You 11: Rain
Sore ini baru selesai hujan. Waktu sudah bergerak ke angka setengah lima. Jalanan sepi, dingin, membosankan. Kupercepat langkahku menuju rumah. Rumah yang bukan milikku. Jika dulu eomma masih di rumah pasti dia sudah membuatkanku teh hangat jika aku pulang dan cuaca sedang hujan atau gerimis. Aku teringat obrolan kami jauh sebelum Eomma pergi dari rumah.
"Eomma, jadi ibu itu susah tidak sih?"
Sore itu hujan dan pulang-pulang aku disambut teh manis hangat.
Eomma hanya tersenyum saja sambil mengaduk gelas tehnya yang kuyakin dia sedang mengaduk gula walau aku tidak melihat ia memasukkan gula tadi.
"Hmm? Kenapa sayang? Kau mau jadi ibu, eoh?"
Candanya. Padahal waktu itu aku masih tiga belas tahun.
"Ih bukaaaan eomma! Aku hanya mau tau saja. Pekerjaan eomma kan sangat banyak, apa tidak lelah?"
"Hmm... Lelah pun kau tidak pernah membantu eomma di rumah."
Eomma tersenyum jahil.
"Iihhh! Eomma!"
Dia tertawa, tawa yang kurindukan.
"Jadi Ibu itu tidak susah, Jennie, karena seorang Ibu akan terus berjuang untuk anak-anaknya."
Aku baru mau bertanya kenapa, tapi eomma sudah menjawab.
"Karena eomma sangat sangat mencintaimu."
Jawabannya membuatku tertegun.
"Yang susah itu menjadi istri."
Eomma tersenyum lagi.
"Kenapa, eomma?"
"Karena kau harus menahan rasa egomu demi cintamu."
"Kenapa, eomma? Eomma tidak cinta appa memangnya? Kalian kan saling mencintai."
Saat itu aku tidak mengerti maksud eomma.
"Tentu saja aku mencintai appa-mu, Jennie. Kalau tidak mana mungkin ada kau."
Ia tertawa lagi. Lagi lagi tawa yang kurindukan saat ini.
"Apa semua istri seperti eomma?"
Tanyaku lagi.
"Eomma tidak tahu, sayang. Tapi ada beberapa istri yang kesulitan menghadapi suami mereka ataupun sebaliknya."
"Seperti apa contohnya?"
Aku meneguk teh panasku.
"Yang susah itu ketika kau sudah berusaha tapi kau selalu saja dianggap salah dimata pasanganmu. Atau, kau harus memenuhi semua tuntutannya disaat tuntutanmu padanya tidak ia penuhi. Makanya, kelak ketika kau mendapat pasangan, kau harus bisa memahaminya, ya."
"Hmm... Aku tidak mengerti, eomma."
"Sudahlah, masuk saja ke dalam dan belajar yang baik."
"Tidaaaak mauuuu." Aku menggembungkan pipiku.
"Jadi maumu apa?"
"Mau manja-manja sama eomma saja."
"Dasar kau ini..."
Aku pindah duduk kesampingnya dan berbaring di pangkuannya.
Aku tidak mengerti maksud eomma waktu itu, tapi setelahnya aku mengerti ketika eomma pergi meninggalkan rumah hari itu, artinya ia sudah tidak dapat menahan egonya lagi dan merasa lelah menghadapi appa.
Aku membuka pagar rumah. Sepasang sepatu basah teronggok di pinggir teras, ditegakkan diantara pilar. Aku memutar kunci, membuka pintu hendak masuk ke dalam.
Dia sudah pulang rupanya, jadi tadi dia langsung pulang dan menerobos hujan? Nekad sekali. Sudahlah, toh bukan urusanku. Tapi apa dia tidak bisa menunggu hujan reda dulu? Setidaknya dia tidak perlu basah-basahan. Nanti bagaimana kalau dia sakit? Kan aku juga akan repot. Menyebalkan sekali.
Ruangan sudah terang. Benar, dia sudah di dalam.
Aku berjalan lurus ke dalam, melewati ruang tamu, menuju dapur, mengambil air minum.
"Jen, duduk dulu sini, ada teh panas."
Aku tertegun,
"Eomma?"
Segera aku menoleh ke belakang, kearah meja makan di sebelah kanan, tapi suaranya bukan suara eomma.
"Bukan, ini Jisoo." Ia nyengir.
Huh, menyebalkan.
"Kenapa kau nyengir hah?!" Bentakku, kesal.
Dia diam, sedikit menunduk. Raut wajahnya berubah menjadi takut.
Ah, baiklah. Sepertinya aku berlebihan. Aku hanya sebal saja.
Aku berdeham,
"Mana?" Duduk di depannya.
Ia menoleh padaku. Wajahnya berubah cerah.
"Ini."
Ia menyodorkan secangkir teh panas yang masih mengepul. Sepertinya baru dibuat.
Aku mengambilnya dan menyesapnya pelan.
"Enak."
"Wah syukurlah." Jisoo tersenyum senang.
Sial. Aku keceplosan. Aku menarik napas.
"Uhuk! Uhuk!"
"Eh, pelan-pelan, Jen!"
Jisoo berdiri, hendak menyentuhku, aku mengangkat tanganku, kode memintanya berhenti mendekat.
Sial. Batuk ini bikin malu saja.
***
"Nanti pulang kita cari tempat makan yang enak yuk."
"Ah, kita jalan-jalan saja."
Dua anak manusia yang selalu berisik sedang berdebat di dekatku. Aku menatap siswa-siswa lain yang sedang berolahraga di lapangan bawah.
"Woi! Jennie! Jangan ngayal jorok teroos!"
Chaeyoung menjentikkan jarinya tiga kali di depan wajahku.
"Kau berkhayal bermain dengan siapa?" Lisa tertawa menggodaku.
"Denganmu lisa! Hahaha!" Chaeyoung tertawa keras.
"Bangsat!" Lisa hendak menyepak kaki Chaeyoung yang sedang enak tertawa lepas.
Aku tidak bisa tidak tertawa melihat ekspresi kesal Lisa.
"Kyaaaa! Lisa! Jangan grepe-grepe!"
Chaeyoung menepuk kedua tangan Lisa yang berusaha menangkapnya.
"Siapa yang grepe-grepe! Sini kau jangan lari!"
Lisa mengejar Chaeyoung yang hendak berlari keluar kelas.
"Tolooooong! Aku mau di grepe Lisa!"
Teriak Chaeyoung di depan kelas sambil menutupi kedua dadanya dengan tangan menyilang, setelahnya ia tertawa.
Untung saja itu Lisa, bukan aku. Aku tidak tahu mukaku harus disembunyikan dimana jika Chaeyoung berteriak seperti itu.
"Heh anak gila!" Lisa mengejar Chaeyoung keluar kelas.
"Kyaaa! Si tukang grepe itu datang kemari!"
"Sinting!"
"Toloooong! Ini pemerkostan!"
"Pemerkosaan, goblo." Ralat Jimin yang lewat di depan mereka.
"Diam kau Jiminto!"
"Heh kau merusak namaku saja."
"Sudah, biar benar dua-duanya, pemerkosaan di kostan saja."
Sambung chanyeol.
"Ini kau keseringan download 3GP apa gimana ya?"
"HD donk masa 3gp."
Jimin menjitak kepala chanyeol.
Ya tuhan, kenapa teman-teman sekolahku pada ambyar?
Aku kembali membaca novel di mejaku. setelah membaca lima lembar, aku mengalihkan pandanganku kebawah lagi, ke lapangan.
Sudah ada Lisa dan Chaeyoung disana. Kulihat Chaeyoung memberikan sesuatu pada Jisoo. Oh, jadi kelasnya yang sedang olahraga daritadi. Lisa hanya menatap mereka berdua.
Apa itu? Hmm? Oh, sekaleng soda.
Jisoo mengajak Lisa bicara. Lalu berganti dengan Chaeyoung. Jisoo tersenyum.
Hei, kenapa aku jadi memperhatikannya sih.
Aku kembali membaca bukuku. Tak lama kemudian bel berbunyi, tanda istirahat sudah usai. Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela lagi.
Mata itu.
Mata itu menatapku.
Dia tersenyum.
Cantik.
Baiklah, tidak ada salahnya kan membalas senyum? Hanya senyum kok.
Setelahnya ia beranjak pergi darisitu.
Tunggu dulu, sejak kapan jisoo melihat kesini?
***
"What is your sex?" Namjoon membaca teks dibukunya.
"Jimin, what is your sex?" Pak Guru Gong Yoo melempar pertanyaan secara acak.
"No, I never have sex before." jawab Jimin, polos.
"HAHAHAHA!" namjoon dan anak-anak lain tertawa keras.
Gong Yoo menepuk dahinya.
"Gak boleh, Pak, kata mama. Pamali."
"Artinya bukan itu." Gong Yoo menghela napas.
"Chanyeol? what is your sex?"
"My sex is good, Sir!" Chanyeol menjawabnya dengan lantang.
Lantas aku tak tahan untuk tidak menampar kepalanya dengan buku. Kenapa aku harus duduk dibelakangnya sih. Kelas ekstrakulikuler ini menyebalkan. Dia mengambil kelas yang mana ya?
Eh, kenapa aku penasaran sih?
Jisoo tidak ada hubungannya denganku.
Tapi, rasa ingin tahu sedikit saja tidak masalah, kan?
Toh, aku hanya ingin tahu saja.
Ah, kelas ini membosankan.
***
"Disini tidak ada. Kelas itu tidak ada. Disana tidak ada."
Aku berjalan menelusuri koridor-koridor kelas, sedaritadi keliling, melihat-lihat. Tidak juga kutemukan sosoknya.
"Jennie? Sedang apa?" Lisa yang berjalan sambil membawa sebuah penggaris menyapaku.
"Lisa?"
Ia masih menatapku.
"Ah, eh. Keliling. Hanya berjalan-jalan." jawabku.
"Sendirian?" ia menatapku, menyelidik. Aku mengangguk.
"Sudah dulu ya." aku tersenyum padanya, melanjutkan jalanku.
"Kau bukan mencari Jisoo, kan?"
Pertanyaan Lisa membuatku berhenti berjalan.
"Tidak, untuk apa?" jawabku, mantap.
Aku tidak mencari Jisoo, hanya mencari kelas ekstrakulikuler Jisoo kok.
"Baguslah." Jawab Lisa sambil berlalu.
"Aneh." aku melanjutkan jalanku.
Kakiku berhenti di kelas paling ujung. Apa Lisa baru lewat darisini?
"Hmm? Sejak kapan?" aku melihat Chaeyoung sedang berbincang dengan Jisoo. Dilihat dari aktivitasnya sepertinya ini ekstrakulikuler seni lukis. Mereka berbincang cukup akrab dengan jarak yang errrr.... cukup dekat.
Hey Chaeyoung, perlu sedekat itu ya?
Ia tampak memperhatikan Jisoo menggambar, sesekali tersenyum sambil memperhatikan wajah Jisoo.
Jisoo memegang tangan Chaeyoung.
"Apa-apaan?!"
Aku segera menutup mulutku dan pergi darisana, semua orang di kelas itu mendengar suaraku dan menoleh kearah pintu, mudah-mudahan mereka tidak melihatku.
Ah, sial!
"brukkk" tepat di belokan koridor aku menabrak seseorang.
"ah, maaf." aku membantu memungut kuas-kuas yang jatuh tertabrak olehku.
"Tidak apa-apa." suara pemiliknya membuatku terdiam.
"Irene?"
Dia diam saja menatapku.
"Kau bukannya ekstrakulikuler fotografi?"
"Kau sendiri bukannya seharusnya di kelas bahasa inggris? Sedang apa disini?"
Sial. Kelas kami sebelahan, tapi kenapa harus bertemu dengannya disini? Aneh sekali rasanya.
"Dan kenapa kau membawa kuas?" aku sengaja mengalihkan perhatiannya.
"Iseng saja meminjamnya, ingin mencoba melukis. Ini sekarang ingin kukembalikan."
"Kuas siapa?" tanyaku, penasaran.
"Jisoo."
"Ooh. Yasudah, aku duluan ya." ia hanya mengangguk, aku mendahuluinya kembali ke kelas.
Pulang sekolah, kulihat Irene berjalan berdampingan dengan Jisoo.
Irene terlihat sangat bawel, tidak biasanya anak itu bisa cerewet. Jisoo hanya tersenyum mendengarkan.
Ah, anak itu kenapa murah senyum sekali sih?
Lebih baik aku tinggal pulang saja sekarang.
***
"Dia, yang tersenyum manis padaku hari ini dan menyapaku. Dia, yang membuat moodku meningkat dua kali lipat setiap melihatnya. Dia, yang tanpa sadar menarikku kedalam pesonanya. Tuhan, berikan aku kesempatan untuk melihat senyum itu lagi besok."
Gadis itu mematikan laptopnya setelah ia menuangkan perasaannya untuk Jisoo.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top