Eks-2. NEXT CASUALTY
Kelas VIII-E berisi orang-orang elitis. Begitu pula barang-barang yang termuat dalam inventaris, semuanya bersifat terpilih. Banyak prasarana yang tidak ditemukan di kelas lain, seperti meja dan kursi berkualitas, proyektor versi terbaru, juga air conditioner, bahkan gawai khusus mengakses internet. Kau mendapat keberuntungan paling mujur jika masuk ke kelas ini.
Pagi ini, seperti biasa, seorang guru bergelar banyak menerangkan materi menggunakan sistem bilingual. Para siswa mengikuti pembelajaran berbasis internet, mendapat bahan suplemen dari pranala luar. Ini adalah langkah awal sebagai bentuk peduli alam dengan cara mengurangi penggunaan kertas serta penebangan pohon hutan. Begitu penuturan bapak guru.
“Baik, anak-anakku, karena minggu lalu saya memberi tugas mencari lima belas jenis pupuk, silakan tugas tersebut dikumpulkan lewat surel saya.” Selepas berkata demikian, bapak guru menuliskan alamat surat elektronik di laptop yang layarnya diproyeksikan ke papan tulis.
Beberapa momen kemudian, beliau mengonfirmasi siswa-siswi yang telah mengumpulkan tugas. Tiga puluh dua orang. Padahal jumlah siswa di kelas VIII-E adalah tiga puluh tiga. Siapakah satu orang yang kurang? Semua insan akan segera mengetahuinya.
“Terhitung tiga puluh dua anak sudah mengirim surel ke saya. Siapa satu anak yang belum mengumpulkan?”
Satu remaja berseragam putih biru berdiri, letak bangkunya ada di pojok belakang. Remaja laki-laki itu berkacamata, lengan pula wajah dipenuhi plester luka, bekas baret, serta memar. Dia tak berani mengangkat wajah, terus menundukkan badan. Setelah menyebut nama dan mengangkat tangan lemah, dia bergeming.
Si guru yang jauh di depan memandang heran. “Kenapa kamu belum mengerjakan? Maju sini!”
Remaja itu pun melangkah maju dengan terseok-seok. Remaja sekelas berbisik-bisik, memperhatikan kulit sawo cokelatnya berbentol-bentol juga banyak ruam. Setelah sampai di depan meja guru, dia tetap menunduk, berkata, “Saya …,” matanya mengerling kepada remaja beraura karismatik di dekat, “kemarin sakit, Pak.”
“Huh? Apa hubungannya sakit kemarin dengan tidak mengumpulkan tugas? Kan, saya memberi tugasnya minggu lalu. Lihat teman-temanmu, semuanya mengerjakan. Cuma kamu saja yang belum.”
“Maaf, Pak, saya sering pulang malam dan kecapaian, sehabis sampai rumah langsung tidur,” akunya.
Memicing, si guru melayangkan ekspresi geram nan nyata, memperlihatkan sisi lain yang sarat ketidaksenangan. “Kasihan, ya? Tapi, karena ini tugas, kamu wajib mengerjakannya. Jika kamu tidak mengerjakannya, maka nilai rapor kamu saya beri nilai KKM. Itulah dampak buruk menunda pekerjaan.”
Habis sudah nasib remaja itu. Tidak ada sedikit pun toleransi bagi kelalaiannya. Semua remaja sekelas menyoraki, melempar hujatan demi ejekan, lalu menyerukan namanya, “Andi! Andi! Andi!” bagai menonton pertujukan sirkus. Andi, si remaja berkacamata, tidak terima dipermalukan seperti ini.
Dalam sekejap, air mukanya berubah naik pitam, sekujur tubuh dirasuki kekuatan supernatural. Tangan remaja tersebut merebut spidol bertutup besi dari wadah di atas meja, kemudian mengayunkannya tepat menusuk mata kanan bapak guru, membiarkan tetap menancap. Si guru menjerit ngilu, darah merah seketika memancar hebat. Beliau lantas memegang spidol yang menikam matanya, tetapi terasa sakit, dan langsung diurungkan. Para siswa yang menyaksikan pun menatap ngeri.
“Eks, lihat ini! Aku juga mampu melawan! Seorang budak pun bisa melukai majikannya!”
Andi melotot dan terbahak-bahak, kemudian mengambil pulpen hitam, menghunjamkan ke dada kiri si guru, cukup dalam sampai setengah batang pulpen. Bapak guru berteriak makin kesakitan, berbalik hendak lari. Andi segera menghadang, berniat memberikan tikaman lagi. Namun, beberapa remaja laki-laki mencekalnya, memisahkan dari si guru.
“Lepas! Lepas! Jangan ganggu aku!” Andi meronta-ronta.
Para remaja mendadak terlempar seakan didorong kekuatan luar biasa. Andi mengeritkan gigi, wajahnya merah padam, tatapannya membeliak. Si guru berlari menuju pintu, meninggalkan kelas dengan darah menetes-netes. Andi ingin melelah, tetapi tiba-tiba remaja berkacamata itu berpaling, melangkah sempoyongan hingga sampai tengah ruangan kelas, mematung beberapa detik. Sejumlah teman sekelas pun bergidik ketakutan, terutama kaum perempuan.
Andi, it’s time to die!
Andi meremas mercu kepala, melaung penuh derita. Dalam sekejap, kulit wajahnya tertarik, terbelah sampai leher atas kemudian putus, menampakkan jaringan daging nan merah pekat. Otot pipinya berkedut, otong rahang menggerakkan tulang mandibula. Darah pun mengalir perlahan, membasahi baju pula lantai. Berikutnya, cairan abang menyembur makin kencang, keluar dari mata, lubang hidung, liang telinga, melancut dari rongga mulut yang menganga.
Para remaja berteriak histeris, mundur menjauh, atau diam di tempat sambil terbelalak. Tidak ada yang tahu apa yang tengah terjadi, semuanya panik kebingungan. Darah mengucur lagi dari mulut Andi, makin deras, mengenai benda-benda di sekitar dan remaja terdekat. Dalam kedipan mata, kepala Andi meledak, menciprat darah melimpah beserta ceceran daging. Seketika ruangan kelas menjadi penuh akan gumpalan dan genangan.
Pada momen selanjutnya, jasad Andi ambruk, tergeletak di pusat kelas.
Selepas insiden nan menyeramkan lagi menegangkan di kelas VIII-E, akhirnya keadaan bisa agak lebih tenang. Bapak guru yang terluka mata kanan juga dada kirinya telah diobati, diperban, dan diberi penanganan, kini terbaring di ranjang ruang kesehatan. Sementara itu, tubuh Andi yang terbalut selimut digotong menggunakan brankar, dibawa masuk ambulans oleh beberapa petugas. Para siswa VIII-E hanya bisa berkerumun, memandang dengan raut wajah terheran-heran.
Beberapa saat kemudian, mereka mendapat kabar bahwa Andi meninggal dunia dalam perjalanan menuju rumah sakit. Mengikut pengumuman tersebut, sekolah pun dipulangkan lebih awal.
***
Terbilang suatu ruangan tertutup nan disirami penerangan minim, Eks dan beberapa temannya yang berseragam sekolah melakukan suatu pekerjaan seperti biasa. Bukan sebagai pelajar sekolah menengah pertama, melainkan sebagai anggota dari Geng Eks, kelompok remaja liar yang prestisius dan disegani oleh banyak orang.
Pada salah satu sofa, Eks duduk sambil menyandarkan lengan, kaki mengangkang. Bajunya dikeluarkan, kancing atas dibuka, dan dasi dilonggarkan. Seorang perempuan cantik bernama Hasni tidur di pangkuannya. Di hadapan, ada Ye dan Zet yang duduk pada kursi bertangan, berpose bak gaya preman.
Eks menyugar rambut, bertutur dengan nada kecewa nan dibuat-buat. “Diantoki, bagaimana ini? Target utamaku sudah tidak ada. Dia mati dibunuh oleh setan gila yang suka mengambil nyawa secara brutal. Snatet online itu benar-benar mengerikan. Tapi, aku tidak percaya santet itu ada, apalagi bisa mengambil nyawa orang seenaknya.”
Si remaja berambut merah kehitaman menyahut, “Tidak apa-apa, Eks. Aku dan Zet akan mencarikanmu mangsa lagi. Kamu bebas menyiksanya dengan metode yang kamu punya.”
Remaja berjaket dan bertindik menimpali, “Itu, benar, Eks! Kami tidak akan mengecewakanmu!”
Eks menghela napas. “Tapi, tidak ada orang yang bisa menggantikan kehebatan Andi dalam menikmati siksaan. Aku merasa sangat kehilangan. Ini benar-benar menyebalkan. Kan, Hasni?”
Perempuan yang ditanya mengangkat wajah. “Iya, benar, Eks sayang.”
Eks terlihat agak senang, mengelus-elus mercu kepala Hasni.
“Bukankah ini sudah saatnya?” Tatapan mata si remaja berkarisma mengilat. Ye dan Zet mengangguk.
Eks kemudian memanggil beberapa remaja, membawa sejumlah orang yang diikat, kepala dibungkus kain. Orang-orang itu disuruh duduk bersimpuh, membentuk satu baris membelakangi tembok gelap. Ada pria berseragam kantoran, pria gemuk, wanita rumah tangga, pemuda berkaus oblong, dan lain-lain.
“Aku tidak suka yang gendut itu. Bunuh dia,” perintah Eks.
Pria gemuk yang dimaksud panik hendak berdiri, tetapi letusan senjata api meluncur, menembus kepalanya. Pria itu pun ambruk, bersimbah darah.
“Aku juga tidak suka wanita yang menangis. Habisi.”
Wanita paruh baya yang sedari tadi merintih menjerit ketakutan. Senjata api ditodongkan, menembak kepalanya.
“Diantoki! Aku bingung memilih urutan. Ya sudah, tembak saja semua pendosa ini. Berani-beraninya mereka mengusik wilayah Geng kita!”
Orang-orang yang diikat itu menjadi gelisah, amat histeris. Satu per satu tembakan terdengar, menghabisi orang-orang tersebut. Kini ruangan dipenuhi mayat-mayat yang bergelimpangan.
Puas menonton eksekusi, Eks menundukkan kepala, mencumbu perempuan di pangkuan. Kemudian, lelaki itu tergelak penuh kepuasan, memenuhi ruangan temaram.
Ye dan Zet tak bersuara, hanya tersenyum puas.
Melihat kedua asistennya mengulas senyum aneh, Eks merasa geli. “Hei, Ye, Zet, jangan tatap aku seperti itu! Apa maksud kalian, hah?” Akan tetapi, tidak ada orang yang dapat menebak apa arti balasannya.
“Eks, impianmu untuk mengubah dunia yang busuk ini pasti dapat terkabulkan. Janji yang kita bertiga buat pasti dapat terus ditepati. Eks, kamu pasti bisa bertahan sampai akhir!”
###
20 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top