X-4. THE CONJUROR

Peringatan! Bab ini mengandung adegan berdarah yang bersifat mengganggu (disturbing). Harap bijak dalam membaca.

###

Sayup-sayup, visinya terungkap. Citra awal yang buram berangsur-angsur terang. Andi menyadari bahwa dia berada di kelas, dan para siswa terpisah-pisah keluar sambil membawa kaus olahraga.

Dua orang siswi berjalan melewati bangkunya seraya berbincang-bincang.

“Hebat sekali, dia tidur di kelas sampai sejam! Bu Al sampai mengira kalau dia tukang tidur!”

“Ho oh, bahkan katanya jawaban soal MTK-nya ndak ada satu pun yang benar!”

Andi mengamati sekeliling dengan linglung, celingak-celinguk. Jam dinding menunjukkan hampir pukul sebelas. Di belakang, X bersama gengnya terlihat mengobrol santai, bersenda-senda. Mereka sudah mengenakan kaus olahraga. Sedangkan, Andi masih memakai seragam nan lusuh penuh peluh geluh.

Di lapangan, sejumlah siswa siap berkumpul, tetapi belum berbaris. Beberapa orang berbincang-bincang, lainnya diam-diam saja. Mereka menunggu teman yang lain datang. Sementara itu, si guru olahraga yang mengenakan kaus training duduk di teras teduh, ternaungi oleh bayangan gedung. Beliau membawa papan jalan dengan kertas tersepit. Entah apa motivasinya membiarkan murid sendiri terjemur di lapangan rumput nan panas terik.

Banyak siswa yang mengeluh, ingin ikut berteduh, tetapi lihat dahulu bagaimana perangai si guru. Pernah ada yang ketahuan diam-diam mengadem, kemudian dihadiahi dengan push up. Pernah ada yang tepergok minum air, lalu diberi kejutan sit up.

Tidak terdapat pilihan lain selain berjemur. Jika sudah telanjur sampai lapangan, terkenalah sabotase pergerakan mereka. Itu mengapa, sebelum memang mulai jamnya olahraga, para siswa lebih memilih menghindari lapangan sepak bola.

Sementara itu, di kelas, Andi masih mencari bajunya, meski tahu sia-sia. Sejumlah teman kelasnya mengatakan bahwa waktu tinggal lima menit, lantas para penghuni ruangan itu berbondong-bondong keluar, termasuk X dan kawan-kawan. Andi pun tertinggal.

Menyadari segala usahanya tiada harapan, lelaki berkacamata tersebut turut keluar kelas sambil membawa buku LKS pelajaran Penjaskes (Pendidikan Jasmani dan Kesehatan). Dari kejauhan, Andi melihat semua teman sekelasnya sudah berbaris rapi melakukan pemanasan, dipandu oleh seorang siswa yang merupakan pemimpin barisan. Si guru hanya memperhatikan dari teras teduh.

Ketika Andi dekat, dia menghampiri sambil tertunduk lesu. Barisan kelasnya senyap mendadak, menoleh bersamaan ke arah yang sama. Si guru olahraga bangkit dari duduknya, menatap supresif remaja lelaki yang tinggi badan berbeda nyata itu.

"Mana seragam olahragamu?"

"Ketinggalan, Pak."

Guru tersebut memberikan kemarahan seketika, panjang kali lebar kali tinggi, sementara para siswa yang berbaris kesal menunggu. Andi disuruh mengambil sapu lidi, menyapu halaman kelas yang tampak penuh serasah dedaunan serta ranting pohon.

"Pokoknya sapu sampai bersih, gak meninggalkan satu pun kotoran. Sapunya itu baru, lo, jadi jangan sampai rusak. Jangan lama-lama nyapunya, sepuluh menit selesai. Habis nyapu, kamu push up dua puluh kali sama sit up dua puluh kali terus squat jump sepuluh kali. Ingat, jangan lama-lama."

Andi menurut saja dengan membalas "iya", ya", dan mengangguk setiap perkataan guru yang membutuhkan jawaban. Lelaki berbaju lusuh nan tampak lesu itu menuju kelas dengan jarak tak jauh. Dari lapangan sepak bola, para siswa bisa curi-curi pandang melirik Andi yang malang menyapu halaman. Pemimpin barisan pun memandu untuk lanjut pemanasan.

Di salah satu barisan paling belakang yang diisi para laki-laki, X menyeringai penuh kemenangan.

***

Andi adalah beban kelas.

Itu adalah doktrin yang ditanam kuat-kuat pada hati serta pikiran siswa kelas VIII-E. Andi adalah seorang classmate yang tidak becus melakukan apa-apa, hanya bisa jadi penghambat kemajuan kelas. Jikalau disuruh melakukan sesuatu pun, dia tidak bisa menyelesaikannya dengan benar.

Dia tidak cakap dalam hal apa pun. Dia tidak konektif diajak berbicara. Dia tidak punya satu pun teman.

Itulah Andi.

Lelaki yang kini tengah sibuk membersihkan halaman itu mengingat-ingat masa awal mula dirinya bisa dirundung. Pada suatu hari di awal semester tingkat kedua SMP, entah bagaimana X membentuk geng di kelas VIII-E, kemudian mendeklarasikan bahwa mulai saat itu mereka semua harus merisak Andi.

Kala di toilet, Andi dikunci di salah satu bilik, dan baru berjam-jam kemudian dia dikeluarkan. Masa di kantin, Andi disuruh membayar semua makanan yang dibeli teman sekelasnya, membuat uang saku Andi habis seketika. Waktu di kelas, buku juga peralatan sekolah Andi disembunyikan entah di mana. Dia beruntung kalau barangnya bisa kembali walau dalam keadaan mengenaskan.

Namun, bila ditelusuri lebih jauh lagi, Andi menjadi korban perisakan X sudah sangat lama. Sejak kapan?

Ah, iya, sejak saat itu. Andi mengingatnya. Lelaki berkacamata itu mendadak terdiam, kemudian mendongak. Kulit wajahnya bertatapan dengan panas sinar mentari. Meski silau pun, matanya tak berkedip, lama-kelamaan membulat. Kedua pupil Andi melebar.

Di bawah pohon kersen yang dipenuhi ulat-ulat hijau besar, Andi melayangkan berbagai keluhan tanpa suara sambil melakukan gestur tangan seolah menuntut sesuatu, sementara X memandang dengan tatapan mata merendahkan, menempelkan telapak kiri menutupi mulut juga hidung.

Andi menoleh ke samping, memperhatikan teman sekelasnya yang bersemangat melakukan olahraga lempar lembing di bawah cahaya terik nan memanggang. Ketika dia menengok ke depan, lelaki itu menyadari bahwa halaman kelas sudah lumayan bersih, berkat bantuan sapu lidi baru pula keranjang sampah.

Guna memindai hasil pekerjaannya nan cukup memuaskan, Andi berjalan mundur menuju teras, membiarkan sepatu sekolahnya mengotori lantai ubin. Dengan sapu di genggaman, lelaki berkacamata tersebut senyum-senyum sendiri, tersurat rasa senang nan teramat besar dari ekspresinya.

Masa itulah, sesuatu yang mengerikan dimulai.

"SANTET TERKIRIM"

Andi merasakan rasa sakit tiba-tiba menusuk perut. Badannya terhuyung seketika, sapu di genggaman pun jatuh. Lelaki itu mencari sandaran, beruntung di dekat ada wastafel. Rasa perih datang lagi. Tangannya meremas perut kuat-kuat, wajah menahan sakit, meringis dan mengaduh.

"Sakit ... sakit sekali ...."

Andi merasakan cairan isi perutnya bergerak naik dari usus ke lambung, meluncur melalui kerogkongan, kemudian memenuhi rongga mulut, dan akhirnya menyembur keluar. Darah merah pekat tumpah begitu saja.

"Apa ini ... ?" Andi menutup mulut yang menggembung dengan telapak tangan guna mencegah cairan lebih banyak keluar, tetapi apa daya darah tetap merembes melalui sela-sela jemarinya.

Muntahan merah itu memenuhi lantai teras kelas. Andi mengeluarkan darah terus-menerus, terbatuk-batuk. Dia menyadari tangannya berlumuran cairan pekat berbau anyir.

"Ini ... darah?"

Kedua lengan Andi gemetar, pandangan memburam, badan menggigil dan lemas. Napasnya tak beraturan, detak jantung kacau. Kedua mata terbelalak serta pupilnya mengecil. Muntahan darah keluar lagi.

Andi merasakan tenggorokannya tercekik, napas tersekat. Ketika tangannya mengepal, dia mengaduh kesakitan. Perlahan, telapak bersimbah darahnya membuka, dan terdapat sejumlah paku kecil beserta potongan kawat di situ. Saat Andi melihat muntahannya di atas lantai, juga ada banyak paku dan potongan kawat tercampur.

"Tidak ... !" Andi berteriak ngeri. Semprotan cairan merah bermuncratan.

Dari kedua sudut mata Andi, darah bercucuran. Dari lubang hidungnya, darah mengalir. Dari liang telinga, darah mengucur. Dari dalam mulut, darah makin banyak bersimbur.

Paku kecil beserta kawat terus lanjut keluar. Dari kulit Andi, benda-benda itu menembus, satu demi satu berebut menyembul seiring darah sinambung merembes. Dari kulit telapak, jari-jari tangan, lengan atas, lengan bawah, leher, kulit kepala, wajah, paha, betis. Semuanya berceceran, berjatuhan, mengeluarkan bunyi denting kemudian bercampur dengan cairan merah pekat.

Baju putih lelaki itu terkotori, kuyup akan darah merah, berlubang-lubang seiring paku dan kawat menyumbur dari dada, perut, punggung. Tak luput celana biru panjangnya turut bolong-bolong koyak-moyak selama paku dan kawat keluar terus-menerus.

Andi terjatuh di teras, bertumpu pada tangan serta lutut. Sekujur tubuhnya bermandikan cairan merah. Mukanya berlumuran darah, kulitnya berlumuran darah, pakaiannya berlumuran darah.

"To-long ... a-ku ... !"

Sebelum kesadarannya terenggut, Andi sempat menjulur lengan ke arah lapangan, berharap setidaknya satu saja teman sekelas melihat.

Namun, belum ada yang menyadari kejadian itu. Andi ambruk, kehabisan banyak darah. Butuh jeda waktu nan lama bagi orang-orang untuk menemukan keberadaan jasad Andi, berkerubung di teras depan kelas VIII-E.

###

6 Desember 2020

... ?

Sistem akan memulai dari awal ....

Memuat ....

3, 2, 1 ....

Start/

Memuat ....

10% ....

50% ....

100% ....

Finis/

Bab berikutnya:
Meratapi makam Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top