Bab 16. Mengungkap Satu Rahasia

Niat Sri untuk membiarkan hati dan isi pikirannya sejenak beristirahat sirna ketika melihat mobil Septi terparkir di halaman rumah. 

"Assalamu'alaikum," ucap Sri. 

Anak perempuan Septi keluar dari dalam rumah lantas memeluk neneknya. "Nenek dari mana?"

Sri mengusap pipi cucunya. "Kamu sudah dari tadi di sini? Mama mana?"

"Ibu dari mana, sih? Ini sudah Maghrib baru pulang. Dhanan juga belum pulang. Kalau mau keluar lama, kunci pintunya, Bu. Bahaya!" gerutu Septi yang keluar dari dalam rumah lantas menyalami tangan Sri.

"Ngomelnya di dalam saja. Ayo, masuk," ajak Sri membawa masuk Septi dan cucunya.

Sri yang memilih duduk di salah satu sofa ruang tamu membuat Septi ikut duduk. Seketika Septi tahu kalau ada yang terjadi pada Sri. "Ada apa, to, Bu?"

"Ibu habis dari rumah Anggun."

Septi mencondongkan tubuhnya ke arah Sri. "Anggun? Ada apa, to? Halah, Septi tahu, mesti ini soal Subang, kan? Sudah aku ingetin berkali-kali. Sudah aku bilang, Dhanan cari yang lain saja! Ngapain mengharap yang enggak mau berjuang! Ih, sebal aku! Kesel!"

"Sudah, to. Kalau kamu ngomel terus bagaimana ibu bisa cerita ?"

Septi melipat lengan di depan dada lantas menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. "Yo wis, ada apa?"

"Anggun menolak lamaran Dhanan."

Septi kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Sri. "Lah, to jelas! Aku sudah bilang, to? Tebakan aku jitu, Bu! Ngeyel!"

Kesal, Sri menepuk keras paha Septi. "Kamu dengar dulu!"

"Apa? Aku iku enggak habis pikir. Apa yang ada di kepala Anggun? Mereka itu sudah dari dulu pacaran, Bu. Kalau memang enggak mau diajak serius seharusnya Anggun lepasin Dhanan, tapi memang Dhanannya sendiri yang enggak bisa tegas! Ih, kesal aku!"

"Nduk, kamu mau dengar cerita ibu atau enggak?"

Septi kembali menatap ibunya. "Apa?" tanyanya dengan suara lebih pelan.

Bukannya menjelaskan, Sri malah bangkit lantas pergi menuju ruang tengah. Ia duduk, lantas menuangkan air ke gelas lalu meneguknya pelan.

Septi ikut menarik kursi lalu duduk di sebelah Sri. Sadar kalau Sri tampak serius, Septi kembali bertanya, "Bu, ada apa?"

"Ada sesuatu yang belum kamu tahu."

"Apa, Bu?"

"Tadi sewaktu Ibu di rumah Anggun, ibunya Anggun dan Rio datang."

"Loh, kok tumben?"

"Ada sesuatu yang belum kamu tahu."

Dahi Septi mengerut. "Apa, Bu? Dari tadi Ibu ngomongnya begitu terus. Apa, to?"

"Rio itu adik tiri Anggun." Septi diam. Ia tidak bisa mengalihkan pandangan bahkan sekadar berkedip. Rasa terkejutnya membuat Septi mematung. "Ayah Anggun berbeda."

"Maksudnya gimana, Bu?" tanya Septi refleks menarik kursinya lebih dekat dengan Sri.

"Ayah kandung Anggun pergi meninggalkan Ningrum yang baru melahirkan. Bertahun menunggu malah dapat kabar kalau dia sudah menikah lagi. Setelah bercerai, Ningrum lama menjanda sampai akhirnya bertemu ayah Rio."

"Jadi, Rio bukan anak kandung Ibu Ningrum?"

Sri menggeleng. "Rio anak kandung dari Ningrum dan Ali. Ali itu lelaki yang baik. Sangat baik, mau menerima kondisi Ningrum. Menyayangi Anggun layaknya anak sendiri bahkan meminta Ningrum menyembunyikan hal ini."

"Ibu serius? Ibu enggak lagi bercanda, 'kan?"

"Oalah, Sep, masa Ibu bercanda. Ibu serius."

"Jadi, Anggun itu kakak tiri Rio?"

"Iya. Ibu enggak mau ikut campur terlalu dalam. Jadinya tadi ibu pamit pulang. Mereka pasti bisa menyelesaikan ini dengan baik."

Suara benda jatuh membuat Septi dan Sri menoleh. Sontak Septi bangun mendadak hingga kursi yang didudukinya jatuh terjengkang.

"Bu," ucap Dhanan dengan wajah bingung.

Sri diam sejenak balas menatap wajah Dhanan. Niatnya memang ingin mengatakan hal ini pada Dhanan, tetapi Sri masih memikirkan cara yang tepat. Sri memundurkan kursi lalu mendekati Dhanan.

Sri mengusap lembut pipi Dhanan. "Ibu memang berencana bilang sama kamu soal ini, tapi Ibu menunggu Ningrum bicara dahulu sama Anggun."

Tidak menanggapi ucapan Sri, Dhanan bergegas pergi menuju rumah Anggun. Selama ini Anggun bisa bertahan karena rasa sayang teramat dalam untuk ayahnya. Hanya itu. Kenyataan ini pasti memukul Anggun lebih buruk dari yang bisa Dhanan bayangkan.

Tiba di sana, yang ia lihat hanya Ningrum dan Rio yang berdiri di ambang pintu. Punggung Ningrum tampak naik turun. Meski dari jauh, wajah sendu Rio menjelaskan apa yang sedang terjadi sekaligus perasaannya.

Langkah Dhanan mendadak lalu ketika ia hendak menghampiri. Rio tersentak kala lengannya ditepuk pelan Dhanan.

"Mas?"

"Di mana Anggun?"

Rio malah diam, tetapi tak lama matanya melirik ke arah ruang tamu. Dhanan mengerti akan isyarat Rio. Pelan Dhanan menatap Anggun yang tampak tertunduk.

"Mbak, kami pamit dulu."

Ucapan Rio membuat Dhanan dan Ningrum kompak akanmenoleh. Ningrum menggeleng. "Enggak, Mama belum selesai, Mama—"

Rio menarik Ningrum ke dalam dekapannya. Sedari tadi ia coba menahan air mata, bibirnya sudah tampak gemetar. Terlebih telinganya kini penuh dengan isak tangis Ningrum.

Sebentar mata Rio yang memanas bertemu dengan Dhanan. Rio mengangguk pelan sebelum ia membawa Ningrum pergi menuju mobil kemudian mobil itu melaju pergi.

Dhanan kembali menoleh ke arah Anggun yang masih diam. Rasanya Dhanan ingin ke sana, duduk di samping  Anggun, lantas mendekapnya. Namun, alih-alih ingin meringankan beban dalam dada Anggun, Dhanan malah duduk di kursi teras.

Hingga beberapa menit kemudian dengan tergesa malah setengah berlari Anggun keluar dari rumah. Dhanan coba mengejar, tetapi ketika langkah Anggun memelan, Dhanan malah berhenti mengejar.

Anggun diam sejenak kemudian meneruskan langkahnya. Begitu juga dengan Dhanan yang mengekor di belakang Anggun.

Tiba di sebuah pemakaman umum, langkah Anggun sempat terhenti di bawah remang lampu penerangan di gerbang pemakaman. Namun, kegelapan di dalam sana tidak akan menyurutkan langkah Anggun.

Terbukti Anggun masuk ke area pemakaman. Jarak antara lampu penerangan yang berjauhan tidak menjadi masalah untuk Anggun. Dia tahu persis ke mana harus melangkah.

Hingga tiba di sebuah pusara yang tertutup dedaunan kering. Tepat ketika jemari Anggun mengusap batu nisan, tangisnya memecah keheningan di pemakaman.

"Anggun harus bagaimana, Nek? Anggun harus apa? Kenapa begini? Kenapa?" Lembut tepukan di punggungnya membuat Anggun sontak menoleh.

Meski dalam temaram lampu, wajah Dhanan tampak sayu. Tidak ada kata yang dilontarkan Dhanan, tetapi lelaki itu menarik Anggun ke dalam dekapan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top