※ Satu Jalan
Jean melirik ke belakang dari ujung mata setiap lima detik sekali, berharap sosok yang berjalan di belakangnya hanya kebetulan searah dan segera berbelok arah.
Namun, realita tak sesuai dengan ekspetasinya. Suara ketukan langkah sepatu yang menapak aspal itu masih terdengar di rungu, mengikutinya dengan tempo yang tak berubah sedari awal.
Perempuan itu merogoh saku roknya, menggenggam botol pepper spray yang tersimpan di dalamnya. Jika dia hendak melakukan hal yang tidak-tidak, tinggal kubuat buta matanya dengan ini.
Jean bukan perempuan yang lemah. Ia bisa saja menghajar habis-habisan pria yang ukurannya dua kali lebih besar darinya, namun dirinya lebih memilih cara sederhana ini karena beberapa sebab. Selain karena dapat menimbulkan keributan, ia bisa saja dituduh atas tindakan kekerasan atau perampokan oleh si penguntit, walau sebenarnya perlawanan tersebut hanya untuk membela diri.
Banyak kasus seperti demikian yang tersebar di media, sehingga Jean tak merasa asing dengan motif para pelaku tindak pelecehan seksual yang melakukan playing victim.
Jean perlahan memperlambat langkahnya, membiarkan si pembuntut menyusupnya. Dan sesuai rencananya, tempo langkah sosok di belakangnya bertambah cepat.
Bagus, batin Jean sembari mengeratkan genggaman pada botol pepper spray-nya. Tinggal sedikit lagi.
Dan ketika ia merasakkan sebuah telapak tangan memegang pundak kanannya, Jean langsung membalikkan badan dan menekan tombol pepper spray-nya― yang mana membuat sang pemilik tangan mengaduh kesakitan akibat rasa perih yang mencabik-cabik matanya.
Namun bukannya merasa lega, rasa bersalah memenuhi relung hati kala wanita itu mendapati sosok sebenarnya yang membuntutinya. Sosok tersebut tak lain adalah Diluc, teman masa kecilnya dulu pula orang yang satu kereta dengannya beberapa waktu lalu.
Jean langsung memggelengkan kepala untuk mengusir keterkejutan pula berbagai dugaan yang mulai bermunculan dalam benaknya. Tangannya dengan sigap merogoh tas, mengeluarkan sebotol air mineral sebelum menyodorkannya pada Diluc.
"Silahkan dipakai, Kak," ucapnya cemas.
Diluc langsung meraih botol tersebut, membuka tutupnya dengan tergesa-gesa. Dituangkannya air ke telapak tangan, lantas menyiramkannya pada mata yang perih akibat cairan bercampur bubuk cabai yang masuk.
Keheningan yang menyelimuti membuat Jean semakin merasa bersalah. Pegangan pada tali tasnya mengerat kala penyesalan menyelimuti hatinya. Andai aku menoleh ke belakang sebentar, pasti hal ini tak akan terjadi.
"Terima kasih, Jean." Diluc menyeka air mata yang masih terus bercucuran, memberikan kembali botol pada sang pemilik. "Mataku terasa agak mendingan sekarang."
Sang puan bersurai pirang menerima botol yang masih tersisa setengah penuh dari daya tampung tersebut. "Sama-sama. Maaf, Kak. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk melukaimu. Aku kira tadi--"
Penjelasan Jean terjeda kala lelaki bersurai merah di hadapan terkekeh, sang wanita bernetra hijau memiringkan kepala karena bingung.
"Kau sudah melakukan hal yang benar," sahut Diluc dengan tangan yang masih menutupi salah satu mata, bibirnya mengulas senyum. "Jadi, tidak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya meminta maaf karena tidak memanggil namamu."
"Tapi aku sudah--"
"Sudah kubilang tidak perlu minta maaf, 'kan?"
"Tapi--"
Diluc mengangkat tangan kanannya, yang mana membuat Jean langsung terdiam. Lelaki itu tahu betapa keras kepalanya sang puan kala masih kecil, namun ia tak menyangka bahwa sikap bebal tersebut masih terbawa hingga kini.
Walau demikian, Diluc merasa senang akan fakta bahwa sang gadis yang memikatnya sedari lama tak banyak berubah.
"Jika kau terus meminta maaf, aku malah tidak akan memaafkanmu," ucap Diluc sembari mengulas senyum tipis, kedua tangan kini bersedekap di depan dada.
Kala Jean hendak membuka mulut, Diluc segera meletakkan jari telunjuknya pada bibir milik perempuan itu. Sepasang nayanika zamrud melirik, mendapati sang pemilik telunjuk masih menyunggingkan senyum tipis.
Setelah memastikan bahwa wanita di depannya tidak lagi bersuara, Diluc perlahan menarik telunjuknya. "Tidak ada tapi-tapian." Pria itu meraih sebuah sapu tangan dari saku, mengusap bekas lipstik yang terasa lengket di telunjuk tanpa mengalihkan pandangan dari sang puan. "Daripada berdebat di sini bukankah akan lebih baik jika kita mulai bergegas?"
Jean mengerjap, spontan melihat ke arah jam tangan yang melilit di pergelangan tangan kiri. "Benar, kita harus bergegas."
Si perempuan pirang segera memasukkan botol air mineral ke dalam tas. Ia membungkukkan badan ke arah lelaki di hadapan dengan rasa bersalah yang masih tersisa dalam hati, menegakkan kembali untuk mengucap pamit. "Kalau begitu, aku permisi--"
"Tunggu."
Jean batal melangkah ketika merasakan genggaman yang meraih lengannya. Pandangannya kembali tertuju pada Diluc, bibirnya melantunkan tanya, "Ada apa, Kak?"
"Kita berangkat bersama saja."
Bersama?
Belum sempat Jean membuka mulut untuk bertanya maksud dari ucapannya, Diluc sudah mengatakan perkataan yang amat mengejutkan lebih dulu.
"... Karena, kita menuju ke tempat yang sama."
‧͙⁺˚*・༓☾ ☽༓・*˚⁺‧͙
To be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top