You 53: Affair?
Kupikir kata-katanya hanya gertakan belaka. Tapi melihat bagaimana Chaeyoung mengelap tepi bibir Jisoo dengan tissue di tangan kanannya itu membuatku terdiam. Kulanjutkan langkahku, berjalan kearah tiga orang di meja itu.
Klasik memang, tapi menyakitkan ketika dilakukan kepada orang yang kau sukai dan kau menyaksikannya dengan matamu sendiri.
Aku tahu hubunganku dengan Jisoo tidak jelas. Apa kami ini? Kakak adik tiri? Tapi sikap kami satu sama lain sudah lebih dari itu. Apakah hubungan kami akan terus seperti ini, aku tidak tahu.
Aku tidak seperti Chaeyoung yang dengan mudah mengatakan perasaannya. Aku takut pengakuanku malah akan mengacaukan segalanya diantara aku dan Jisoo. Dan tentu saja aku tidak mau itu terjadi. Biarlah aku mencintainya seperti ini. Dalam diam, tidak terungkap, tapi dapat ia rasakan. Jangan sampai ada yang tahu hubungan terlarang diantara kakak adik tiri ini terutama Appa. Walau dia selalu menyangkalku, tak apalah. Aku sudah tidak perduli.
Aku bahkan tidak menemukan alasanku untuk hidup setelah kejadian hari itu, sampai dia datang ke hidupku. Ya, dia datang dengan segala perhatian dan kesabarannya di rumah yang suram itu. Dia yang harus menghadapi monster penuh amarah di rumah itu, yang menjadi saudara tirinya.
Dia yang kukasari tapi tetap mengurusku dengan lembut. Dia yang kumaki dan kusakiti tapi menyapaku dengan senyumnya setiap pagi. Dia yang kuacuhkan tapi dengan sabar terus memberiku perhatiannya. Dia yang sekarang hanya ingin kulihat senyum dan tawanya saja tanpa air mata. Dia yang tanpa kusadari membuatku jatuh sedalam ini pada pesonanya. Dia yang datang menarikku dari jurang keputusasaan dan membawaku kearah yang lebih baik. Maafkan adikmu ini, Kim Jisoo. Adik tirimu ini tidak menganggapmu sebagai kakaknya.
"Hei, lama sekali kau ke toilet. Nabung ya? Apa nyetor?"
Irene tertawa kecil. Mencoba menjahiliku. Maaf ya Irene, moodku sedang tidak bagus melihat sahabatku berniat selingkuh di belakang tunangannya dengan kakak tiriku sendiri.
Aku menatap datar dan menjawab pertanyaan Irene dengan gelengan kepala.
"Mana Lisa?"
"Tidak tahu."
Irene mengendikkan bahunya sambil menusuk potongan daging ayam di piringnya.
"Dimana tunanganmu, Chaeyoung? Kok tidak datang-datang menyusul kesini?"
Ulangku.
Chaeyoung menghentikan gerakan tangannya diatas piring. Ia menatapku dengan tatapan tajam, tapi tatapan itu sirna seketika, berganti senyuman ketika ia menoleh kearah Jisoo.
"Lisa sedang membantu panitia untuk acara sekolah."
"Oh, kau tidak menemaninya?"
"Aku bukan pasangan yang posesif, Jennie."
Oh apa maksudnya ya?
"Benarkah? Wah, Lisa pasti sayang sekali padamu ya."
Chaeyoung tersedak, ia batuk setelah mendengar ucapanku.
"Makanya pelan-pelan kalau makan. Dasar rakus."
Tidak bisa tidak tertawa melihatnya tersedak seperti tadi. Wajahnya lucu.
"Sialan kau Jennie!"
Chaeyoung melempar tissue bekas di dekatnya kearahku.
"Hei jangan buang tissue sembarangan! Aish jinjja! Untung ini bekas Jisoo. Kalau bekasmu kan amit-amit."
Aku memungut tissue yang jatuh tadi dan meletakkannya ke tong sampah di dekat sana.
"Kau tahu, kalau kau lempar ke Irene mungkin tissuenya dibawa pulang dan disimpan di kamar."
"Apasih?"
Irene menatapku dengan tatapan kesalnya.
"Jinjja? Kenapa kalian sangat lucu?"
Jisoo tertawa melihat kami.
Aku menatapnya. Irene dan Chaeyoung masih sibuk berdebat di depan Jisoo, tapi fokusku seutuhnya beralih ke Jisoo.
"Kau tidak mau makan?"
Tanya Jisoo tiba-tiba. Chaeyoung dan Irene terdiam.
"Tidak. Tidak lapar."
Tadi aku memang datang kesini bersama mereka, tapi aku tidak memesan makanan.
"Coba kau tanya begitu padaku, Jisoo. Ayo."
Irene menoel-noel tangan kanan Jisoo, wajahnya excited, seperti mengajak bermain.
Jisoo tersenyum.
"Baiklah. Kau tidak mau makan, Irene?"
"Aku-"
"Ah, kau tidak usah makanlah. Ngabisin beras aja!"
Potongku.
"Apasih?"
Irene menatapku dengan kesal.
Lagi.
Dan Chaeyoung tertawa.
Tapi lucu juga melihat dia kesal begini.
"Aaah, ulaaaang!"
"Kenapa kau jadi manja seperti itu pada Jisoo."
Cibir Chaeyoung.
"Baiklah."
Jisoo menahan tawanya.
"Kau tidak mau makan, Irene?"
"Aku-"
"Yuk ke kelas. Bubar." Sela Chaeyoung.
"Aish! Jinjja! Menyebalkan!"
Irene berteriak kesal.
Chaeyoung hendak berdiri dari kursinya.
Irene mendorong pantat Chaeyoung. Lantas membuat Jisoo dan aku tertawa lagi melihat Irene diabaikan dua kali.
"Memangnya kau mau ngomong apa? Kau ingin menggombali Jisoo kan? Iya kan?"
Irene cemberut mendengar omelan Chaeyoung.
"Kau itu sudah punya Lisa ya sama Lisa saja! Jangan menggangguku dan Jisoo!"
Bentak Irene.
Jisoo hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Irene yang gesrek hari ini.
"Wah ini anak. Kesal ya kesal saja dong, kenapa bawa-bawa Lisa."
"Sudah, sudah. Jangan berteman."
Candaku.
Bel sekolah berbunyi, kami berdiri, berjalan menuju kelas masing-masing.
Chaeyoung membisikkan sesuatu pada Jisoo.
"Jinjja? Aigoo."
Jisoo tampak menyimaknya dan merespon dengan baik.
Dia membuat Jisoo tertawa.
Kalau kau berusaha sekeras ini pada Jisoo kenapa kau malah bersama Lisa?
Kau akan mematahkan hati Lisa dan hatiku, tau.
Chaeyoung menggandeng tangan Jisoo. Tunggu. Ini sudah kelewatan. Bagaimana kalau Lisa melihatnya?
"Ayooo Jisoo. Kita akan terlambat. Kelasmu selanjutnya kan guru killer yang cerewet."
Aku memepet mereka berdua, menarik tangan Jisoo dan mengajaknya berjalan lebih cepat.
"Kami duluan!"
Pamitku pada Chaeyoung. Yang mau tak mau harus dia iyakan.
"Kenapa kau diam saja?"
Tanyaku pada Jisoo.
"Apanya?"
Ia menatapku dengan bingung.
"Kenapa kau diam saja saat Chaeyoung menyentuhmu atau mengelap bibirmu seperti tadi?"
"Mwo?"
Jisoo mendengus. Ia tertawa kecil.
"Ya aku nyaman saja. Dia sudah menghindariku beberapa hari ini dan rasanya sepi."
"Tapi kan dia tunangan Lisa."
Aku sedikit mengingatkan Jisoo.
"Loh, kan kami hanya berteman?"
"Yakin?"
"Iya."
Jisoo menjawab dengan mantap.
"Tapi kau bukan teman baginya, Jisoo. Dimatanya kau lebih dari itu."
"Tapi kan dia tunangan Lisa?"
Fakta ini membuatku kesulitan menjawab Jisoo.
"Memang benar. Tapi kan dia menyukaimu?"
Jisoo terdiam sejenak. Tampak berpikir. Tak lama kemudian ia tersenyum dan menatapku dengan jahil.
"Kau cemburu?" Tanyanya.
"Apa? Ya jelas saja! Tapi bukan itu-"
"Sudah. Jangan cemas. Aku dan Chaeyoung hanya teman."
"Dan denganku?"
"Kakak adik, kan?"
Jisoo melangkah duluan, meninggalkanku.
Memang dia mengatakannya sambil tertawa, tapi tetap saja jawabannya menyedihkan.
"Jisoo! Aku mau jadi temanmu saja! Ah sial! Kenapa kau malah menikmati semuanya!"
Aku menendang pintu kelas yang tertutup di depanku. Bukan cemburu yang kupikirkan. Tapi aku takut dengan sikapmu, tanpa kau sadari kau malah menyakiti banyak hati.
"Hei siapa itu!"
Aku berlari saat langkah kaki guru di dalam kelas itu mendekat menuju pintu.
***
"Kau tidak takut pada larangan Appa Chaeyoung waktu itu?"
Jisoo berguling kearahku. Aku sedang bermain ke kamarnya.
"Takut sih."
"Lalu kenapa kau masih dekat dengannya?"
"Sebenarnya aku juga sudah berniat menjauhinya setelah dia bersikap dingin hari itu. Kupikir karena perkataan Appa-nya. Tapi dia kembali lagi seperti biasa. Dan jujur saja, aku juga merindukannya. Dia mengalami pengalaman pahit kan juga karena membelaku."
Aku berpikir sejenak. Iya juga. Pasti tidak mudah untuk Jisoo.
"Maaf."
Aku menyesal mengatakannya.
"Jangan sedih begitu."
Jisoo mengelus kepalaku. Membuatku yang sedang berbaring di sisinya ini merasa nyaman.
"Lagipula, Chaeyoung menenangkanku."
Jisoo tersenyum.
"Apa katanya?"
Aku penasaran.
"Kau tidak perlu takut. Ini kan di sekolah, tidak ada Appa-ku. Kenapa harus menjauhimu?"
"Dia tahu?"
"Iya. Aku cerita padanya."
"Oh. Terbuka sekali kalian."
Kok terdengar pahit sih mengetahui mereka saling terbuka seperti itu?
"Oh iya. Dia juga bilang bahwa Lisa yang meletakkan surat-surat dan makanan itu di laciku."
Jisoo tertawa kecil.
"Teman-temanmu manis dan baik, Jennie."
"Lebih manis kamu kan Jisoo."
Aku menatapnya sambil tertawa.
"Kamu?"
Jisoo menaikkan sebelah alisnya.
"Boleh juga."
Ia tersenyum.
Aku menikmati senyumnya dari jarak sedekat ini. Entah sampai kapan aku bisa merasakan saat-saat seperti ini bersamanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top