You 12: Reveal
Jarum jam di rumah berdentang dua belas kali, tapi matanya masih tidak bisa terpejam. Gadis itu gelisah di tempat tidurnya.
"Ck, sial."
Jennie mengibaskan selimutnya.
PRANG!
Tiba-tiba ia mendengar suara sesuatu pecah dari luar. Jennie berdiri, lantas ia bergegas melangkah kearah pintu dan membukanya. Ia menonjolkan kepalanya, menoleh ke kiri dan kanan. Lalu masuk kembali ke kamarnya membawa tongkat baseball yang terbuat dari besi.
"Sreeek... Sreeeek..."
Ia berjalan perlahan, mendekati sumber suara. Jennie melihat siluet orang sedang menunduk di kegelapan.
Bayangan itu memegang sesuatu yang panjang ditangannya. Sapu?
Jennie mendekat, ingin menghantam orang yang dicurigainya sebagai maling.
Siluet orang yang sedang duduk terjongkok itu menoleh ke belakang, Jennie refleks mengangkat tongkat baseballnya keatas, siap mengayunnya kearah bayangan itu.
"Aaaaah! Jangan! Jangan! Ini aku!"
Bayangan itu berteriak.
"Jisoo?" Ayunan Jennie terhenti di udara.
Ia mencari saklar lampu. Jisoo masih jongkok ditempatnya.
"Kau?"
Jisoo tersenyum kecil, menampakkan barisan gigi-gigi putihnya.
"Kukira maling!" Teriak Jennie.
"Maling mana yang kerjaannya jongkok diam daritadi setelah mecahin gelas?" Jisoo menatap Jennie, kesal karena disangka maling.
"Ah, eh..." Jennie menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kenapa itu?"
Jennie mengernyit, melihat serpihan kaca di lantai.
"Aku menjatuhkan gelas, tidak sengaja, tadi mau minum."
Jelas Jisoo.
"Bukan itu. Kenapa itu tanganmu?"
Jennie mendekat, ia sedikit menunduk, menarik lengan kanan Jisoo.
"Tidak apa-apa kok."
Jisoo menjawab Jennie sambil menatapnya dengan tatapan polos.
"Tidak apa-apa bagaimana? Lihat ini jarimu berdarah."
"Sedikit "
Kalau di drama korea ada adegan tokoh utamanya menghisap darah di tangan pasangannya yang terluka karena beling, maka realita tidak seindah drama korea.
"Itu banyak! Yasudah cepat bereskan!"
Jennie berbalik, pergi meninggalkan Jisoo sendirian.
Jisoo hanya menghela napasnya pelan. Ia membereskan sisa-sisa pecahan gelas, menyapunya, membuangnya ke tempat sampah, dan berjalan kembali menuju kamarnya. Ia sudah mencari kotak obat tapi tidak berhasil menemukannya, ia hanya berhasil menemukan sebuah plester luka saja.
Jisoo membuka pintu kamarnya, ingin segera tidur. Jarinya lumayan nyut-nyutan.
"Jennie tidak terlihat, mungkin dia sudah di kamarnya." Pikir Jisoo.
Cklek.
Pintu terbuka, dari dalam. Jisoo mundur selangkah.
"Hantu!" Jantung Jisoo berdetak cepat.
Muncul sosok Jennie.
"Jennie?" Detakan jantung Jisoo mulai kembali tenang.
"Lama sekali sih! Cepat masuk! Mau diobatin kok malah lama, nanti infeksi. Ck, bodoh. Cepat kemari."
Jennie berbalik, kembali masuk ke dalam kamar Jisoo.
"Jennie?" Jantung Jisoo berdetak dua kali lebih cepat dari detakan saat mengira pintunya dibuka hantu.
Ia berjalan ke dalam kamar dan menutup pintu.
Jennie sudah duduk di tepian ranjangnya, memegang kain, di meja samping kasur Jisoo sudah ada botol alkohol, salep obat merah, obat merah tetes, tissue, kain kasa, gunting besar, gunting kecil, plester luka, air hangat di ember, air hangat di gelas, obat pereda luka, dan lain-lain. Jisoo jadi ragu tempat tidurnya itu kasur atau ranjang operasi.
"Jen, lukaku tidak separah itu."
"Tetap harus dibersihkan."
Jawab Jennie.
Jisoo tersenyum senang, ia menatap Jennie.
"Kau secemas ini ya?"
Jennie terbelalak.
"Tidak, kalau appa tau kau terluka nanti aku yang akan disalahkan."
Elak Jennie. Sangat jago.
"Hmm... Yasudah, coba obati. Memangnya bisa?" Jisoo berjalan mendekat.
Jennie mendengus.
"Huh, meremehkanku?"
Ia menarik tangan Jisoo lembut. Membuat setruman kecil saat keduanya bersentuhan.
Keduanya bertatapan, Jisoo perlahan duduk di kasurnya.
Jennie melihat tangan Jisoo yang sudah terbungkus plester luka.
"Ck, jarimu bisa busuk kalau dibeginikan." Jennie menepuk punggung tangan Jisoo.
"Sakit!" Jisoo meringis.
"Tahan." Jennie membuka plester itu perlahan, membuka jari telunjuk Jisoo yang terluka. Lukanya cukup panjang, ini pasti cukup sakit.
Jennie menuangkan alkohol ke kain lembut berwarna putih ditangannya.
"Jisoo." Panggilnya.
"Iya?" Jisoo menoleh menatap Jennie.
"Tau tidak kaos apa yang bisa membuatku bahagia?"
"Apa?" Jisoo bingung, ia bertanya dengan intonasi bingung bukannya ingin tahu.
"Kaos I can't stop loving you."
"HAH?! HAHAHAHAAHHAHAHAHAAHAHAHA!"
Jisoo tertawa, keras, sangat keras, ia terbahak. Jennie yang biasanya bersikap dingin, cuek, keras kepala, dan agak kasar bisa menggombalinya.
Tanpa Jisoo sadari, Jennie sudah membungkus jarinya dengan kain yang sudah diberi alkohol.
"Sssh... Aaaw! Sakit!"
Jisoo baru merasakan pedih yang teramat sangat di jarinya ketika jari itu berkedut lagi, denyutannya jauh lebih sakit.
"Sudah selesai kok."
"Sakit." Jisoo meringis.
"Haaaah, sudah tertawa masih sakit."
Keluh Jennie.
"Memang tadi tidak sakit sih waktu aku tertawa." Jelas Jisoo.
Jennie menarik tangan Jisoo dan meniupnya pelan.
Ia melepas tangan Jisoo, membuat tangannya tertahan di udara. Tapi bibirnya masih meniupnya, kedua tangan Jennie membuka obat salep dan menyiapkan kain kasa.
Setelahnya ia mengoleskannya obat itu pada luka Jisoo dan menutupnya dengan kain kasa. Ia merekatkan plester luka di tangan Jisoo agar kain kasanya tidak lepas.
"Terima kasih." Jisoo tersentuh dengan perlakuan Jennie padanya.
Jennie tidak menggubrisnya, ia berjalan keluar kamar setelah mengemasi kotak obatnya.
"Besok pagi, datang ke kamarku."
Titah Jennie.
"Untuk?" Jisoo menatapnya bingung.
"Bangunkan aku. Dan, sebelum pergi kita obati lukamu dulu. Dan, tidak usah masak besok pagi. Aku bisa makan sendiri di kantin."
Setelahnya Jennie menutup pintu kamar Jisoo tanpa sempat Jisoo membalas satu katapun.
***
Hari ini kerja bakti di sekolah, walaupun yang terluka hanya jarinya, Jennie ngotot untuk mengajak Jisoo datang bersama ke sekolah.
Sekarang anak itu entah kemana. Jisoo malah lebih membutuhkan bantuan saat ini karena ia harus ikut menyapu, merapikan taman, dan lain-lain.
"Ah, bagaimana ini."
Jisoo kebingungan saat hendak merapikan kembang asoka di depannya. Ia kesulitan memegang gunting dengan buntalan kain kasa mengelilingi jarinya.
"Hai, butuh bantuan?"
Seorang gadis kurus, tinggi, cantik, berambut panjang dan berponi menunduk disamping Jisoo.
"Hei, boleh." Jisoo tersenyum ramah.
"Sendirian?" Tanya gadis itu, sambil mulai menggunting dan mencabut rumput liar yang tumbuh disekitar kembang asoka berwarna warni di petak tanah itu.
"Menurut ngana?"
Ingin Jisoo bertanya seperti itu tapi tidak sopan.
"Iya. Kau juga sendirian? Mana Chaeyoung? Biasanya kalian sering berdua."
Tanya Jisoo.
Gadis itu mendengus kecil sambil tersenyum.
"Kau mencari Chaeyoung? Biar kucarikan."
Gadis itu hendak berdiri.
"Eh, tidak perlu Lisa! Disini saja."
Jisoo kaget, ia menahan tangan Lisa.
Lisa terdiam melihat tatapan Jisoo, ia kembali jongkok disebelah Jisoo.
Mereka terdiam. Jisoo bingung harus bicara apa, karena Lisa jarang berinteraksi dengannya.
"Tanganmu kenapa?"
Tanya Lisa, ia masih merapikan bunganya, tapi ia bertanya pada Jisoo.
"Eh, terkena gelas. Biasa. Hehehe."
"Kok bisa? Gelasnya pecah?" Tanya Lisa.
"Enggak. GELASNYA MEMBELAH DIRI JADI KECIL-KECIL!"
Ingin Jisoo menjawab seperti itu tapi nanti mukanya berubah jadi jelek kalau kasar sama orang. Kan rugi, skincarenya ketahuan tidak berguna.
"Iya. Pecah, tersenggol dan jatuh."
Jawab Jisoo.
"Salah." Ralat Lisa.
"Hmm?" Jisoo bingung.
"Tersenggol, jatuh, dan pecah. Masa iya pecah dulu, tersenggol, baru jatuh?"
Jisoo menatapnya tak percaya. Ia dikoreksi seperti itu.
"Eh, iya, benar juga." Jisoo jadi mikir.
"Kenapa gak sekalian pecah, jatuh, dan tersenggol biar jadi alur mundur?" Lisa memeperdalam teorinya. Ia tertawa, tapi Jisoo bingung.
"Ini anak makan apa sih???"
Pikirnya.
"Kau pernah main bunga kamboja?" Tanya Lisa tiba-tiba.
"Tidak. Maksudmu bagaimana?" Tanya Jisoo.
Lisa tersenyum. Ia mencabut beberapa kembang kamboja berwarna merah lalu menarik tangan Jisoo, mengajaknya berdiri.
"Ayo!" Lisa menggenggam tangan kiri Jisoo erat dan pergi darisitu.
Mereka menepi ke samping lapangan dan duduk di sana.
Jisoo memperhatikan Lisa, Lisa mencopoti bunga kamboja itu satu persatu dan menyambung ujung yang satu dengan ujung yang lain, kemudian ia menyambung ujungnya dan menyimpulnya hingga tidak bisa terlepas.
"Wow..." Jisoo terpana melihat hal baru yang belum pernah dilihatnya.
"Jadi." Lisa tersenyum senang. Ia mengangkat rangkaian bunga kamboja merah itu.
Ia mendekat pada Jisoo. Mata Jisoo melebar, ia masih menatap Lisa. Lisa meletakkan rangkaian bunga itu diatas kepala Jisoo, menjadikannya mahkota.
"Cantik." Lisa tersenyum puas dengan hasil karyanya.
Tanpa tahu orang yang dipakaikan hasil karyanya itu sudah berdebar tidak karuan.
Jisoo masih diam. Ia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.
"Hei, lihat."
Mata Lisa menoleh, melihat rombongan guru-guru yang berjalan menuruni tangga. Mereka tampak mengerumuni dua orang penting.
"Itu pemilik sekolah ini dan istrinya."
Tunjuk Lisa.
"Ooh..." Jisoo manggut-manggut.
"Itu appanya Krystal." Jisoo menunjuk pria berjas yang sedang menggandeng tangan istrinya.
"Woah..." Jisoo tidak menyangka appa nya krystal pemilik sekolah ini. Ia ingin berhenti sekolah saja rasanya.
Kedua orangtua krystal tampak serasi dan sempurna.
"Dan itu eommanya Jennie."
"Hah?!!" Jisoo terbelalak. Terkejut.
Lisa tertawa kecil, senang sudah membuat Jisoo kaget.
"Eomma Jennie...menikah dengan Appa nya Krystal tepat saat Jennie baru masuk ke sekolah ini."
"Hah?!"
Jisoo masih tidak percaya.
"Makanya kami tidak kaget lagi jika Jennie membuat onar. Padahal dulu Jennie dan Krystal teman baik. Makanya, kau tau kan sekarang kenapa Krystal takut pada Jennie? Itu karena-"
"Buset dah malah gosip."
Chaeyoung tiba-tiba muncul disamping mereka, sudah duduk membelakangi Lisa entah sejak kapan.
"Eh, mau apa kau kesini?" Tanya Lisa.
"Ini." Chaeyoung menarik sesuatu dibelakangnya.
Rangkaian bunga asoka berwarna merah itu membuat Lisa dan Jisoo tertegun.
"Aku mau memasangkan ini di kepala Jisoo, tapi malah sudah kau pasangkan duluan!"
"Suru siapa pergi tidak tau kemana!" Bentak Lisa.
Jisoo tersenyum, ia senang melihat sikap Chaeyoung yang lucu.
"Kuganti ya?" Chaeyoung tersenyum jahil."
Ia menarik rangkaian bunga di kepala Jisoo dan menariknya, menggantinya dengan buatannya.
"Ih! Itu kan punyaku!" Lisa menggeplak tangan Chaeyoung.
"Ini aku yang pakai! Hahaha!" Chaeyoung memakai rangkaian bunga buatan Lisa sambil berlari, lalu Lisa mengejarnya.
"Kembali kau!" Lisa tampak kesal, tapi setelah dekat keduanya tertawa, berangkulan.
Jisoo tersenyum.
"Hai, boleh gabung?" Sebuah suara mengalihkan perhatian Jisoo, tampak Irene berdiri sambil membawa sebuah kotak.
"Hai. Tentu saja." Jisoo tersenyum. Dan keduanya sudah larut dalam obrolan seperti biasa.
***
"Hari ini aku melihat senyumnya lagi dengan mahkota bunga yang kubuat terpasang di kepalanya."
Seorang gadis tersenyum mengenang kisahnya hari ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top