11. Berdua Saja? Serius?
Sonia melongo waktu ia berhenti di depan rumah Sky. Memang, ia tahu kalau sebagian besar penghuni Kenanga Regency, dan juga mayoritas murid SMA Marion, berasal dari kelas menengah atas. Rumah-rumah yang paling mewah di depan, sedangkan rumah-rumah yang lebih kecil di bagian dalam. Namun, tak pernah ia menyangka bahwa seorang Sky Adrian Dirgantara, yang setiap hari berangkat dan pulang sekolah diantar minibus antar-jemput bersama lima siswa SMA Marion lainnya, ternyata tinggal dalam salah satu rumah super besar di deretan depan!
Dari penampilan luarnya, tampak bahwa rumah berlantai dua itu masih belum terlalu tua. Arsitekturnya minimalis, didominasi warna abu-abu muda hangat dan hitam. Hari itu, khusus untuk keperluan kerja kelompok, Sky minta dijemput oleh sopir keluarganya. Sonia pun turut dibawa. Sepeda bututnya ditaruh di bagasi belakang. Gadis itu duduk tak bergerak, kedinginan karena tidak terbiasa dengan AC mobil.
"Yuk, yuk, masuk aja! Sepatu kamu bisa disimpan di ruang tamu. Nih, raknya di belakang pintu." Sky mengeluarkan kunci dari ranselnya dan membuka pintu depan. "Berdua aja nggak papa, kan? Sayang Caitlyn ada urusan mendadak, padahal aku sudah minta Mbak Asri buat bikinin pisang goreng sama brownies kukus buat kita bertiga."
"Permisi," ucap Sonia canggung. Rumah itu sejuk, sangat kontras dengan panasnya Surabaya. Ubin granit putih bercorak kelabu terasa seperti es di bawah kakinya. Seluruh perabotan rumah Sky berdesain senada. Kentara sekali bahwa semuanya sengaja dipesan khusus guna menyesuaikan bentuk dan ukurannya dengan arsitektur rumah. Bau laut yang segar samar-samar tercium dari aromaterapi di atas meja ruang tamu. Tidak menyengat seperti pewangi di angkot yang kadang Sonia naiki untuk ke pasar, malah menenangkan dan membuat hati jadi semangat.
Bahkan lebih besar dari rumah Caitlyn dan Anne, padahal kukira rumah mereka udah kayak istana, batin Sonia.
Sky memimpin gadis itu menuju sebuah perpustakaan mungil. Seketika, Sonia berdecak kagum. Buku-buku hardcover berbahasa Inggris memenuhi rak-rak buku. Ada buku-buku keuangan milik ayah Sky, arsitektur milik ibu Sky, serta buku self improvement dan fotografi milik Sky sendiri. Di tengah ruangan, terdapat sebuah meja persegi panjang kelabu gelap bergaya minimalis. Di situlah Sky meletakkan laptop, lalu mempersiapkan kursi untuk Sonia.
"Mau minum apa, Sonia? Teh manis? Kopi? Sirup? Nanti Mbak Asri bisa buatkan. Aku nyalakan AC, ya. Sorry, tempatnya agak berantakan." Sky berlari-lari kecil, menyalakan AC di sudut ruangan, lalu membereskan buku-buku dan alat tulis yang masih berserakan di atas meja.
"Ah, nggak usah repot-repot, Sky! Aku bawa botol minum, kok." Sonia mengacungkan botol plastik biru muda yang masih separuh penuh. Gadis itu meletakkan buku tulis dan alat tulisnya di atas meja. Sementara itu, Sky sedang berbicara dengan pembantunya di pintu. Selang beberapa menit kemudian, ia kembali dan duduk di samping Sonia.
Deg! Sonia melotot panik. Mengapa cowok itu harus duduk sedekat ini? Mengapa mereka bisa berakhir berdua saja di ruangan ini? Dasar Caitlyn, bisa-bisanya mendadak berhalangan hadir di momen seperti ini! Gadis itu memandangi garis tegas tulang rahang Sky, dan sesaat terlintas dalam pikirannya untuk mencium pipi cowok itu. Untung, ia masih punya cukup kontrol diri untuk mengendalikan sikap. Argh, ia pasti sudah gila! Sudah gila!
"Sonia? Kok bengong? Aku tanya, menurutmu pembagian topik seperti ini sudah cocok, belum?" Sky mengibas-ngibaskan tangan di depan mata Sonia.
"Eh? Apa?" Sonia terperanjat. "Oh, topik presentasi, ya? Sini, aku baca dulu!"
Oke, jadi ada pengantar, latar belakang, faktor-faktor utama, faktor-faktor pendukung, wah, tulisan Sky memang bagus, cocok sama orangnya— Eh, fokus, woi! Fokus! Sonia harus berjuang keras memusatkan perhatian pada isi tulisan Sky. Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti berjam-jam lamanya, gadis itu mengangguk setuju pada partner kerja kelompoknya.
"Nah, kemarin aku sudah bikin beberapa corat-coret soal isi latar belakang. Menurutku kita bisa mulai dengan ngejelasin kondisi Portugis dan Belanda pada era penjelajahan, dan mengapa mereka sama-sama menginginkan kepulauan Nusantara meskipun ada daerah-daerah lain penghasil rempah-rempah di dunia. Mungkin kita bisa jelasin juga sedikit tentang keadaan masyarakat Nusantara pra-penjajahan, terutama hal-hal yang mendukung tumbuhnya kolonialisme, tapi menurutmu bakal kepanjangan nggak, ya? Kita cuma punya waktu sepuluh menit buat presentasi, kan?"
"Ng .... Iya, Sky. Karena waktunya cuma sebentar, mendingan kita fokus ke pertanyaan Pak Yonatan. Mungkin bagian itu bisa dibuat poin-poin, supaya bisa mendukung argumen utama kita." Sonia mengangguk. Gadis itu menarik napas dalam-dalam selagi Sky mengetik. Ia masih kesulitan berfokus, tetapi ia sudah bisa mengatur sikap sekarang. Tidak seperti dirinya, Sky sangat fokus pada tugas ini. Sonia jadi berpikir, sudah berapa banyak cewek yang kerja kelompok berdua bersama Sky selama ini? Apakah ada dari mereka yang berakhir lebih dari sekadar partner tugas kelompok?
Sialan, ini bukan waktunya berpikir yang aneh-aneh.
"Son, kamu kenapa? Capek, ya? Istirahat dulu sebentar, yuk. Biar aku minta Mbak Asri bawain cemilan dan minum sekarang," ujar Sky. Sekali lagi Sonia tersadar dari lamunan. Ia mengangguk, canggung. Sky melangkah keluar. Samar-samar, Sonia mendengar suara mobil memasuki pelataran rumah. Tunggu, bukan hanya satu, tetapi dua! Tak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki. Pasti orang tua Sky, batin Sonia. Mungkin itu sebabnya Sky begitu lama.
Mendadak, terdengar suara nyaring barang pecah. Seketika, Sonia membeku di kursinya. Belum hilang kekagetan Sonia, ia mendengar suara pria dan wanita saling membentak. Tergopoh-gopoh Sky datang ke dalam raut wajahnya penuh rasa panik dan bersalah. Waktu Sonia membuka mulut untuk berbicara, Sky buru-buru berdesis dan menempelkan telunjuk di bibir.
Astaga, sebenarnya ada apa ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top