32 | touché
"Lo serius mau cabut dari sini?" Gusti duduk di pinggiran kasur temannya. Tapi karena Iis cuma mengangguk dan tidak memberikan jawaban, cowok itu ganti melirik Zane yang sedang bersandar di kusen jendela. "Oy, bantu bujuk dong!"
Sayangnya, Zane tetaplah Zane. Disawer semilyar juga belum tentu membuat sepasang bibir tipisnya mau mengucapkan kalimat yang diharapkan. "Ngapain? Baguslah Iis mau pindah. Di sini juga nggak kondusif."
"Kondusif, kondusif pala lo!" Gusti belum pernah sekesal ini menghadapi Zane yang suka nggak ngerti kapan saatnya songong dan kapan saatnya menurunkan ego. "Jangan digede-gedein dong, kawan. Nggak denger tadi Mail bilang urusan dia sama Regina udah tamat banget? Ya anaknya emang masih rada sensitif, tapi seenggaknya Regina udah di-cut off, nggak perlu khawatir bakal ketemu dia lagi di sini. Ayo dong, kita balik kayak dulu lagi. Apa nggak canggung kalau sekarang lo cabut, tapi nanti di kampus tiap hari ketemu lagi? Please, besarkanlah hatimu, Iis Jamilah. Masa temenan sama Zane kuat, sama Mail enggak? Padahal bangsatnya sama."
"Bangke!" Zane berdecih, sementara Iis masih diam.
Gusti menghela super napas. Belajar sabar. "Emang lo mau pindah ke mana sih malem-malem gini?"
"Hotel." Iis menyahut singkat.
Gusti mengangguk. "Deket-deket sini tapi, kan? Jangan jauh-jauh, besok pagi lo repot ke sekolahnya."
Iis nggak menjawab. Sudah capek sendiri membayangkan mesti packing-unpacking lagi. Masalahnya, jumlah bawaannya udah ngalah-ngalahin brand ambassador YSL kalau mau dateng ke PFW. Karena pikirnya nggak akan pindah-pindah selama dua bulan, dia memang membawa banyak sekali baju dan sepatu formal untuk mengajar—yang pasti bakal lecek kalau dibongkar-bongkar. Belum lagi dia punya sekoper besar buku-buku bergambar dan mainan edukatif untuk nanti dia bagikan sebagai hadiah perpisahan dengan murid-muridnya.
Tidak lekas mendengar jawaban Iis, sekali lagi Gusti menoleh ke Zane.
Zane mendesah. "Belum booking, dia. Paling malem ini gue bawa ke Seminyak dulu."
"Berdua doang?" Gusti melotot. Meski mereka semua berteman, membiarkan Iis masuk sendirian ke kandang buaya rawa tetaplah mengkhawatirkan. "Jangan lah. Mending di hotel aja. Biar gue booking-in."
Iis masih juga diam. Kenapa tadi dia mesti gegabah dan ngancem mau cabut? Yang ngeselin si Mail, kenapa malah dia yang repot?
"Tapi dibanding semua itu, lebih baik tetep di sini aja sih." Gusti sekali lagi mencoba membujuk.
Iis mesem tipis. Dia maunya juga di sini, tapi males banget lihat muka Ismail. "Gue beneran butuh space buat ngadem, Gus."
"Iya, iya, silakan. Makanya gue booking-in hotel aja yang deket sini. Seminyak kejauhan, belum lagi lo sama Zane, bukan Sabrina yang bisa bangun sebelum ayam berkokok."
Nah, kalau itu, baik Zane atau Iis terpaksa sepakat.
Meski udah bikin sepuluh alarm di handphone, alarm hidup jauh lebih efektif membangunkan mereka berdua.
"Mbak." Belum juga Iis membuat keputusan, tiba-tiba muncul Sabrina—disusul oleh Bimo—membuka pintu kamar mereka, lalu nimbrung masuk.
Berantemnya Iis dan Mail tadi memang tidak dilakukan terang-terangan. Ngambeknya Iis yang kemudian memutuskan untuk cabut dari villa juga dilakukan diam-diam. Tapi emang dasar tembok villa terlalu tipis, jadi semua desas-desus bisa terdengar jelas.
"I know I'm not a good roommate for you. Bang Mail is not a good housemate either. But can you please reconsider not to leave?" Cewek itu berkata dengan tampang malu-malu dan cuma menatap muka Iis selama sepersekian detik. Melihat tangannya saling bertaut dalam gandengan tangan Bimo, semua juga bisa menebak kalau yang dilakukan Sabrina sekarang ini atas bujukan Bimo. "Ya ... silakan aja kalau mau nenangin diri di lain tempat dulu malam ini, but can you please come back tomorrow? Kita datengnya bareng sebagai tim, kalau sampai pulangnya sendiri-sendiri, I don't think we'll be comfortable with that."
Apa lagi deh ini si bocah! Kalau diterjemahkan, mungkin begitulah maksud tampang-tampang yang kini memandang Sabrina, tapi Sabrina nggak peduli.
Semenyebalkan apapun roommate-nya ini, dia akan ikut merasa bersalah juga kalau Mbak Iis pergi. Lebih baik Mbak Iis menguasai kamar mereka, lalu dia tetap menjadi pengungsi semi permanen di kamar Bimo seperti biasa.
"Oke." Mendadak sebuah jawaban pendek dari Iis membuat seisi kamar merasa lega. "Gue cabut satu atau dua malam. Barang-barang gue biar tetep di sini."
Gusti langsung bersorak senang, mengulurkan tangan untuk high five dengan Sabrina. "Gue aja yang anter ke hotel pake mobil Zane." Lalu cowok itu menoleh ke Zane dengan wajah mencela. "Zane, lo tetep di sini."
~
"Kenapa?"
Beberapa jam kemudian setelah Mbak Iis diantar ke hotel dan penghuni lain sudah tidur, Sabrina yang sedang duduk di dapur menoleh demi mendapatkan sosok Zane berjalan mendekat di tengah keremangan.
Refleks Sabrina menurunkan tangannya yang sedari tadi mengurut pundak belakang. "Enggak kenapa-napa."
"Katanya parnoan, tapi malem-malem gini sendirian di dapur gelap-gelapan." Cowok itu menyalakan lampu.
Sabrina memutar bola mata, sewot. "Masih mau dibahas?"
"Enggak." Zane menahan tawa. "Kenapa orang-orang sini pada darah tinggi, deh?"
"Bukan orang sini yang darah tinggi, tapi mulut lo tuh kayak rujak cingur karet dua."
Membuka kulkas, Zane tidak lagi menaruh minat menanggapi Sabrina.
Cowok itu mengeluarkan satu buah pir besar, lalu mencucinya.
"Laper lagi?" Sabrina nanya.
"Iya."
"Emang makan buah doang kenyang? Kenapa nggak bikin mie?"
"I'll take care of my own stomach. Nggak usah ngatur-ngatur." Cowok itu menyeret barstool, duduk tidak jauh dari tempat Sabrina dan mulai mengupas buahnya.
Sabrina sendiri duduk dengan segelas susu di hadapan, tipikal bocah, membuat sebuah dengusan pelan tanpa sadar keluar dari hidung Zane.
"Pundak kenapa? Cedera?"
"Kagak." Sabrina menyeruput susunya. Setelah beberapa saat, baru sadar ada yang terasa aneh. "Jangan sok baik ke gue, ya. Bikin merinding, tau!"
Zane tidak langsung menyahut karena sedang mengunyah. Tapi mukanya datar-datar saja, fokus pada sisa pir yang belum selesai dikupas dan dipotong. "Weekend ini anak-anak udah ada rencana mau ke mana gitu?"
"Belom."
"Bikinin itin, deh. Ke utara aja. Cari tempat nginep yang enak. Kalau udah nemu, bilang gue."
Wow.
Sabrina ternganga. Speechless, tapi dalam artian positif.
Kelakuan manusia-manusia macem Zane begini memang suka membagongkan. Dan yang jatah duit bulanannya limited macam Sabrina gini jelas nggak akan paham.
"Kenapa?" Ganti Zane yang sewot karena Sabrina nggak menanggapi ucapannya.
Sabrina menggeleng, tanpa sadar tersenyum tipis. "Oke, gue bikinin."
Tak berselang lama, perhatian Zane kembali terarah ke tangan Sabrina yang kembali mengurut pundak.
"Beneran nggak pa-pa? Bukan cedera pas surfing?"
"Bukaaan." Sabrina males sekali menjelaskan. "Biasa ini mah, kalau tidur miring, pundak ama tangan yang ketindihan mesti sakit begini."
"Terus nggak diobatin?"
"Lagi kehabisan koyo."
Jawaban Sabrina membuat Zane agak terheran-heran melihat remaja jompo di sebelahnya itu. "Ya beli, lah. Minimarket lima langkah ini."
Percayalah, lima langkah itu hanya fatamorgana.
Nyatanya kudu jalan keluar gang sejauh beberapa ratus meter. Memang nggak jauh, tapi sepi pol. Banyak pepohonan, dan minim penerangan.
"Nggak ah, malem-malem keluar sendirian takut diculik."
"Ini kode minta ditemenin?"
"Kagak."
"Atau kode minta dibeliin?"
Buset! Sabrina jadi depresi, tapi melihat muka serius Zane, dia males ketawa. "Kagaaak, Bang. Ngapain juga gue berharap sesuatu dari lo? Temen bukan, pacar bukan."
"Bimo nggak tau lo sakit?"
Sekali lagi Sabrina memutar bola mata. "Urusan sereceh sakit lengan karena salah posisi tidur, penting banget bangunin Bimo? Pacaran sih pacaran, tapi nggak gitu juga cara mainnya. Terus jangan sekali-kali bawa-bawa Bimo peka nggak peka. Apa pentingnya menderita berdua, padahal ini masalah pribadi gue? Apalagi besok Bimo kudu berangkat 'ker-ja' sementara gue bebas glundang-glundung di kasur seharian?"
Zane sudah nggak mendengarkan. Males. Panjang amat.
Nggak peduli juga pada penekanan kata 'kerja', walau nyatanya di antara mereka semua yang magangnya pakai otak dan dikasih uang transport lumayan gede ya emang si Bimo doang.
Selesai menghabiskan pirnya dan hendak kembali ke kamar, cowok itu menoleh sekali lagi ke Sabrina yang juga sudah hampir menuntaskan susunya.
"Daripada nggak bisa tidur, kalau mau beli koyo, ayo gue temenin. Buruan, nggak usah kebanyakan mikir, karena gue nggak bakal nawarin dua kali."
#TBC
Tyda usa stalking sosmednya [nanti cakyt], but lemme fangirling dis guy for a whileee.
[Zane Abram in my head]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top