diam merasa kasihan sekaligus tersentuh dengan upaya Daru merawat anak kecil.
"Tapi Mas jangan memaksakan diri kalau ngerasa enggak enak badan. Fokus dulu untuk disembuhkan, supaya nanti enggak tambah parah. Sini rotinya kubukain," Senja mengambil roti dari tangan Daru yang kelihatan payah untuk membukanya. Entah sudah terlalu tidak bertenaga atau hal lain.
"Nih, yang kayak gini bisa dibuka pakai gigi, kayak kata Mas waktu itu." Senja menirukan gaya Daru ketika membuka plastik sambal menggunakan gigi, dan Daru masih sempat-sempatnya nyengir tepis. Tingkah Senja cukup berhasil membuatnya lupa rasa sakit sejenak.
Lima belas menit berlalu. Toko mereka sudah kedatangan empat pembeli baru. Langit di luar mulai mendung lagi dan siap memuntahkan hujan deras seperti kemarin. Senja duduk bersama Daru di kursi kasir sambil menggumamkan nyanyian tanpa syair. Karena bosan, dia bertanya sesuatu, "Oh, ya, Hita sudah enggak sedih, kan soal Inaw?"
"Inaw sudah ketemu, Mbak. Tadi pagi saya coba cari dia di bukit, dan Alhamdulillah kucingnya masih keluyuran di sana."
"Loh, beneran, Mas? Nah, aku seneng dengernya kalau gini!" Senja tersenyum lebar sekali sehingga Daru bisa melihat wajahnya yang berseri-seri senang. "Aku udah kepikiran mau bantu nyari Inaw loh, sepulangnya dari sini."
"Enggak perlu repot-repot, Mbak."
"Beneran enggak apa, soalnya aku bosen di rumah Tante Wita."
"Mbak enggak ada kegiatan lain memangnya?"
"Enggak. Aku kan ke sini niatnya mau liburan."
"Libur kuliah, Mbak?"
Senja menatap wajah Daru. Untuk sekilas gadis itu terlihat hendak mengatakan sesuatu yang penting, tetapi malah berakhir dengan pernyataan enteng, "Enggak, sih. Aku kuliah semester dua, tapi sekarang ambil cuti dulu."
"Kenapa, Mbak?"
"Kepo, deh."
Daru mengernyitkan kening. "Apa, Mbak?"
Lalu Senja membalasnya dengan kekehan kecil, "Mau tahu aja, Masnya. Ya pokoknya aku cuti kuliah, gituu."
Lalu Daru kepikiran bertanya sesuatu, "Kuliah itu enak enggak, Mbak?"
"Eh?" Senja menaikkan alis, kemudian menatap ke atas sambil berpikir-pikir. "Ya, ada enak dan enggaknya, sih. Tapi aku cuti bukan karena enggak suka sama kuliahnya, loh." Saat Senja melihat anggukan ala kadar dari Daru, dia balik bertanya, "Mas Daru kenapa nanya gitu?"
"Enggak papa. Saya penasaran aja gimana rasanya kuliah."
Lalu Senja memahami sesuatu. Di hari pertamanya bekerja di toko, Bu Garwita pernah mengatakan pada Senja bahwa usia Daru seumuran dengannya. Bukankah artinya seharusnya pemuda ini kuliah juga?
"Mas Daru memangnya enggak kuliah?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya.
"Enggak, Mbak," jawab Daru.
"Kenapa, Mas?"
"Kepo, deh."
Lah, sial.
Senja ingin membalasnya dengan sedikit sindiran atau ocehan panas, tetapi dia memutuskan menahan diri. Jawaban barusan akhirnya membuatnya berhenti bertanya-tanya lagi pada Daru.
Beberapa saat kemudian, hujan turun. Mula-mula tetesan kecilnya menyiprati jendela toko dengan segan, lalu dalam sekejap berubah menjadi hunjaman liar yang deras.
Tidak ada percakapan yang mengalir di antara mereka, sehingga Daru tidak punya sesuatu untuk mengalihkan rasa sakitnya. Kali ini, dia semakin merasa tidak enak badan. Tubuhnya panas dingin dan keringatnya tidak berhenti mengalir. Daru melipat kedua tangan di depan dada dan berusaha menghangatkan tubuh, walau tidak berhasil. Benak kecilnya berteriak menyesal karena dia baru menyadari betapa parah sakitnya sekarang. Dia mulai tidak kuat, tetapi tidak bisa pulang. Khawatir dirinya akan pingsan di tengah jalan dan bermandikan hujan begini lebat.
Senja tampaknya menangkap tanda-tanda kesakitan Daru. Gadis itu menengok ke bawah, memeriksa wajah Daru yang sedang menunduk. Pemuda itu sedang memejamkan mata sambil menarik napas dari mulut.
"Mas ... serius enggak papa, kan?"
Daru tidak bisa menyembunyikan badannya yang gemetaran, dan gadis di sebelahnya semakin khawatir. Senja mau tidak mau menangkupkan tangan pada kening Daru yang berkeringat, sontak terkejut merasakan kulit Daru yang membara seperti kompor.
"Astaga, ini kan demam tinggi. Gimana sih, Mas? Katanya tadi cuma pusing? Masih kuat jalan, enggak?"
Daru menggeleng. Terpaksa dia menyandarkan kepalanya di pundak Senja.
"Mas jangan pingsan dulu. Aku antar ke ruang pegawai!" Gadis itu membantunya berdiri, tetapi Daru terlanjur tidak bisa menahannya lagi.
"E-eh, Mas Daru!'
Tubuh Daru tergelincir dari pegangan Senja lalu ambruk ke lantai, gemetaran parah dan berkeringat. Senja berlutut, berusaha menepuk-nepuk pipi Daru dan menyuruhnya agar sadar, tetapi Daru tidak merespons.
Dia telah kehilangan kesadaran sepenuhnya.[]
-oOo-
.
.
.
Andai orang yang pingsan bisa sempat milih jatuhnya dimana, Daru pasti memilih jatuh di pelukan Senja, ihihihiy 🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top