You 52: Flames
"Maukah kau membantuku, Lisa?"
"Mwo?"
Lisa menatapku dengan wajah datarnya.
"Pura-pura lah menjadi tunanganku."
"Hah?!"
Lisa berteriak kencang sampai semua orang yang sedang duduk di kursi tunggu menoleh kearah kami. Bahkan suster di meja resepsionis ujung depan sana juga melihat kearah kami.
Ia tampak terkejut. Ah, apa ingatanku salah ya? Apa dia tidak mau? Kepercayaan diriku sedikit menurun.
"Heh! Ini lobi rumah sakit!"
Aku memelototinya. Lisa diam, ia segera membawaku keluar dari sana dan mendorong kursi rodaku ke taman samping rumah sakit yang sekarang cukup sepi. Hanya ada beberapa pasien lansia yang sedang berjalan santai disana.
Lisa memutar tubuhnya dan jongkok menghadapku.
"Tadi kau bilang apa?"
Tanyanya.
"Mau tidak kau membantuku?"
Lisa masih diam, ia menyimak.
"Berpura-puralah menjadi tunanganku."
Aku menatap matanya, serius.
Lisa tersenyum sekilas, tapi senyum itu memudar. Ia menoleh ke samping. Lalu ia menoleh lagi kearahku.
"Kenapa aku?"
"Karena kau orang yang paling bisa kuandalkan, Lisa. Kau orang yang paling dekat denganku."
"Lalu kenapa harus pura-pura tunangan?"
Lisa menatap lurus kearahku. Aku tidak kuat untuk menjawab pertanyaan dari gadis imut berponi dihadapanku ini. Aku hanya menatap Lisa tanpa menjawabnya. Tak lama kemudian Lisa menghela napasnya.
"Pasti karena Jisoo."
Tebaknya. Tepat sasaran. Aku tersenyum kecil.
"Baiklah. Aku mau. Lamar aku yang benar dong. Tunangan macam apa kau ini."
Cibirnya. Ia memasang wajah kesalnya.
"Tunangan macam apa aku ini? Kau akan lihat sendiri nanti."
Aku menyeringai, lalu mengambil ponselku di saku.
"Eomma, ada yang ingin aku bicarakan nanti setelah pulang. Aku ingin bertunangan dengan Lisa."
"Mwo?! Hey anak gila. Kau mau apa?"
Lisa hendak menarik ponselku tapi aku berhasil menyelesaikan panggilanya.
"Berikan!"
Lisa hendak merebut ponselku tapi aku merunduk, memeluknya untuk menyembunyikannya dari Lisa. Ia masih bersikukuh ingin merebutnya.
"Tidak mau!" Aku tertawa melihat Lisa begitu kesal hanya karena telepon tadi.
"Chaeyoung."
Aku menoleh kearahnya. Tangannya masih melingkar di pundakku. Ia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
Aku masih menatapnya sampai ia memajukan wajahnya kearahku.
"Ayo kita pulang."
Ajakku, sambil menoleh kearah lain.
Perasaanku sangat lega saat ini. Aku tidak bisa berhenti tersenyum. Untung saja Lisa mau membantuku. Dengan begini mudah-mudahan aku bisa menolong Jisoo agar tidak dilukai Krystal lagi.
***
Aku terkejut dengan pernyataan Chaeyoung, dan ternyata dia tidak main-main. Setelah membawanya pulang, hari itu aku tidak bisa pulang ke rumahku.
Kedua orangtuanya sangat senang dengan rencana Chaeyoung, mereka bahkan mengundang orangtuaku dan menunggu mereka datang di malam hari.
Aku yakin jika kami hidup di Korea zaman dulu pasti yang kami dapat malah celaan dan perasingan, tidak sebebas ini. Masa depan dan dunia berubah secepat ini, memungkinkan segalanya untuk dilakukan walau nilai-nilai budaya terus tergerus dan terdegradasi.
Tapi aku bahagia, karena aku bisa bersama Chaeyoung. Walau alasannya melakukan semua ini adalah karena Jisoo. Tak apa, aku juga senang bisa membantunya. Setidaknya inilah yang bisa kami lakukan untuk Jisoo.
"Sayang? Sudah siap?"
Suara Eomma membuatku tersadar dari lamunanku. Aku masih duduk diatas kasur sambil memeluk guling dan menatap layar tv yang tentunya tidak kutonton daritadi.
"Belum."
Jawabku, sambil menoleh.
"Aigoo! Kau ini! Ini sudah jam berapa?"
"Iya eomma, iyaaaa."
Aku bergegas ke kamar mandi, melepas short pants-ku, kaosku, dan lain-lainnya yang harus dilepas.
Dibawah guyuran shower, kalimat-kalimat Chaeyoung kembali mendatangi kepalaku.
"Berpura-puralah menjadi tunanganku."
Aku tersenyum sekilas. Senang sekali mendengarnya. Tapi tunggu. Berpura-puralah? Maksudnya? Ini hanya sandiwara?
"Kenapa aku?"
Saat bertanya seperti itu, Chaeyoung hanya memandangku dengan santai. Ia bahkan menjawab dengan santai. Lalu kenapa harus pura-pura? Dan melihat ekspresinya yang tidak dapat menjelaskan, aku tau dia melakukan ini bukan karena keinginannya sendiri.
Pasti karena Jisoo. Tapi tak apalah. Aku akan selalu membantumu, Chaeyoung. Dan kapan lagi aku bisa mendapatkan kesempatan seperti ini?
Pagi itu aku yang menatapmu dalam rangkulanku terbawa suasana. Apakah ini nyata? Atau hanya khayalanku saja karena terlalu menggilaimu diam-diam?
Kau tahu ajakanmu itu benar-benar membuatku nyaris gila seutuhnya karena senang, seandainya kata "berpura-puralah" itu tidak ada.
Tapi kenyataan membantingku kembali ke tanah, kau menolehkan wajahmu. Membuatku merasa tertolak dan membuatku kembali sadar, bahwa kau tidak juga merasakan apa yang kurasakan kepadamu.
Aku jadi tiba-tiba malas datang ke acara pertunangan kita hari ini. Rasa lelah menyeruak dari pagi memelukku sepanjang hari ini.
Dan kulalui semua sesuai skenario yang sudah kau susun. Selamat. Appa-mu berhasil kau luluhkan. Krystal tidak jadi dihukum karenamu. Dasar kau malaikat yang terlalu baik. Tapi sayangnya malaikat ini tidak menyadari ada satu jiwa yang terluka. Jiwa yang selalu mencintainya dalam diam.
Tak apalah, aku senang melihat tawa bahagiamu malam ini. Dengan cincin yang kau sematkan di jariku, tawa bahagia keluarga kita, dan semua sikap manismu ini, akan kusimpan dan kukenang baik-baik.
***
"Kenapa kau mendiami Jisoo seperti itu?"
Tanyaku pada Chaeyoung yang sedang membaca novel di tangannya.
"Hm? Tidak ada."
Jawabnya, tanpa melihatku.
"Dan kenapa kau tiba-tiba tunangan dengan Lisa?"
"Bukan urusanmu, Jennie."
"Oh. Jadi kita bukan teman lagi?"
Terdengar menyakitkan mungkin di telinga Chaeyoung tapi anak ini mengesalkan. Ada apa sebenarnya?
"Kau."
Chaeyoung menunjukku.
"Jaga Jisoo baik-baik. Atau kurebut dia dari sisimu."
"Hei, tunanganmu itu Lisa bukan Jisoo. Sadarlah."
Apa-apaan dia ini?
"Memang tunanganku Lisa. Tapi aku tidak akan membiarkanmu lalai lagi kali ini seperti waktu itu."
"Chaeyoung, waktu itu aku memegang janji pada Jisoo agar tidak berkelahi. Kau ingin menyalahkanku karena jadi kau yang tertusuk?"
Chaeyoung menutup bukunya, kali ini menatapku dengan tatapan tajam.
"Harusnya kau tahu Jisoo dalam bahaya. Kau lalai menjaganya. Dan aku tidak marah karena tertusuk. Bahkan aku rela lebih jauh dari itu."
Seriously? Rela lebih jauh katanya? Songong sekali anak ini. Kau kira kau itu idol yang punya power?
"Dengar ya, itu terakhir kali aku lalai."
Jawabku dengan penuh penekanan.
"Kalau kau tidak bisa menjaganya, jauhi Jisoo."
Chaeyoung berdiri, hendak melangkah keluar kelas.
"Tentu saja aku akan menjaganya. Dan tidak mungkin aku menjauhi kakakku yang sangat kucintai dan mencintaiku itu."
Chaeyoung berhenti melangkah. Ia menatapku dengan tatapan tajam.
Aku hanya tersenyum miring.
"Perkataanku waktu itu di rumahmu masih berlaku, Jennie."
"Kuingat dengan baik perkataanmu waktu itu. Tapi kau juga harus mengingat perkataanku barusan. Dan yang ini. Jaga perasaan Lisa. Oke?"
Aku berjalan mendekat, menepuk pundaknya, dan melewatinya keluar dari kelas yang dijadikan ruangan rapat ini.
Sepertinya akan banyak hal mengesalkan setelah ini.
***
"Ini sekolahan kok sepi ya daritadi? Pada kemana sih?"
Aku menatap Irene yang berjalan disampingku.
"Tidak tahu. Mungkin lagi pada sibuk sendiri. Sudah, jangan dipikirkan. Kita kesana saja yuk. Daripada kau memikirkan yang tidak penting, lebih baik kita makan..."
"...dan bicara dari hati ke hati. Hehehe."
Irene menarik tanganku, pergi kearah kantin.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top