You 66: Sweet Chaos
"Apa? Jennie menjual rumahnya yang ada di Daegu?!"
Krystal bangkit dari sofanya, ia berjalan menuju rooftop disamping kamarnya.
"Dari kapan?" Ia masih bertanya pada orang yang sedang meneleponnya itu.
"Kami tidak tahu pastinya tapi pemilik baru rumah ini mengatakan sudah sebulan mereka tinggal disini."
Krystal tertawa miris.
"Sebentar. Biar kuulangi informasi darimu ini. Jennie menjual rumah yang diberikan Appaku padanya? Begitu? Hahaha! Bagaimana bisa?! Kenapa kalian tidak mengawasinya dengan baik? Hah?!!"
Krystal tertawa, lalu ia marah.
"Sebelumnya dia juga menjual isi rumahnya terlebih dahulu?"
Krystal tampak berpikir sambil mengucapkan setiap kalimatnya dengan serius.
"Iya." Jawab mata-mata sewaannya.
"Dan kau bilang, Jennie sekarang ada si Seoul?!"
Krystal memijat pelipisnya.
"Benar Nona. Kemungkinan besar dia kembali ke Seoul."
"Jadi, Jennie berhenti sekolah, pergi dari Seoul ke Daegu, kemudian menjual semuanya yang ia punya di Daegu, hanya demi kembali ke Seoul? Demi Jisoo? Apa setelah ini dia akan bersekolah lagi? Hahaha! Dia sudah gila."
"Benar Nona. Kekasih Nona-"
"Stop. Dia bukan kekasihku. Aku tidak jatuh cinta dengan orang gila. Sekarang cari tau dia dimana dan tangkap dia!"
Krystal berteriak, membuat telinga milik mata-mata sewaannya kesakitan diujung sana.
"Sial, aku harus mencari Lisa."
Krystal berjalan ke taman disamping rooftopnya.
***
"Pergilah bersamaku."
"Tapi..."
Jisoo penuh keraguan mendengar ajakan Chaeyoung.
"Tenang saja, aku akan menjagamu selama kita pergi mencari Jennie."
Jisoo berdebar mendengar tawaran Chaeyoung. Ia ingin sekali pergi mencari Jennie.
"Tapi kemana?"
"Tidak tahu, tapi kita bisa mencoba mencari petunjuk dulu. Dan dari petunjuk yang kudapat, Jennie berada di Daegu."
"Daegu?"
Jisoo menatap Chaeyoung, keningnya berkerut.
"Tapi nanti pasti akan ada masalah kalau aku pergi bersamamu."
Jisoo khawatir Chaeyoung akan kerepotan jika pergi bersama dirinya. Lagipula mereka tidak tahu harus pergi kemana.
"Dia tidak mungkin di Seoul, jadi kita cari ke Daegu. Kalau tidak ada, kita cari ke kota lain. Aniya, mungkin provinsi lain. Ini akan menjadi perjalanan panjang, Jisoo."
"Tidak. Kau akan dicari semua orang. Ini bukan ide bagus, Chaeyoung."
Jisoo menggeleng. Firasatnya tidak enak.
"Aku akan menjagamu, kau akan baik-baik saja."
Chaeyoung menggenggam tangan Jisoo.
"Lagipula kita sudah libur kan."
Chaeyoung tersenyum.
"Yak Chaeyoung!"
Irene yang baru kembali dari dapur memukul kepala Chaeyoung dengan sendok yang sedang dipegangnya.
"Jangan menghasut Jisoo. Kau tidak boleh membawanya kemana-mana!"
Bentak Irene.
"Aku hanya ingin membantunya mencari Jennie."
"Mencari Jennie atau modus untuk berduaan dengannya?"
Irene menatap Chaeyoung dengan sinis.
"Lagipula nanti kau dicari Lisa."
"Yak! Jangan keterlaluan!"
Chaeyoung geram dengan semua tuduhan Irene.
"Ingat, kau itu punya tunangan."
Irene meletakkan daging diatas panggangan.
"Kenapa jadi bawa-bawa tunangan? Aku dan Jisoo kan hanya berteman!"
"Kau kan tahu tunanganmu itu bagaimana?"
Irene mendelik tajam.
"Sudah...sudah..."
Jisoo menghentikan perdebatan keduanya.
Perasaan kehilangannya masih belum berakhir, dicampur rasa penasaran dan sedih, cukup membuat Jisoo frustasi belakangan ini. Walau ada hal aneh yang mengusiknya belakangan ini.
***
"Pikirkanlah, dan tolong pertimbangkan ajakanku."
Chaeyoung masih berusaha meyakinkan Jisoo setelah mengantar Jisoo ke rumahnya.
"Tidurlah. Jaljayo."
Chaeyoung mencium kening Jisoo. Ia tersenyum. Jisoo hanya melambaikan tangannya sambil melihat Chaeyoung yang berjalan ke depan rumahnya.
"Ah, rasanya aku ingin kembali saja ke rumah Irene."
Jisoo meringis. Ia tidak bisa memutuskan harus bagaimana.
"Seandainya Jennie ada disini. Aku benar-benar merindukan caramu yang selalu membuatku tenang, Jen."
Jisoo menatap mobil Chaeyoung yang menjauh.
Sebuah bayangan hitam dibalik pohon berjalan pergi setelah Jisoo kembali masuk ke rumahnya.
***
"Kau darimana?"
Lisa menatap Chaeyoung dengan murka.
"Ponsel dimatikan. Kenapa? Kau takut aku melacakmu? Atau takut aku mengganggumu?"
Chaeyoung hanya mendesah, ia lelah berdebat terus dengan Lisa. Tak ada niat untuk menjawab pertanyaannya.
Ia duduk di sofa kamarnya, membelakangi Lisa yang duduk di kasurnya.
Sebenarnya Chaeyoung ingin langsung berbaring dan tidur ketika ia pulang, tapi seketika niatnya lenyap ketika ia mendapati Lisa sudah berada di kamarnya.
"Aku tidak akan memata-mataimu lagi."
"Yang benar??"
Chaeyoung langsung menatap Lisa, tersenyum bersemangat mendengar perkataannya.
Lisa menatapnya tidak percaya. Ia tertawa miris melihat respon Chaeyoung.
"Kita putus saja."
Ujar Lisa.
Menyadari itu Chaeyoung menutup mulutnya.
"Sepertinya kau setuju. Baguslah. Mulai sekarang kita bersaing secara sehat."
Lisa beranjak dari kasur Chaeyoung.
"Hah? Maksudmu?"
"Dulu, aku menerima tawaranmu dengan berpikir bahwa dengan begini aku akan lebih mudah mendekati Jisoo. Tapi aku malah kerepotan harus menjagamu juga. Ini melelahkan."
Chaeyoung tercengang.
"Ma..maksudmu?"
Ia berjalan mendekat kearah Lisa.
"Kau bertunangan denganku hanya menjadikanku alat kan? Agar Appa-mu dan Jisoo tidak curiga kau suka padanya dan kau bisa tetap mendekatinya. Iya kan?"
"Aniya..."
Chaeyoung pucat.
Lisa melangkah keluar kamar Chaeyoung.
"Lisa, aniya. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Chaeyoung menahan tangan Lisa.
"Sudahlah. Jangan memaksakan dirimu."
"Lisa! Berhenti! Dengarkan aku!"
Chaeyoung menarik tangan Lisa.
"Lepas."
Lisa sudah jengah, ia ingin segera pergi dari rumah ini.
"Kau mau melupakanku? Iya?"
Chaeyoung menatap Lisa lurus-lurus. Ia masih menahan tangan Lisa.
Lisa menoleh, tidak mau menatapnya.
"Kau mau melupakan semua kenangan kita? Apa kau bisa?!"
Lisa menoleh, ia menatap Chaeyoung dengan tajam.
"Iya. Aku ingin melupakan semuanya. Semua kenangan bersamamu!"
Chaeyoung terbelalak. Ia marah. Ia kecewa dengan ucapan Lisa.
"Tega sekali kau."
Chaeyoung menghempas tangan Lisa.
"Terserahmu saja. Lakukan apa maumu."
Lisa tidak menjawab. Ia melangkah keluar dari rumah itu, dan Chaeyoung tidak mengejarnya lagi, masih terpaku di tempatnya.
***
"Jennie ada di Daegu."
Satu kalimat dari Lisa yang membuat Chaeyoung terkejut siang ini.
"Aku harus memberitahu Jisoo."
Pikir Chaeyoung inilah yang harus dilakukannya.
"Kau dimana?"
"..."
"Di rumah Irene? Baiklah. Aku kesana ya."
"..."
"Baiklah. Sampai jumpa."
Chaeyoung mengakhiri panggilannya dengan Jisoo.
"Ah, tunggu. Bagaimana kalau Lisa marah?"
Chaeyoung menggigit bibir bawahnya, ia mengetukkan jarinya di setir beberapa kali.
"Tidak bisa. Aku tidak boleh membuatnya cemburu lagi. Minimal dia tidak bisa melacakku ada dimana."
Chaeyoung tersenyum, ia mematikan ponselnya.
***
"Kau yakin? Coba saja kau beritahu dia. Pasti dia berencana pergi dengan Jisoo."
Krystal tersenyum licik. Ia sedang mencoba mempengaruhi Lisa.
"Aku yakin niatnya baik."
"Aku tidak berpikir demikian. Mau coba buktikan?"
Krystal menantang Lisa.
"Tidak perlu. Aku percaya padanya."
"Lisa, kau harus melihat dulu dengan matamu sendiri baru kau boleh percaya. Setelah kau memberitahunya bahwa Jennie ada di Daegu, dia akan segera mencari Jisoo. Awas, resiko patah hatimu besar."
Krystal memperingatkan.
"Tidak mungkin Chaeyoung seperti itu."
Lisa mengakhiri teleponnya. Krystal tertawa puas. Ia menelepon seseorang lagi.
"Awasi satu orang. Akan kuberikan detailnya nanti. Kau akan menerima uangnya setelah aku menerima rekaman videonya."
"Aku menikmati rencanaku, dan akan lebih menikmati kehancuran kalian semua. Hahahaha!"
***
"Bukannya ini terlalu miris? Lisa percaya begitu saja dan mengakhiri semuanya hanya karena melihat video itu?"
Seulgi membenarkan letak topinya.
Dewa kematian menghela napas mendengar pertanyaan Seulgi.
"Kau belum merasakannya."
"Merasakan apa? Memangnya kenapa kalau cium kening? Kan mereka teman?"
Protes Seulgi.
"Jelas-jelas Chaeyoung punya rasa pada Jisoo sejak awal. Dasar bodoh."
"Kan dia juga menyukai Lisa?"
"Kau yakin? Tidak terlihat sama sekali."
Dewa kematian tersenyum sinis.
"Kan nenek sendiri yang bilang jangan mudah menilai sesuatu hanya dari apa yang terlihat."
"Lalu? Yang kau lihat selama ini dan penilaianmu benar berapa kali?"
Seulgi terdiam.
"Kau dan penilaianmu, berapa jumlah roh yang kabur setiap kali kau menjemput mereka? Hanya karena kau merasa kasihan dan berpikir mereka baik? Berapa?"
"Iya nenek, aku kentang kalau soal menjemput roh."
"Bahasa apa itu? Anak-anak zaman sekarang menggunakan istilah semaunya."
"Hehehe."
"Sudah, sana ke tempat roh selanjutnya!"
"Baiklah."
Seulgi menjentikkan jarinya dan menghilang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top