You 70: Flashback

Beberapa minggu sebelum Jennie pindah dari Daegu..

"Anak dibawah umur sepertimu bisa apa memangnya tanpa orangtua? Lebih baik kau ikuti tawaranku. Makan tersedia, fasilitas lengkap, uang lancar, apa yang kau butuhkan ada. Semua yang kau butuhkan ada di dalam rumah itu. Kurang apa? Nikmati saja."

Jennie termenung di depan kolam renang sambil memikirkan perkataan Appa Krystal di ruangannya sore itu, beberapa bulan sebelum ia berada di rumah ini. 

"Demi apa kau melakukan ini?"

"Tentu saja demi dirimu dan eomma-mu. Kau diusir appa-mu dan masih tidak mau berdamai dengan eomma-mu. Lalu, bagaimana kau bisa hidup? Dengan terus bergantung pada temanmu dan ibunya? Kau bebas di Daegu. Hanya saja aku harus mengawasimu. Kau akan berada dibawah pengawasanku dan Krystal."

Jennie tidak mengira pengawasan yang dimaksud Appa Krystal akan sangat ketat.

"Ah sial! Semua ruangan dipasangi CCTV!" 

Jennie melempar batu yang dipegangnya ke kolam renang di depannya.

"Memang Irene tidak merasa kerepotan sama sekali, tapi aku juga tidak bisa begini terus. Sementara ini tawaran Appa Krystal cukup membantu walau terasa seperti di penjara."

Pikir Jennie saat itu.

"Mustahil aku memanjat dinding ini, disamping dan diluar juga ada CCTV." 

Jennie kembali masuk ke dalam rumah itu. Ia menekan tombol lift menuju lantai tiga. 

Melangkah ke luar lift, ia berbelok ke kanan. Ruangan di lantai tiga itu cukup luas.

Jennie kembali ke kamarnya dan membanting pintunya dengan cukup keras.

Ia melangkah ke kamar mandi. Duduk diatas kloset. Membuka google dan mulai mengetik.

"harga tiket pesawat-"

Namun tiba-tiba kursornya bergerak dan menekan tombol close.

"Sial. Tidak bisa."

Jennie lupa ponselnya dipasangi pelacak dan pengawas, dan terkadang akan di remote oleh orang-orang suruhan Appa-nya jika Jennie mencari hal yang mencurigakan.

"Mereka pasti masih mengawasiku sekarang. Kapan pengawas-pengawas sial itu tidur?!"

Jennie nyaris membanting ponsel yang diberikan Appa Krystal.

"Aku rindu ponsel lamaku."

Jennie menutup wajahnya, nyaris menangis. Ia ingat hari dimana ia menyetujui tawaran Appa Krystal.

"Pertama, kau harus mengganti ponselmu. Kedua, semua fasilitas yang kau butuhkan akan diantar ke rumah itu termasuk makanan, pakaian, dan apapun. Kau tidak membutuhkan uang karena semua kebutuhanmu akan disiapkan melalui ponsel ini."

Appa Krystal menyodorkan sebuah ponsel baru yang bahkan lebih bagus dari ponsel Jennie.

Jennie memberikan ponselnya.

"Kemarikan."

"Apa?"

Jennie menatap Appa Krystal dengan tatapan bingung.

"Memory card, dan nomor lamamu."

"Untuk apa?"

"Kau harus menggantinya juga dengan menitipkannya padaku."

Jennie yang masih berpikiran positif menyerahkan nomor dan kartu memory cardnya pada Appa Krystal, sebelum rasa kesal luar biasa menyelimutinya karena Appa Krystal meremukkan nomor ponsel dan kartu memorinya menjadi dua dan membuangnya ke tong sampah disampingnya, dan itu dilakukannya dihadapan Jennie.

"Apa yang kau lakukan?!"

Disana banyak foto Jisoo. Demi apa, Jennie ingin menyekek suami baru Eomma-nya ini sampai pingsan.

"Kau berada di bawah pengawasanku. Ini tiket pesawat. Selamat menjalani hidup baru dengan tenang. Nanti akan ada yang menjemputmu di bandara Daegu, untuk penerbangan ini kau bisa berangkat sendiri agar tidak ada yang curiga."

Jennie tidak punya pilihan lain selain mengambil ponsel dan tiket yang diberikan Appa Krystal itu.

"Aku harus melihatnya untuk terakhir kali."

Keputusan Jennie sudah bulat. Di rumah Irene ia menulis beberapa pesan terakhir sebelum ia pergi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya jadi dia harus berjaga-jaga.

Ia mengintai rumah itu. Rumah yang menyaksikan kesendiriannya selama bertahun-tahun.

"Sepertinya orang itu tidak ada di rumah."

Jennie melangkah mendekat ke pintu rumahnya. Ia mengetuk pintunya tiga kali.

"Siapa?"

Jennie tertegun melihat Jisoo membukakan pintu untuknya.

"Jennie?"

Jisoo terkejut, tapi senyuman cerah segera muncul di wajahnya.

"Kau darimana?"

Jisoo menggenggam kedua tangan Jennie.

Jennie hanya tersenyum sekilas.

"Jalan-jalan. Tapi ingin mampir sebentar melihatmu."

Jawab Jennie.

"Ayo masuk jangan berdiri di luar. Appa sedang tidak di rumah."

Jisoo menarik tangan Jennie ke dalam rumah, namun Jennie menahannya dan menarik Jisoo ke dalam pelukannya.

"Hei, aku tahu kau merindukanku. Tapi bagaimana kalau ada tetangga lewat? Bisa gawat ini."

"Baiklah." 

Jennie segera menutup pintu rumahnya dan menarik Jisoo ke dalam kamarnnya dan menguncinya dari dalam.

"Jen?"

Jennie mendorong Jisoo ke kasurnya dan menindih Jisoo dibawahnya.

"Diam, dan nikmati saja."

Jennie akan sangat merindukan bibir hangat Jisoo yang ia rasakan malam ini sebelum ia pergi meninggalkan Seoul.

"Ah..."

Jennie menghapus air matanya. Ia teringat percakapannya malam itu dengan Jisoo setelah mereka melakukan aktivitas penuh kenangan dan harus berpisah tanpa Jisoo ketahui.

"Bagaimana sesaknya dia ya? Aku yang sudah tahu harus meninggalkannya saja sesakit ini, apalagi dia yang tidak tahu rencanaku hari itu?" 

Lamunan Jennie buyar ketika bel pintu rumahnya ditekan. Jennie turun untuk membukakan pintu. Makan malamnya pasti sudah datang.

"Silahkan."

"Apa aku boleh menambah pesanan?"

"Tidak bisa, Nona. Saya diperintahkan untuk mengantar ini dan untuk melakukan pemesanan silakan langsung telepon atau pesan melalui aplikasi."

"Mwo?! Pelayanan macam apa ini?"

"Appa anda berpesan bahwa kami hanya boleh mengantarkan makanan yang sudah dibayarnya saja."

Jennie terpaku di tempatnya. 

"Sampai memilih makanan pun aku tidak bisa."

pikirnya.

Ia memandangi layar ponselnya sebelum masuk kembali ke dalam rumah. Foto Jisoo sedang tertidur yang diambilnya diam-diam malam itu.

Jennie kembali ke kamarnya setelah selesai makan sendirian di lantai dua. 

Tiba-tiba ponselnya berdering. 

"Mau sampai kapan kau menatapi fotonya terus? Hm? Lebih baik kau hapus saja dan ganti dengan fotoku."

Suara Krystal di seberang sana.

"Apa dia sedang melihat CCTV?"

Pikir Jennie. Ia melihat kearah CCTV di belakangnya.

"Bagaimana harimu? Menyenangkan?"

Krystal masih terus mengajaknya berbicara dan Jennie menjawab dengan berusaha ramah pada temannya itu. Jennie berpikir sesuatu.

"Mungkin, aku bisa menggunakan Krystal."

"Membosankan. Aku tidak bisa keluar, dan Appa-mu terlalu mengatur. Aku seperti tawanan, bahkan rumah ini bukan milikku."

"Rumah ini milikmu, kalau kau menikah denganku!"

Krystal memang bercanda dan tertawa, tapi Jennie ingin memancingnya ke dalam permainan ini.

"Kalau begitu ayo menikah."

"Jinjja??"

Krystal yang sedang berbaring di sofanya sampai terduduk mendengar jawaban serius Jennie.

"Pikir saja sendiri. Kalau kau memang serius. Buktikan."

"Jennie tunggu!"

"Yeoboseyo... Yeoboseyo..."

Jennie mengakhiri panggilannya dan mematikan ponselnya, setelahnya ia tidur. Sedangkan Krystal tidak bisa tidur sampai pagi memikirkan ucapan Jennie.

Hari demi hari berlalu.

"Aku sudah menggantinya."

"Benarkah??"

Jennie terkejut.

"Iya, aku berhasil membujuk Appa."

"Wah, hanya dalam satu minggu. Aku harus lebih berhati-hati sedikit mulai sekarang sebelum melakukan sesuatu."

Pikir Jennie.

"Jadi kapan kita menikah?"

Krystal tertawa diujung sana membuat Jennie menelan ludahnya susah payah.

"Secepatnya. Kau harus lulus dulu kan."

"Apa kau masih memikirkan Jisoo?"

"Sedikit."

Jennie memaksakan tawanya.

"Jadi kapan kau datang kesini dan membawakan sertifikatku?"

Ia terus mengikuti obrolan Krystal.

***

"Aku bawa dokumennya."

Jennie sedang berada di salah satu kantor real estate di Daegu.

"Semua dokumennya lengkap. Tidak ada masalah dengan rumah itu. Aku hanya harus pindah dari kota ini."

Staff yang melayani Jennie sejak ia mendaftar beberapa hari yang lalu memeriksa semua dokumen yang dikumpulkan Jennie hari ini.

"Baiklah. Kapan kami bisa melihat rumahnya?"

"Sekarang."

***

Malam sebelumnya...

"Besok akan ada petugas yang datang. Aku memesan beberapa perabot dan interior tambahan untuk rumah ini. Boleh, kan? Kami akan keliling rumah."

Jennie meminta izin pada Krystal.

"Pesan saja. Tentu saja boleh."

"Bagus. Untung saja kau mudah dibodohi."

Ujar Jennie dalam hati.

Rencananya berhasil.

Cinta memang membutakan, sampai kau tahu akan kebenarannya.

***


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top