You 15: That Anger

Sudah satu minggu kami tidak bicara sama sekali. Berpapasan di rumah pun kami sama-sama buang muka. Apa yang harus kukatakan padanya?

Walau aku masih membuatkannya sarapan tapi aku tidak bisa mengajaknya bicara sama sekali. Aku benar-benar bukan kakak yang baik.

Tapi bagaimana bisa aku bicara seperti biasa seolah-olah tidak ada apa-apa padanya disaat jantungku berdegup kencang hanya ketika melihatnya diam.

Salahkan dirinya. Salahkan kelakuannya hari itu. Salahkan kenapa dia dengan semena-mena mendaratkan ci-

"Hei, kau dengar tidak?"

Suara Chaeyoung yang sudah entah keberapa kali memanggilku, mengembalikan kesadaranku. Aku melihat kanvas.

Oh.

Aku sudah menghancurkan lukisanku sendiri dengan memberinya cat dimana-mana.

"Kau kenapa, Jisoo?"

Chaeyoung menatapku lekat-lekat.

"Tidak apa-apa."

Aku menggeleng pelan.

Chaeyoung mengerutkan keningnya.

"Sakit?" Ujarnya, sambil tiba-tiba tangannya terulur memegang keningku.

"Tidak." Jawabku, pelan.

"Ya memang tidak panas sih."

Chaeyoung mengamatiku, dengan tangannya masih menempel di keningku.

"Lihat, lukisanmu. Bibir orang yang kau gambar jadi mirip bibir pennywise."

Ia mengelus rambutku pelan.

"Seharusnya kubuat jadi bibir joker." Balasku.

Chaeyoung tertawa kecil lantas mengulum senyum. Manis. Aku suka senyum temanku ini...

"Nanti pulang kuantar ya?"

Dan sikap hangatnya padaku.

"Tidak usah repot-repot."

Maaf Chaeyoung, aku tidak bisa membiarkan siapapun mengetahui fakta bahwa aku serumah dengan Jennie.

"Sudah jam segini, tumben Jennie tidak datang lagi?"

Chaeyoung melirik arlojinya.

"Hmm?"

Aku menoleh, bingung dengan kalimatnya.

"Iya, Jennie mana Jennie. Minggu kemarin dia kesini."

What??

"Mana ada?"

"Kau tidak dengar suaranya? Aku dengar dia teriak, APA?!"

"APA?!" Aku terkejut.

"Iya benar seperti itu." Balas Chayoung, polos.

"Kapan?" Aku sedikit penasaran.

"Tidak tahu, sebelum pulang. Tapi aku jelas mendengarnya. Tidak mungkin aku salah dengar itu suara Jennie."

Chaeyoung sangat yakin.

Tapi untuk apa dia kesini?

"Aaah, selesai."

Chaeyoung mengangkat tangan kanannya yang sedang memegang kuas, tangan kirinya memegang siku tangan kanannya yang diluruskan keatas, merenggangkan badan.

Lukisan yang dibuatnya di kanvas membuatku tertegun.

Eiffel Tower itu terasa hidup. Daebak, Chaeyoung.

"Lukisanmu bagus sekali." Aku benar-benar niat memujinya.

"Kalau mau, kau boleh ambil."

"Chaeyoung!" Sebuah suara nyaring terdengar dari depan pintu masuk.

"Hmm apa?" Jawab Chaeyoung, datar.

"Bosan!" Lisa melangkah masuk, mendekat.

"Wah, bagus. Buatku ya?!"

Lisa menempelkan dagunya di bahu Chaeyoung, menatapnya dari jarak dekat, dan meminta lukisannya.

"Apa? Tidak boleh!" Chaeyoung melotot.

"Hei!" Lisa tersenyum melihatku, masih sambil bergelanyut pada Chaeyoung.

"Hai Lisa." Aku tersenyum.

"Bagaimana kabar kucing kemarin?" Aku penasaran.

"Aman. Mereka sehat. Sudah kuberi nama!"

"Iya? Siapa?"

"Leo dan Luca."

"Luca luca luca yang kurasakan, bertubi-tubi-tubi engkau berikan."

Suara Taeyong membuat tawa Chaeyoung meledak.

"Jangan ejek kucingku!"

Lisa yang kesal melempar kepala Taeyong dengan botol air mineral kosong diatas mejaku dan Chaeyoung.

"Jangan lempar botolku!"

Chaeyoung menjitak Lisa.
Lisa meringis.

"Eh, iya. Tadi aku bertemu Irene di koridor."

Aku masih diam.

"Dia mencarimu Jisoo."

Eh?

"Hmm? Mau apa?" Chaeyoung langsung bereaksi.

"Kenapa kau yang penasaran sih?" Lisa menjitak kepala Chaeyoung.

"Ada apa?" Aku sedikit penasaran.

"Tidak tahu. Coba saja kau hubungi?"

Lisa memberi saran.

"Aku tidak punya kontaknya, maupun anak lain di sekolah ini."

"Haaah?" Chaeyoung terkejut, tapi kenapa dia seperti orang yang terkejut senang ya?

"Memang di hp mu isi kontaknya siapa saja?"

"Appa, dan beberapa teman dari sekolah lamaku dulu." Jawabku, sesuai fakta.

Lisa menepuk jidatnya.

"Mana lihat ponselmu?"

Chaeyoung mengulurkan tangannya. Mau tak mau kuberikan ponselku padanya.

Chaeyoung mengambilnya dan mengetik sesuatu.

"Ini kontakku. Jangan lupa dihubungi ya!"

Titahnya, sambil tersenyum.

Baiklah, kontak teman pertamaku.

Lisa menatapi kami bergantian.

"Nomorku?" Katanya dengan wajah sedih.

"Mau?" Tawarku, tak bisa tidak tertawa melihat sikap lucunya.

Ia mengangguk-angguk senang, lalu mengetik nomornya di ponselku.

Tunggu, aku belum punya nomor Jennie dan Irene.

Bel berbunyi, anak-anak sudah berkemas siap-siap untuk pulang. Lisa kembali ke kelasnya.

"Bareng ya?"

Chaeyoung mengajakku pulang bersama.

"Tidak usah, Chaeyoung. Tidak apa."

Aku menolaknya halus.

"Ayolah."

Ia menahan lenganku.

Oh, baiklah.

"Cuma sampai depan gerbang ya?" Tawarku.

"Baiklah." Ia tersenyum menang.

Baru saja kami melangkah sampai depan kelas, seseorang menyapa kami.

"Hai."

"Hai, Irene." Sapaku.

"Oh, kau. Hai." Respon Chaeyoung.

"Bagaimana kucingnya?"

Pertanyaan Irene sebenarnya berat dan sulit untuk dijawab, tapi harus kujelaskan.

Aku menarik napas.

"Irene, maaf. Aku harus menitipkan kucingmu pada Lisa. Aku yakin dia akan merawatnya dengan lebih baik. Maaf, aku tidak tahu harus bagaimana."

“Tidak apa, Jisoo."

Irene mengelus lenganku,

"Maaf."

Jujur saja aku tidak enak padanya. Aku memberikan kucing itu pada Lisa tanpa seijinnya.

Irene menggenggam tangan kananku.

"Terima kasih sudah membantuku menyelamatkannya. Aku duluan."

Irene tersenyum senang, lalu mengecup punggung tanganku pelan.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata.

Sebuah remasan di telapak tangan kiriku menyadarkanku.

"Ah-"

"Oh, maaf. Aku melamun." Chaeyoung melepas tangaku sambil tertawa garing salah tingkah.

"Ayo kita pulang." Ajaknya kemudian.

***

Suara teriakan malam ini membuatku terkejut. Kulihat sepatu Appa di depan teras.

Itu suara Appa... Jennie?!

Aku berlari ke kamarnya, demi Tuhan, appa, apa yang sedang kau lakukan?

Aku melihat Jennie terduduk dibawah lantainya, sudut bibirnya berdarah. Ia memegang kepalanya, sedangkan appa menghujaninya dengan pukulan-pukulan dari ikat pinggangnya.

"DASAR ANAK TIDAK TAU DIUNTUNG! KAU BUKANNYA SEKOLAH MALAH MEROKOK! SUDAH PINTAR CARI UANG HAH?!"

Appa sudah mengangkat tangannya lagi, siap memberi cambukan berikutnya.

Tanpa pikir panjang, aku berlari ke dalam, memeluk Jennie, menghalangi tubuhnya dari pukulan-pukulan yang appa berikan.

Cambukan itu mengenai punggungku dua kali, pasti biru. Kepala ikat pinggangnya keras juga.

Appa berhenti.

"Minggir kim jisoo! Pergi! Biar anak ini kuberi pelajaran!"

Appa menarik bahuku, menyuruhku menjauh. Tapi tak kuhiraukan perkataannya. Aku masih menutupi Jennie dari hadapannya, memeluk kepalanya erat.

Jennie diam saja, tidak bersuara.

Sampai akhirnya Appa pergi meninggalkan kami dan membanting pintu.

Jennie masih terdiam, tatapannya kosong.

"Jen-"

Aku memegang kedua pipinya.

Ia menatapku, dengan tatapan datarnya.

Aku bisa merasakan jiwanya mati rasa.

"Bibirmu berdarah. Kenapa tidak menghindar?"

Air mataku hendak jatuh melihat kondisinya, aku yakin itu bekas tamparan.

Dan seluruh lengannya belang, bekas pukulan.

Bagaimana dengan punggung dan kepalanya?

Dan kakinya.

Apakah kakinya ditendang?

Aku memegang kedua lengannya.

"Apa masih ada luka lainnya?"

Tanyaku.

Jennie menghela napasnya pelan.

"Sudahlah."

Ia berdiri dan beranjak ke kasur, mengambil bantal dan menutupi wajahnya.

Seharusnya kau ganti dulu seragammu, Jen. Kau pasti belum mandi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top