You 4: The Defender

"Kau, mulai besok jangan sampai ada yang tau kalau kita kakak beradik. Lebih baik kau berpura-pura tidak mengenalku kalau kau mau selamat dan hidup tenang di sekolah."

Ucapan Jennie sejak hari pertama ia mengetahui jika Appa mendaftarkanku di sekolah yang sama dengannya.

"Pergi! Jangan pernah masuk ke kamarku apalagi berani menggangguku!"

Yang ini saat aku mencoba menyapanya saat ia berada di dalam kamar.

"Tidak usah perduli padaku dan jangan mencampuri hidupku! Kau, tidak akan pernah mendapat tempat di hidupku. Status kita, hanya kakak adik tiri yang bahkan beda orangtua sama sekali! Jadi anggap saja aku tidak ada dan kau bukan siapa-siapa."

Bentak Jennie ketika aku menegurnya saat ia pulang larut malam entah darimana. Kata-katanya terdengar menyakitkan, seperti ia telah melalui hari-hari yang sulit, suram, dan menyedihkan.

"Enyahlah. Makan saja sendiri sarapanmu."

Yang ini ketika aku mengajaknya sarapan bersama sebelum berangkat ke sekolah. Tidak masalah, aku hanya mencoba menjadi sosok teman yang dapat menenangkannya di dalam rumah. Setelahnya aku selalu bangun lebih pagi dan berangkat lebih dulu ke sekolah setelah menyiapkan sarapan untuk kami, dan yang kuketahui belakangan bahwa Jennie menghabiskan sarapan yang kubuatkan untuknya.

"Ah, kunci lokerku ketinggalan."

Aku kembali berjalan ke rumah setelah sampai di lorong luar kompleks. Aku membuka pintu rumah.

"Uhuk! Uhuk!"

Dan Jennie terbatuk, mulutnya penuh roti. Buru-buru ia menghabiskan susu putih yang tinggal setengah.

"Jennie, pelan-pelan saja. Tidak apa-apa."

Aku mendekatinya, mengelus punggungnya pelan. Tapi Jennie segera berdiri.

"Jen."

Aku menarik tangannya, tapi Jennie tepis dengan keras. Setelahnya ia pergi keluar, yang kutebak segera menuju ke sekolah.

Aku tersenyum mengingat kenangan lucu itu. Bisa kutebak Jennie orang yang sangat keras kepala tapi lucu, ia hanya gengsi.

"Heh, berikan uangmu kalau kau mau selamat hari ini."

Krystal menarik kerah bajuku.

"Lepas!"

Aku berusaha melepas tangannya di kerahku.

"Berani melawan?! Sini! Kau lupa rasanya disiksa ya?!"

Krystal menarikku hingga aku berdiri, ia menyeretku ke loker lalu menghempasku hingga punggungku menghantam loker di belakangku.

"Ah!"

Percuma aku melawan, tenaganya lebih besar.

"Dasar jalang!"

Krystal akan melayangkan tangannya ke pipiku, aku memejamkan mata.

1 detik, 2 detik, aku membuka mataku. Cengkeraman tangan Krystal di kerahku tak kurasakan lagi.

"Dasar berengsek."

Kulihat Krystal tersungkur di lantai. Mataku tak percaya melihat Jennie mengatai Krystal berengsek. Krytal tampak kesakitan seperti habis diterjang sesuatu, ia meringis memegangi tangannya.

"Kau, enyah sekarang kalau tidak mau urusan jadi panjang."

Jennie menatap Krystal dengan tatapan tajam yang mengerikan. Aku bergidik ngeri, belum pernah melihat Jennie semarah ini sebelumnya.

Krystal berdiri lalu menjauh dari kami. Untungnya antek-anteknya yang membuatku pingsan belum muncul juga.

"Jen...??"

Aku menatap Jennie tak percaya.

"Kau!"

Jennie melotot padaku dan menunjukku tepat di depan wajahku dengan jari telunjuknya.

"Kenapa sih takut sama tukang bully?! Dasar payah!"

Setelah mengatakan itu Jennie melangkah pergi keluar kelas.

"Yak! Jennie! Dompetku kembalikan dulu! Hei!"

Kudengar Chanyeol berteriak memanggil Jennie tapi tak digubris olehnya. Ajaib, ini kali kedua dia menolongku. Aku mencubit pipiku keras-keras, tak percaya dengan kejadian yang baru saja kualami.

***
Sudah satu minggu interaksiku dan Jennie masih biasa saja. Ia tidak mengajakku bicara ketika di rumah, tapi ia jadi sering datang ke kelasku dan duduk disamping Chanyeol saat jam istirahat. Di rumah juga interaksiku dengan Jennie hanya sebatas menyiapkan sarapan dan makan malam untuknya.

Anak itu tertidur, di meja, tepat disamping Chanyeol yang juga sedang tertidur. Mereka seperti kakak beradik, lucu.

Tapi ada apa sebenarnya antara Jennie dan Krystal? Kenapa Krystal ketakutan melihat Jennie?

Entahlah. Yang jelas Krytal tidak berani mengusikku ketika ada Jennie di kelas ini, walau siksaan selanjutnya datang saat jam pelajaran atau saat pulang.

***

Sore ini cukup sepi. Aku baru selesai piket kelas sendirian, Jongdae izin karena ada les, Jin harus menjemput adiknya, dan Hongbin permisi ke toilet tapi tak kunjung kembali. Sialnya ia membawa tasnya.

"Panas sekali."

Aku mengelap keringatku sambil berjalan mendekati gerbang sekolah.

"Hai..."

Seorang pria menghadang jalanku.

"Mau kemana cantik?"

Ia mendekat. Dari bet namanya tertulis Kim Jongin.

"Minggir."

Aku mencoba menghindarinya tapi ia menutupi jalanku.

"Mau kemana? Langsung pulang? Sini main dulu yuk sama Oppa."

Ia berhasil mendapatkan tangan kananku.

"Lepas!"

Aku memukul tangannya kuat-kuat. Tapi ia masih bisa menyeretku kearah gudang di dekat gerbang.

"Lepas!!"

Aku menginjak kakinya, memukul apa yang bisa kupukul dan berusaha lari, tapi sialnya ia melemparku ke dalam gudang.

"Hahahaha!"

Kulihat Krytal sudah berdiri sambil memegang ponselnya di dalam gudang.

"Kena kau, Kim Jisoo. Riwayatmu akan tamat sebentar lagi."

Nafasku tercekat, aku berusaha berdiri tapi kakiku lemas. Mau apa dia? Dan mau apa laki-laki yang tidak kukenal ini? Kenapa ia membuka seragamnya? Kenapa ia membuka ikat pinggangnya? Dan mau apa dia menatapku seperti itu? Aku menyeret kakiku ke belakang, mencoba meraih sesuatu yang aku bisa. Tapi pria itu menarik kakiku lalu berusaha menindihku.

"Tidaaak! Jangan! Lepas!"

Aku memukul wajahnya, dadanya, berusaha menendang selangkangannya, ia hanya tertawa, dan tubuhku makin lama makin lemas.

Tiba-tiba pria itu terjungkal, dan wajah Krystal berubah panik.

"Bangsat berengsek. Hei sampah sekolahan! Riwayat kalian yang akan segera tamat!"

"Lari!"

Krystal segera melarikan diri, sedangkan Kim Jongin? Entahlah. Terakhir kulihat Jennie sedang menginjak-injak badan, selangkangan, dan wajah pria itu.

Aku meringkuk ketakutan.

"Soo"

Aku teringat Ibu. Ibu, aku mau ikut Ibu saja. Aku takut, Bu.

"Jisoo!"

Jennie mengguncang bahuku, membuatku menatapnya, ia menatapku lurus-lurus.

"Hei, jangan menangis. Sudah aman."

Jennie membuka jaketnya dan memakaikannya padaku.

"Ayo kita pulang sekarang, malam ini aku yang masak."

Aku ingin menangis mendengar kalimatnya, akhirnya aku bisa pulang ke rumah.

"Palli."

Jennie merangkul bahuku.

"Tidak apa-apa, kau aman. Tenang ya."

Ia membisikkan kalimat itu ketika kami sudah beranjak keluar gerbang.

***

Tok. Tok. Tok.

Ketukan di pintuku.

Tapi Jennie masuk bahkan sebelum kujawab. Aku masih meringkuk di kasurku.

"Makan dulu ya. Maaf ya cuma beef steak."

Ia menyerahkan piring berisi nasi dan beef steak lengkap dengan bumbunya.

Aku menggeleng.

"Hei, kau, jangan manja."

Aku hanya menatapnya, air mataku hendak turun lagi.

"Haaaah"

Jennie mendesah.

"Buka mulutnya. Aaaa."

Aku hanya menatapnya, Jennie menungguku. Akhirnya aku menerima suapannya.

Hei, tidak buruk. Rasanya enak.

Lagi, dan lagi, Jennie menyuapiku sampai entah suapan ke berapa.

"Ini, diminum ya."

Aku meneguk air putih yang diambilkannya.

Jennie keluar kamar. Tak lama kemudian ia kembali lagi kemari dan membawa bantalnya.

Aku hanya menatapnya bingung.

"Malam ini kita tidur bersama."

"Hah?"

"Akhirnya keluar juga satu kata dari mulutmu."

Ia tertawa.

Jennie tertawa? Aneh sekali. Selama ini aku tidak pernah melihatnya tertawa sama sekali baik di rumah maupun di sekolah.

"Geser."

Aku menurutinya, memberinya ruang disampingku.

"Tidur, dan lupakan kejadian tadi."

Aku berbalik menghadapnya.

"Boleh aku pegang tanganmu, Jen?"

Aku menatapnya.

Jennie menoleh kearahku.

"Tentu saja."

Ia tersenyum lembut, menaikkan tangannya keatas, meletakkannya diantara kami. Aku menggenggam tangannya dan tidur menghadapnya.

"Tidur pulas, ya."

Bisiknya sebelum kesadaranku benar-benar menghilang.

***










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top