You 5: She
Jisoo terbangun seorang diri di kamarnya. Ia melihat jam dinding yang terpasang tepat diatas tembok berwarna ungu dihadapannya.
"Hah?! Sudah jam segini! Aku kesiangan!"
Ia terperanjat melihat jarum pendek mendekati angka sembilan. Dilihatnya Jennie sudah tidak ada.
"Jelas saja, ini sudah jam berapa!"
Jisoo bergegas ke kamar mandi. Ia tampak terburu-buru.
"Kok gak dibangunin sih?!"
Teriaknya dari dalam kamar mandi.
Setengah jam kemudian Jisoo beranjak ke dapur untuk mengambil air minum namun matanya teralihkan ke meja makan. Sebuah stickynote menempel diatas meja.
"Makan dulu sarapannya walaupun nanti banyak makanan di festival hari ini."
-Jennie-
Jisoo menepuk jidatnya, ia lupa hari ini ada festival halloween di sekolahnya. Ia termenung membaca stickynote yang menempel di meja tepat di sebelah piring yang tertutup tissue. Ia menyibak tissue itu.
Roti panggang. Jisoo segera memakannya karena ia membutuhkan amunisi sebelum kembali ke sekolah yang penuh makhluk-makhluk penyiksa batin dan hari-harinya.
"Enak."
Jisoo mengunyah roti panggang itu sambil tersenyum senang.
"Tumben anak itu perhatian."
Jisoo melangkah ke dispenser, mengisi botol minumnya.
"Tapi kapan dia kembali ke kamarnya ya?", batin Jisoo.
Cuaca pagi itu tidak cerah, tapi tidak terlalu mendung. Membuat perasaan menjadi nyaman dan santai.
Jisoo memasuki gerbang sekolahnya, sekolah yang masih menjadi tempat asing baginya. Ia jadi teringat ketika pertama kali menginjakkan kaki ke kota ini lagi, ketika Appa-nya memintanya untuk pulang kembali setelah Ibunya meninggal.
"Kembalilah. Kita mulai semuanya dari awal. Kau mau memaafkan Appa, kan? Appa sangat mencintai Eomma-mu dan tentu saja sangat mencintai putriku satu-satunya. Tinggallah bersama Appa."
Jisoo tidak bisa tidak menangis setelah mendengar perkataan Appa-nya hari itu di rumah duka.
Ia sangat merindukan Appa-nya tentu saja, tapi dia tidak menyangka ketika ia menginjakkan kaki di kota ini, ia disambut dengan penuh kebencian oleh sang penghuni rumah: Jennie.
"Jangan sentuh barang-barangku, jangan memasuki kamarku, jaga jarakmu, jangan menggangguku, tak perlu ikut campur urusanku. Lakukan itu semua jika kau masih mau selamat."
Kata-kata pertama Jennie ketika Jisoo menyapanya dengan "hai, namaku Jisoo" sambil mengulurkan tangan.
Perasaan takut Jisoo ketika mendengar jawaban Jennie runtuh seketika ketika detik selanjutnya sang Appa menampar Jennie cukup keras.
Jisoo terbelalak. Ia cukup terkejut.
"Kau! Dasar anak tidak tau diuntung! Beraninya kau berkata begitu pada anakku, hah? Pergi saja kau dari rumah ini bersama ibumu dan selingkuhannya!"
Detik selanjutnya Jennie berlari keluar rumah dan tidak kembali sampai besok malamnya lagi.
"Ada apa ini sebenarnya?"
Batin Jisoo tidak tenang, ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di keluarga Appa-nya ini.
"Jisoo, kau akan aku sekolahkan di sekolah yang sama dengan Jennie."
Lanjut Appa-nya, yang segera Jisoo iyakan tanpa banyak protes. Seharusnya ia protes saja, Jisoo sedikit menyesal karena setelahnya ia harus menghadapi rombongan gadis menyebalkan di sekolahnya yang membencinya entah karena apa.
"Pengumuman kepada masing-masing perwakilan kelas yang sudah ditunjuk menjadi panitia agar dapat berkumpul di sisi kiri lapangan."
Suara pengumuman membuyarkan lamunan Jisoo, ia mempercepat langkahnya ke dalam kelas. Kosong. Tentu saja, semua siswa berkumpul di lapangan menikmati festival.
Jisoo menghela napasnya lega.
"Akhirnya aku bisa tenang, lebih baik aku disini saja."
Langkahnya terasa ringan, Jisoo menuju mejanya. Ia memilih diam saja di kelas sampai jam pulang sekolah.
"Ah, senangnya~"
Setengah jam berlalu, Jisoo masih fokus menggambar sketsa di mejanya.
"Jisoo?"
Jisoo terkejut, sebuah suara memanggil namanya. Ia menoleh kearah pintu kelas. Gadis yang menyapanya itu melangkah masuk ke dalam, raut wajah Jisoo berubah bingung menatap gadis cantik di depannya. Ia tidak mengenalnya.
"Tidak mengenalku?"
Gadis itu tertawa kecil.
"Maaf."
Jisoo merasa bersalah, tapi dimana dia pernah bertemu gadis ini?
"Panggil saja aku Chaeyoung."
Gadis itu mengulurkan tangannya ramah.
"Ki-"
"Kim Jisoo, kan?"
Chaeyoung memotong ucapan Jisoo sambil tersenyum jahil.
"Iya. Ehem."
Jisoo sedikit kikuk melirik tangannya yang belum juga dilepas Chaeyoung. Chaeyoung yang sadar, tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Maaf Chaeyoung, kita pernah bertemu di...?"
Jisoo ingin meneruskan kata-katanya yang menggantung sambil berpikir tapi tidak berhasil menemukan jawaban.
"Kau ingat saat kau pingsan di lapangan belakang?"
Jisoo mengangguk. Tentu saja ia mengingat kejadian menyakitkan itu. Perbuatan Krystal dan teman-temannya.
"Jennie memanggilku dan Lisa untuk membantu membawamu ke ruang kesehatan."
Wajah Jisoo berubah seperti menemukan fakta yang hilang setelah mengetahui fakta itu, pantas saja Chaeyoung mengenalnya.
"Aku yang mengobati luka di dahimu."
Chaeyoung tersenyum lagi. Jisoo seperti tersihir melihat senyum itu. Anak ini punya sesuatu yang menarik dirinya.
"Terima kasih."
Jisoo tersenyum hangat, Chaeyoung masih menatapnya lekat.
"Oh, kau suka menggambar? Lukisanmu bagus."
Chaeyoung menarik buku sketsa yang ada di meja Jisoo kearahnya. Chaeyoung memegang dagunya sendiri, tampak sedang berpikir dan mengamati lukisan di depannya.
"Cantik sekali, siapa ini?"
"Ibuku."
"Wah, kau sayang sekali dengan ibumu ya, sampai digambar. Dia pasti bahagia punya anak sepertimu. Kapan-kapan kenalkan aku ya."
Chaeyoung antusias. Jisoo tersenyum.
"Tapi dia tidak bisa bicara padamu." Balas Jisoo.
"Oh, maaf. Apa dia..."
Chaeyoung ingin menyebut kata bisu tapi kata itu sulit keluar dari bibirnya, kata itu seperti lebih memilih menyangkut di tenggorokannya saja daripada diucapkan.
"Dia tidak bisu." Lanjut Jisoo.
"Apa dia..."
Chaeyoung ragu, ia tidak ingin melanjutkan kata-katanya. Raut wajahnya berubah sedih.
"Apa dia...?"
Chaeyoung menatap Jisoo, mata Chaeyoung berkaca-kaca. Jisoo rasa Chaeyoung sudah mengetahui faktanya.
"He-eum?" Jisoo menatap Chaeyoung, menunggu Chaeyoung melanjutkan kata-katanya.
"Apa dia tidak mau bertemu dan tidak sudi berbicara padaku?!"
Lanjut Chaeyoung akhirnya.
Tawa Jisoo pecah saat itu juga.
"Tidak, Chaeyoung. Kau salah."
"Jadi?"
"Ibuku sudah meninggal." Lanjut Jisoo.
Mata Chaeyoung terbelalak, ia terkejut.
"Maaf."
"Tidak apa-apa."
"..." Chaeyoung tidak tahu harus berkata apa. Ia masih merasa tidak enak pada Jisoo.
"Kenapa kau tidak ikut festivalnya?"
Tanya Jisoo.
"Ah, anu. Ah, aku."
Chaeyoung tampak berpikir mencari kata-kata yang tepat. Dia tidak ingin mengatakan bahwa sebenarnya ia sengaja mencari Jisoo karena tidak melihatnya dibawah.
"Aku, sedang ingin keliling saja diatas sini. Melihat-lihat keadaan."
"Semua kelas kosong." Jisoo melanjutkan gambarnya.
"Kau tidak mau turun?"
Chaeyoung menatap Jisoo penuh harap.
"Hmm..." Jisoo tampak menimbang-nimbang.
"Aku akan menemanimu berkeliling jika kau takut pada Krystal dan teman-temannya."
Lanjut Chaeyoung, Jisoo menatapnya, Chaeyoung berhasil menebak isi kepalanya.
"Atau mau kuajak Jennie? Dia sedang bersama Lisa sekarang dibawah."
Jisoo menggeleng kuat. Dia tidak mau Jennie terusik karenanya.
Chaeyoung menatapnya bingung.
"Baiklah, aku denganmu saja." Jisoo mengemasi barang-barangnya.
"Ayo." Chaeyoung tersenyum, ia mengulurkan tangannya. Jisoo menggenggam tangan Chaeyoung.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top