You 39: You Can Count On Me
Recommend song: It Has To Be You-Yesung (ost Cinderella Stepsister)
***
"Kenapa kau tidak pernah memberitahu kami?!"
Jennie memalingkan wajahnya dariku. Enggan menjawab.
"Masalahmu tidak akan pernah selesai dengan balas dendam! Yang kau lakukan hanya akan melukai perasaan semua orang!"
Jennie masih diam.
"Dengar ya, aku tidak akan pernah melepaskan Jisoo!"
Setelah mengatakan itu, aku berlari keluar mengejar Jisoo yang tak tahu kemana, meninggalkan Jennie yang mematung dan hanya diam seribu bahasa.
"Jisoo!"
Aku tidak tahu harus kemana, aku hanya berlari mengikuti kemauanku, berusaha menemukannya.
Aku mengitari kompleks perumahan ini, tempat yang sudah cukup lama tidak kukunjungi. Kenapa membayangkan Jisoo tinggal serumah dengan Jennie bisa membuatku sesesak ini?
Dan kenapa mereka berdua menyembunyikan semua ini?
Ah, sial. Aku menyesal harus datang ke rumah itu hanya untuk mengajak Jennie mengerjakan tugas kelompok, melihat semua ini, dan mengacaukan segalanya.
"Jisoo!"
Lagi, aku mencarinya. Meneriaki namanya berharap ia akan mendengar dan menjawab atau setidaknya berhenti berjalan jika mendengarku.
Aku mengikuti jalan turunan di depanku. Melihat ke sekeliling, tapi tak jua kutemukan atau kulihat dirinya.
"Cari siapa?"
Seorang nenek-nenek lewat dan menyapaku.
"A-aku mencari.."
"Kesana. Disana ada seorang gadis berjalan sendirian."
Nenek itu menunjuk kearah atas jalan menanjak di depanku.
"Terima kasih nek!"
Aku segera mengikuti petunjuk nenek itu. Benar saja, setelah melewati jalanan ini aku menemukan Jisoo. Ia berjalan gontai.
"Jisoo!"
Ia berhenti, menoleh ke belakang.
"Ada apa Chaeyoung?"
Ia berusaha tersenyum walau matanya sedikit berkaca-kaca.
"Kau tidak perlu menyembunyikan bahwa kau sedang terluka kan? Aku sakit melihatmu begini."
Kalimat yang hanya bisa kuutarakan dalam hati.
"Kau mau kemana?"
"Hanya jalan sebentar. Cari angin."
Jisoo masih bisa tersenyum, ia melanjutkan jalannya. Aku mengikutinya, berjalan pelan disampingnya. Melihat ciuman mereka tadi, aku pun menyadari sesuatu. Bahwa Jisoo juga menaruh rasa pada Jennie. Ah, aku sudah kalah. Kenapa lelah sekali rasanya?
"Maaf..."
"Kenapa minta maaf?" Jisoo berhenti berjalan, ia memutar badannya menghadapku.
"Karena sudah mengganggumu dan Jennie tadi."
Gumamku sambil menunduk, tidak kuasa menatap matanya yang bisa saja membuat air mataku jatuh jika minta maaf sambil menatapnya seperti itu, apalagi menyebutkan sederet kalimat menyakitkan itu.
"Tidak apa, Chaeyoung. Kau tidak salah. Tenang ya."
Diluar dugaan, Jisoo mengelus kepalaku dengan lembut. Aku menegakkan kepalaku, melihatnya.
"Maaf, aku tidak mengatakan ini. Aku tidak jujur sebagai temanmu."
"Teman ya..." Aku tersenyum.
"Tidak apa-apa, Jisoo. Kau bisa jujur kalau kau mau. Kau tetap teman terbaikku apapun yang terjadi."
Teman terbaik yang kucintai.
"Kau pasti membenciku, Chaeyoung."
Jisoo menatapku dengan sendu.
Tidak kok, aku sangat mencintaimu.
"Tidak kok, aku sangat menyayangimu, Jisoo. Kemari."
Aku merentangkan tanganku, menawarkan pelukan untuknya. Ia menyambutnya, aku mendekapnya erat, mengusap kepalanya. Rasanya aku ingin menghentikan waktu selamanya setelah ini.
"Kalau mau menangis, menangis saja."
"Tidak kok." Jisoo tertawa sumbang.
Kau bohong, Jisoo. Matamu bahkan begitu kecewa saat mendengar pernyataan Jennie tadi.
Hal yang membuatku terluka adalah melihatmu terluka.
Hal yang membuatku sakit adalah melihatmu tersakiti.
Lukanya hari ini merusak nada-nada indah dalam harinya dan memberinya sebuah pukulan nada sumbang yang merusak harmoni kebahagiaannya. Sungguh kau keterlaluan, Jennie.
"Kau mencintai Jennie ya?"
Tanyaku. Walau sakit, aku harus mengetahui kebenarannya.
Jisoo menggeleng pelan, ia melepas pelukannya.
"Lalu?"
Aku berusaha menatapnya.
"Dia adikku, Chaeyoung. Tidak mungkin kan aku mencintainya?"
"Sama seperti, kau sahabatku, tidak mungkin aku mencintaimu?"
Jisoo terdiam mendengar pertanyaanku. Sorot tatapannya berubah dingin.
"Ayolah, Jisoo. Aku tahu bahwa kau tahu kalau aku menyayangimu lebih dari teman."
"Ini tidak boleh terjadi." Jawabnya.
"Apanya? Kau mencintainya atau aku mencintaimu? Yang mana yang tidak boleh terjadi?"
Jisoo menggeleng pelan. Ia berjalan membelakangiku, memegang kepalanya dengan kedua tangan, kemudian ia berbalik menatapku. Ia terlihat lelah.
"Keduanya, Chaeyoung." Jawabnya dengan tegas.
Sebuah jawaban yang membuatku nyaris kehilangan seluruh kata-kata.
"Tapi sudah terjadi, Jisoo. Maaf."
"Baiklah. Kalau ada apa-apa kau bisa memanggilku kapanpun, teman."
Ia menatapku lagi, tatapannya kembali menghangat.
"Akan kupastikan aku akan datang."
Aku tersenyum, berjalan maju selangkah.
"Kapanpun. Dimanapun. Untuk membantu apapun."
Dua langkah, tiga langkah, dan sampai langkah-langkahku membawaku tepat ke hadapannya.
"Tapi jangan panggil saat aku sedang mandi ya."
Jisoo tertawa.
"Hei, kau tertawa. Kau membayangkan aku sedang mandi lalu lari tiba-tiba saat kau panggil ya?"
"Tidak!" Ia tersenyum.
Hah. Akhirnya aku bisa mengembalikan senyum dan tawa itu lagi.
"Ayolah mengaku saja." Godaku.
"Tidak." Jisoo berjalan lagi.
Jisoo, kuharap aku bisa menggantikan kesedihanmu dengan harapan.
"Setelah ini kau mau kemana?" Aku mengikuti langkahnya, ia melanjutkan jalannya kearah belakang.
"Pulang." Jawabnya.
"Pulang? Tidak takut?"
Aku berhenti berjalan. Sedikit terkejut dengan keberaniannya. Kalau aku jadi dirinya aku pasti canggung sekali untuk pulang ke rumah setelah kejadian tadi.
"Tidak. Lagipula kasihan Jennie sendirian."
Jennie lagi.
"Baiklah. Kau benar tidak apa-apa jika pulang? Tidak canggung dengannya?"
Jisoo menatapku.
"Aku sudah pernah melewati kecanggungan-kecanggungan yang lebih dari ini sebelumnya, Chaeyoung."
"Bersamanya?"
"Iya."
"Sebelumnya canggung tapi kau bisa menghadapinya sampai berciuman seintim tadi. Waw. Luar biasa."
"Tajam sekali kata-katamu." Jisoo malah tertawa.
"Benar kan kau menyukainya?"
Ah, kenapa batinku tidak puas sebelum mendapatkan jawabannya?
Jisoo tidak menjawab. Tapi ia hanya mengangguk.
"Sejak kapan?" Aku mencoba menggalinya lebih lagi.
"Aku ingin menolak perasaan ini."
Jawabnya.
"Yang kutanyakan sejak kapan, Jisoo."
"Aku tidak tahu, Chaeyoung. Entah sejak pertama kali ia datang menyelamatkanku, atau sejak pertama kali ia menemukanku saat tersesat, atau saat ia mencemaskan keadaanku saat sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak tahu yang mana."
"Oh... Baik. Apa kalian... Sudah saling menyatakan kalau..?"
Aku tidak kuat untuk melanjutkan kalimatku.
"Tidak. Tidak ada. Dan tidak akan ada pernyataan apapun."
Baiklah. Jisoo, kau membuatku urung untuk menyatakan perasaanku.
"Yasudah. Sebaiknya kita pulang sekarang."
"Chaeyoung." Jisoo menahan tanganku.
"Boleh aku minta tolong sesuatu?"
***
"Hmm..."
Seseorang mengamati mereka dari ujung jalan.
"Kuncup bunga yang sepi dalam diam sudah bermekaran."
Ia menggenggam sebatang mawar merah berduri, mengamatinya.
"Duri sudah melukai pada waktunya."
"Ini baru permulaan kan, nek?"
"Ya, benar, cucuku Seulgi."
"Apa ini baru satu buah yang jatuh?"
"Coba saja kau tebak."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top