You 46: Limit?
Up pagi-pagi, lagi good mood liat notif wattpad 99+ and welcome to new readers :-)
"Terus kenapa kau diam saja?"
Lisa bertanya pada Chaeyoung yang baru saja selesai bercerita.
"Aku tidak diam, Lisa. Kau tahu itu kan. Kau sendiri kenapa tidak menunjukkan apapun? Cuma kau yang tidak menunjukkan reaksi apa-apa seolah semuanya baik-baik saja!"
Chaeyoung menatapi Lisa yang duduk di sampingnya.
"Karena aku tahu kau dan Jennie menyukai Jisoo."
"Jadi? Apa? Memangnya kenapa? Kau merasa tidak enak?"
"Bukan."
Lisa diam sejenak, tampak berpikir.
"Aneh saja aku berebut seseorang dengan sahabat-sahabatku yang masing-masing pernah kusukai."
Lisa tertawa kecil mengingat hatinya pernah berlabuh kemana-mana.
"Itu hati atau marcopolo?" Lisa menertawakan dirinya.
"Colombus!"
Lisa menjitak kepala Chaeyoung.
"Aduh sakit! Untung tidak ada Irene. Mungkin si aneh itu akan jawab Vasco Da Gama bukan Colombus."
"Si aneh? Si aneh yang sekarang posisinya paling dekat dengan Jisoo? Kau harus hati-hati Chaeyoung. Jangan anggap remeh orang lain."
Lisa mengingatkan. Chaeyoung terdiam, tertampar kata-kata Lisa.
"Lalu siapa yang kau sukai sekarang?"
Lisa diam mendengar pertanyaan Chaeyoung.
"Tidak ada." Lisa tersenyum.
"Lalu bagaimana sekarang? Aku tidak bisa berpikir jernih karena kau baru cerita kenyataannya hari ini bahwa Jisoo dan Jennie saudara tiri. Dan kalian dengan kejamnya menyembunyikan fakta itu dariku."
Lisa tersenyum sinis.
"Maaf. Aku tidak tahan lagi, Lisa."
Chaeyoung menunduk sedih.
"Kami juga tidak memberitahu Jisoo bahwa kau orang yang rajin meletakkan makanan di lacinya. Tapi akan kuberitahu nanti."
"Kalian sialan."
Lisa mengatakan itu sambil tersenyum. Tapi malah tampak mengerikan di mata Chaeyoung.
"Suru siapa kau berusaha diam-diam di belakangnya! Aish mengesalkan!"
Bentak Chaeyoung.
"Aku tidak terima Jennie yang bahkan tidak tampak usahanya diawal bisa mendapatkan Jisoo. Maksudku, dia tidak berjuang mendekati Jisoo kan? Kenapa Jisoo memilihnya? Dia tidak berjuang seperti Irene atau sepertimu, atau sepertiku. Aku tidak sirik, hanya tidak terima saja!"
Chaeyoung merasa frustasi.
"Lalu kenapa kau tidak maju?"
Satu pertanyaan Lisa membuat Chaeyoung merasa terbentur.
"Karena ada batas diantara kami."
"Hmm... Sekarang kau pikir. Jennie dan Jisoo lebih tidak mungkin untuk bersama karena batas mereka jauh lebih parah daripada batasmu dan Jisoo. Mengerti?"
"Tapi mereka sudah bersama!"
Chaeyoung berdiri, ia berjalan sambil mengusap wajahnya.
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan kalau satu pintu tertutup?" Tanya Lisa.
"Buka pintu lain?"
Chaeyoung menoleh melihat Lisa.
"Salah. Kau dobrak saja pintu itu sampai terbuka."
"Pintunya hancur yang ada."
"Tapi terbuka kan?"
"Hmm... Ingat batasnya."
"Sebenarnya batas itu tidak ada, itu hanya khayalanmu saja."
Lisa berjalan ke kasurnya.
"Ingat. Jangan membatasi dirimu dan potensimu. Kau kan belum mencoba?"
"Dicoba juga pasti gagal."
Chaeyoung menyusul Lisa, berbaring disampingnya.
"Kau ragu. Bahkan langit bukanlah batas, tapi keragu-raguanmu lah yang membatasi kemampuanmu."
Lisa mengambil novel di nakas sebelahnya.
"Kenapa kau malah ceramah sih?"
Chaeyoung mendecak sebal.
"Karena kau punya potensi untuk bersama Jisoo, bodoh."
Lisa mulai membaca novel di tangannya.
"Lalu bagaimana dengan kau?"
Chaeyoung menoleh. Ia masih memikirkan perasaan sahabatnya.
"Kupikir aku sudah tidak menyukai Jisoo sebagai orang yang kusukai lagi."
"Jadi?"
"Lebih kearah sahabat yang harus kujaga."
"Loh. Itu kan perasaanku."
"Maksudmu?"
Lisa menoleh.
"Aku ingin menjaga Jisoo dari Jennie."
Lisa mengusap wajahnya.
"Kalau begitu tinggal rebut saja!"
"Tidak semudah itu."
Keduanya terdiam.
"Benar juga. Kita tidak bisa memaksa seseorang."
Ujar Lisa.
"Tapi kita masih bisa menjaganya, bukan?"
Chaeyoung berguling kesamping Lisa, menatapnya sambil tersenyum.
"Benar sekali. Lihat. Kau sudah mencoba mendobrak batasmu."
Lisa tertawa. Tertawa senang di depan Chaeyoung, tertawa miris di hatinya.
***
"Sial."
Jennie merobek buku gambarnya lagi. Ini sudah tiga kali ia mengulang gambarnya.
"Ini menghabiskan waktuku saja."
Jennie mendorong bukunya.
"Jangan begitu. Coba lagi."
Jisoo yang duduk di hadapan Jennie menoleh.
"Aku tidak bisa menggambar, Jisoo."
"Aku juga." Jisoo tersenyum mengejek.
"Kau menyebalkan, Jisoo!"
"Sini. Mana yang susah?"
Jisoo berdiri, ia berjalan mendekat kesamping Jennie.
"Kalau sketsa wajah, begini. Kau harus mulai seperti ini."
Jantung Jennie berdebar. Jisoo merangkul Jennie dari belakang. Tangan Jisoo menggenggam tangannya yang sedang memegang pensil gambar dan menggerakkannya diatas buku gambar.
Jennie bisa merasakan nafas Jisoo diatasnya, suaranya yang lembut, genggaman di tangannya, dan desahannya malam itu.
Tunggu. Jennie berpikir terlalu jauh.
"Sudah, Jisoo. Aku bisa sendiri."
Ingin mengucapkan itu saja Jennie tidak mampu. Ia diam tidak berkutik.
"Nah, begitu. Paham kan?"
Jennie menggeleng. Fokusnya buyar. Ia tidak mendengar apapun yang Jisoo ajarkan.
Jisoo kembali ke tempatnya.
"Coba lagi."
"Jisoo, maaf. Aku tidak mengerti."
Jennie menunduk. Ia yakin Jisoo akan marah. Tapi...
"Tidak apa-apa. Kau tidak harus langsung mengerti. Kita coba lagi ya. Kau boleh tanya apapun."
Jisoo malah tersenyum, menggenggam tangan kirinya sambil mengatakan itu.
Jennie mengangguk.
Ia mendengarkan Jisoo lagi.
Tapi hasilnya nihil, fokusnya teralihkan pada wajah Jisoo.
"Bagaimana?"
Jisoo selesai.
"Jisoo, maaf. Sepertinya aku butuh istirahat. Aku akan mencoba lagi."
Jennie pamit ke kamarnya. Ia menutup wajahnya dengan bantal. Menangis.
"Kenapa harus kakak adik sih."
Pikirnya.
***
Sorry weh, ulang upload. Salah kasih nomor wkwkwk Makasih yaaa readers yang tadi manggil saya bapak sambil ngingetin nomor 48 nya gak ada :-D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top