WANT YOU BACK
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
Satu jam berlalu sudah. Jam berdetak detak menina bobokan para karyawan bak simfoni indah siang ini. Panas menggelora di luar sana, deruman kendaraan bagaikan konser musik rock dengan teriakan lautan orang-orang, juga krasak krusuk pelan pembicaraan pimpinan dan karyawan.
Karla duduk di kursi sambil mengusap perut buncitnya, menenangkan anaknya yang terus bergerak gerak seolah sedang melakukan tendangan pinalti yang langsung mencetak gol. Wanita berusia dua puluh enam tahun itu meminum air mineral dan vitamin kehamilan agar kondisi tubuhnya tetap bugar dan tidak menyulitkan dirinya dan buah hatinya. Kemudian dia mengambil ponsel yang tergeletak di meja kerja, memandangi layar ponsel sambil memperhatikan adakah nontifikasi, namun hasilnya nihil. Tidak ada pesan atau telpon dari orang itu.
Sejak kejadian penolakan untuk membantu Karla dalam masa kehamilan, orang itu menghilang. Entah karena sakit hati atau menyerah akan sikap keras kepala Karla, yang pasti wanita hamil itu sedang menunggu kabar darinya. Karla memang terlalu keras pada dirinya sendiri. Kehamilan tak terencana ini karena kecerobohannya mengizinkan mantan kekasihnya yang brengsek mencicipi Karla tanpa mau bertanggung jawab atas kelakuan biadabnya.
Karla lagi-lagi mendengkus, tangannya mengelus perut buncit berisi bayi sambil memikirkan ulang ucapan kasarnya pada orang itu. Karla benar-benar keterlaluan. Mulutnya enteng sekali mengatakan bila dia bisa berdiri sendiri tanpa bantuan siapapun dan semua laki-laki sama, hanya mau enaknya saja. Tapi, setelah dipikir-pikir, orang itu berbeda. Dia tidak sama dengan mantan kekasihnya. Dia penyayang, perhatian yang dicurahkan untuk Karla sangat besar. Dia tidak segan-segan membuatkan Karla susu ibu hamil, membantu Karla membersihkan rumah, dan memastikan Karla meminum vitamin agar anak dalam kandungannya berkembang baik. Tapi lihatlah, apa yang Karla perbuat, dia malah membentak, memaki, dan menyalahkan orang itu karena kebodohannya mau Karla manfaatkan. Hah! Karla menyesal telah mengatakan hal tersebut.
"Kar, besok Pak Abdul minta rekapan penjualan tahun dua ribu lima belas. Katanya ada yang aneh di laporan keuangannya." Suara teman sekantor Karla menyadarkan dia dalam lamunan penuh penyesalan.
Karla mengangguk. "Oke, Rit. Makasih ya." katanya.
"Eh, lo udah periksa ke dokter lagi belum? Anak lo tambah gede lho. Udah tahu jenis kelaminnya apa?" tanya Rita--teman yang memberitahu Karla tadi--sambil melirik perut buncir Karla.
"Gue udah periksa. Soal jenis kelamin ... sebenarnya ingin tahu, tapi biar jadi kejutan aja buat gue." jawabnya lagi.
Rita menaik turunkan kepala. "Oke kalau begitu." ujarnya. "Eh, lo lagi tunggu telpon dari siapa? Dari tadi gue perhatikan, lo bolak balik lihat hape. Mantan pacar lo yang brengsek itu mengancam lo?"
Karla terkekeh pelan. "Enggak kok, Rit. Gue enggak tunggu telpon dari bajingan itu." Dia melirik sekilas ponselnya yang masih menampilkan layar gelap. "Gue menunggu telpon dari seseorang." ucapnya lirih seraya memperlihatkan wajah muram.
Bukannya ikut prihatin, Rita malah tertawa. "Wah-wah. Jangan bilang kalau lo jatuh cinta? Seriusan, Kar? Berita heboh nih." Dia berteriak girang sehingga mengundang beberapa lirikan tajam dari karyawan lagi yang terganggu. "Siapa orangnya?"
Karla nemutar kedua bola mata. Bibirnya mencebik. "Please deh, Rit. Enggak usah norak gitu. Gue enggak jatuh cinta sama siapa-siapa. Terlalu sakit untuk kembali jatug cinta atas kebegoan gue yang percaya sama laki-laki brengsek kayak mantan gue."
Kini wajah Rita menampakkan wajah sok-sok terluka. "Lo emang begitu ya ... terlalu takut buat jatuh cinta. Tapi, lo harus tahu, segera lah menikah. Bukan untuk kebaikan lo doang, tapi juga anak lo. Jangan sampai saat anak lo udah besar, dia menayakan kenapa dia berbeda? Kenapa dia enggak punya ayah." Tangan Rita mengelus bahu Karla. "Pikirkan lagi, Karla." Senyum temannya merekah indah, menyalurkan sebogem semangat untuk Karla.
Kemudian, Karla terdiam sejenak. Mencerna perkataan Rita. Dia menatap lama ponselnya di meja, memikirkan ribuan gagasan yang bertarung di otak. Saling tinju dan sikut agar menjadi pemenang. Akhirnya, Karla menyerah. Dia mengambil ponsel, mengetik beberapa kata di sana. Semoga dengan pesan singkatnya ini orang itu paham dan mau memaafkan Karla.
¤
Karla duduk lemas di sofa setelah melipat pakaian, memasak, dan membersihkan rumah. Seharusnya dia tidak boleh kelelahan dikehamilannya yang tua, hanya saja, dia tidak betah melihat apartemen yang ditinggalinya berantakan mirip kapal pecah. Wanita itu mengurut betisnya, menyapukan minyak gosok untuk meredakan ketegangan di urat otot kaki. Dia mendesah sakit ketika sampai dititik sakit, tangannya terus mengurut sambil menekan nekan pelan bagian itu.
Lima belas menit dia beristirahat di sofa. Acara urut mengurut telah selesai. Dia menempelkan kepala pada lengan sofa untuk tidur sebentar. Tapi, ketenangannya terganggu oleh suara bel pintu yang berteriak meminta perhatian. Mau tak mau dia beranjak dari sofa, berjalan tertatih sambil mengusap punggung yang pegal. Dia membuka pintu, ada seorang laki-laki berwajah letih di hadapannya. Namun senyum indah terukir apik di bibir laki-laki itu.
"Wajah kamu pucat banget." ujar si lelaki sambil melangkah masuk ke dalam apartemen. Di tangan kanannya membawa sekotak roti bolu gulung rasa blueberry kesukaan Karla. "Aku bawain bolu gulung buat kamu, mau makan sekarang?" tanyanya.
Karla dibuat melongo oleh lelaki itu. Rasa rindu menyeruak keluar, menyebarkan rasa hangat yang lama menimbun selama dua minggu. Laki-laki itu adalah orang yang dia tunggu pesan atau telpon di ponselnya. Laki-laki itu adalah orang yang dia bentak, dia maki, dan dia usir dari apartemennya dua minggu lalu. Dan dia adalah laki-laki yang senang hati mengabdikan diri mengurusi Karla dan calon anaknya. Air mata menggenang di pelupuk. Dia bahagia bisa melihat orang itu. Karla menangis terisak, menumpahkan segala rasa yang bercampur baur.
"Hei, kok nangis, kedatanganku menganggu kamu ya?" Laki-laki itu berjalan kearah Karla, mengusap pelan puncak kapala Karla. "Atau kamu tidak mau aku di sini?" ucapnya lembut.
Karla menggelengkan kepala. Dia tetap terisak.
Karena tidak tahu alasan Karla menangis. Si laki-laki menarik tubuh Karla dalam pelukannya, memeluk wanita itu agar merasa aman. Dia membiarkan Karla menangis sepuasanya.
Setelah Karla cukup tenang, dia mendorong pelan tubuh ibu hamil itu seraya mengusap air mata yang masih mengalir di pipi Karla.
"Tenang, Karla." Kedua tangan laki-laki itu mengangkat wajah Karla agar menatapnya. "Apa ada orang yang menyakitimu?"
Karla lagi-lagi menggelengkan kepala. "Enggak ada, Galang. Aku cuma... " kalimatnya terputus saat sorot mata Galang--laki-laki yang memeluknya--mamandang jenaka. "Ish, aku tuh lagi cerita sama kamu, malah ketawa enggak jelas, nyebelin!" Karla melepaskan diri dari pelukan Galang, beralih ke kotak roti yang dibawa oleh laki-laki itu.
Galang tertawa. Disusulnya Karla sambil membuatkan susu ibu hamil. Kedua netra Karla menangkap setiap gerak Galang, mengingatkannya akan kebiasaan Galang di apartemennya. Ini yang dia mau, ini yang dia inginkan. Galang ada di sini menemani dirinya. Cuma, gengsinya itu lhoo, tinggi banget.
Karla melihat segelas susu di tangan kanan Galang, kemudian memberikan susu itu padanya. Dia meminum susu sambil melirik Galang yang memperhatikannya, tak sengaja seulas senyum tipis terbentuk ketika Karla berhasil menghabiskan segelas susu buatan Galang. Entah mengapa ada rasa berbunga bunga tiap kali Galang tersenyum tulus seperti itu padanya.
"Sudah?"
Karla mengulurkan gelas kosong pada Galang. "Makasih."
Galang mengangguk anggukkan kepala.
Hening tercipta, menyelingkupi dua insan di ruangan tersebut. Namun, tersingkirkan oleh suara bass Galang.
"Aku tidak menyangka kamu mengirim pesan padaku," laki-laki itu duduk di samping Karla. Menatapnya dengan sorot memuja. "Maaf Karla, seharusnya aku tidak memaksa kamu menerima aku. Yah... aku tahu keresahan kamu, kalau aku juga wanita, mungkin aku akan berpikiran sama. Wanita mana yang mau menjalin hubungan dengan anak ingusan sepertiku, masih kuliah semester enam, belum memiliki pekerjaan, masa depan masih abu-abu. Aku paham itu."
Karla memperhatikan Galang, meneliti raut muka lelaki yang dirindukannya selama dua minggu. Dia menundukkan kepala, memainkan kesepuluh jarinya. Ya, dia setuju dengan yang dikatakan Galang. Wanita seusia Karla seharusnya memilih laki-laki mapan, berkerja tetap, memiliki masa depan baik. Tapi, hati tidak bisa membohongi, Karla hanya mau Galang. Tidak yang lain.
"Maaf, Galang. Aku tidak sepatutnya membentak kamu." ucapnya lirih. Kepala masih tertunduk ke bawah.
Keheningan kembali merayap keduanya. Detak jam dinding terdengar samar. Karla tahu, kedatangan Galang hari ini bisa saja sebagai salam perpisahan. Laki-laki mana sih yang betah dengan wanita arogan, keras kepala, dingin, dan berkata kasar seperti Karla? Mereka akan mundur perlahan. Tapi, Galang tidak. Galang berbeda. Galang sanggup mengatasi semua sikap buruk Karla. Dan itu sudah cukup baginya menerima Galang. Namun, akan kah Galang mau menerimanya lagi setelah kejadian dua minggu lalu?
Karla hampir saja menumpahkan tangisannya. Ini efek ibu hamil, batinnya berkata. Dia masih saja mengingkari perasaannya.
Terasa belaian halus di puncak kepala Karla menyebabkan wanita itu menatap tangan besar Galang. Kemudian beralih pada kedua mata teduh lelaki di sampingnya. Seulas senyum terbentuk di bibir Galang ketika mereka bersi tatap.
"Maunya sih marah, cuma, aku enggak tega lihat kamu nangis. Aku enggak jago jadi heartbreaker kayak kamu." Elusan tangan Galang terhenti, beralih pada pundak mungil Karla. "Katakan aku orang paling bodoh di dunia. Kamu jelas-jelas menolak aku, tapi aku tetap keras kepala mendekati kamu. Itu kan yang dinamakan cinta buta?" Galang terkekeh pelan. "Okay, ini cheesy banget, tapi aku mau bilang, aku cinta sama kamu, benar-benar cinta sama kamu. Mau kamu hamil diluar menikah atau menolakku mentah-mentah, aku akan tetap memperjuangkan cinta aku." Si anak kuliah itu tetap tersenyum lembut.
Mau tak mau Karla menitihkan air mata, menggigit bibir bawahnya menahan semua rasa yang bergejolak di dalam dirinya. Perlahan, Galang menarik bahu mungil Karla dan merengkuhnya dalam pelukan hangat.
"Maaf dan terima kasih. Kamu masih mau kembali setelah apa yang aku perbuat. Terima kasih telah kembali dan tetap mencintaiku walau aku sering membentak mu. Terima kasih atas segalanya, Galang. I love you."
Inilah yang dia impikan. Sesosok laki-laki yang mau menerima dia apa adanya. Mampu memaafkan segala bentuk perbuatan buruknya dan lebih bersikap dewasa dari dirinya. Dalam untaian doa Karla terkabulkan begitu indah. Datangnya Galang dalan hidupnya membuat semangat tersendiri dalam kisah Karla. Walau terjal menanti, dia yakin bisa mangatasinya. Karena ada Galang yang menantinya, menggandengnya, dan membantunya untuk tetap berdiri.
¤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top