Waiting for You
"Susul aku, di musim semi ketiga."
Ini sudah tiga tahun sejak Chang Min mendapat pesan itu dari sosok yang ia cintai. Dan kalau boleh jujur, Chang Min sudah menunggu saat-saat ini sejak lama. Kaki Chang Min mantap melangkah turun dari tangga pesawat, tangannya menjinjing sebuah tas berukuran sedang. Sengaja, dia tidak ke sini lama-lama.
Angin musim semi berembus lembut, hangat dan wangi. Langit biru pagi hari yang ditawarkan sungguh menenangkan jiwa. Chang Min ingin sekali mengeluarkan ponsel, mengabari orang itu bahwa ia sudah sampai. Namun, dia tidak bisa. Cara mainnya bukan begitu. Dan Chang Min ingin sekali mengomel, karena merasa sudah dipermainkan.
Sayangnya, sekali lagi, Chang Min tidak bisa. Terlalu cinta? Omong kosong. Jangan bilang begitu. Menggelikan.
Ini bukan pertama kalinya Chang Min ke luar negeri, dia sudah hafal apa yang harus dilakukan kalau sudah sampai. Keluar bandara, beli makanan dan langsung memakannya, habis itu berjalan ke halte bus, berangkat ke tempat yang sudah dijanjikan.
Musim semi pertama tanpa dia. Jujur saja rasanya berat sekali bagi Chang Min. Chang Min bukan tipe orang yang akan begitu tergila-gila pada orang yang dia cintai, bersikap super protektif dan posesif seperti anak kecil, ataupun menelepon dan mengirim pesan setiap lima menit untuk memastikan orang itu baik-baik saja.
Tidak. Sama sekali tidak.
Buktinya, selama sembilan bulan kemarin, Chang Min bisa tahan dan menjalani hidup seperti biasa. Namun, hanya di musim semi, rasanya berbeda.
Musim semi adalah musim yang spesial. Ketika salju-salju mulai mencair, udara makin menghangat, juga bunga-bunga yang mulai bermekaran. Semua itu sangat spesial.
Memang terdengar menggelikan, dan begitu menghambur-hamburkan uang. Namun, hanya di musim semi itu Chang Min rela membeli amplop berwarna pastel, kertas isi binder yang manis dan tebal, dan prangko tiap minggu. Hanya di musim semi tahun itu Chang Min menghabiskan musim semi dengan menulis di atas kertas, pergi ke kantor pos, dan menunggu surat balasan dengan hati berdebar seperti anak muda yang kasmaran.
Hanya karena sepucuk surat, hati Chang Min bisa menghangat. Tertawa-tawa kecil dan tersenyum sepanjang malam. Berlari tunggang-langgang ke rumah untung mengecek kotak surat, lalu mengejar pena terdekat untuk segera menulis balasan.
Bukan hanya itu, mereka juga saling berkirim foto polaroid, tetapi bukan wajah masing-masing. Hanya foto-foto tempat yang mereka kunjungi selama musim semi. Alhasil, tahun itu, dinding kamar Chang Min jadi penuh dengan foto-foto, sampai sekarang.
Jalanan Amsterdam masih sama, tetapi karena sekarang musim semi, ada lebih banyak turis yang lalu-lalang. Bus yang Chang Min tempati juga penuh. Untung saja Chang Min dapat tempat duduk. Ah, bukan berarti akan ada yang berdiri kalau tidak dapat tempat duduk. Harus turun. Karena, tujuan bus ini hanya satu.
Chang Min mengusap rambut cokelat gelapnya ke belakang, membiarkan matanya bisa mendapat akses lebih untuk melihat semuanya. Ada kincir angin besar berjejer-jejer di sepanjang jalan, berputar pelan mengikuti arah angin. Tidak jemu-jemu mata Chang Min menontonnya.
Perjalanan ini akan makan waktu kurang lebih satu jam. Mungkin ada baiknya kalau Chang Min beristirahat sebentar? Meskipun sudah banyak tidur tadi di dalam pesawat, yang namanya efek jet lag akibat perbedaan zona waktu antara Korea dan Belanda, akan tetap ada tak peduli seberapa sering ia keluar negeri. Bayangkan saja, Chang Min berangkat sekitar pukul lima pagi dari Korea, dan saat sampai, di sini justru baru jam delapan pagi. Padahal, perjalanan dengan pesawat memakan waktu kurang lebih sepuluh jam.
Musim semi kedua, yang artinya satu tahun yang lalu. Chang Min tidak lagi membeli suplai untuk surat-menyurat. Tahun ini, mereka akan melakukan sesuatu yang berbeda. Oh iya, mungkin kalian penasaran, apa sebabnya musim semi menjadi musim yang paling spesial untuk Changmin dan dia.
Bukan. Bukan karena perayaan satu tahun menjadi sepasang kekasih, bukan pula musim saat mereka bertemu pertama kali. Musim semi, sebenarnya adalah masa-masa super sulit di tahun pertama mereka berkencan.
Hampir semua orang menghujat, orang tua yang tidak setuju, masalah pekerjaan. Tidak ada sama sekali yang mengulurkan tangan, semuanya memunggungi mereka. Bahkan, Chang Min hampir saja menyerah, ingin menyudahi semuanya, dan kembali pada masa-masa damai sebelum hal ini terjadi.
Namun, dia mencegah Chang Min. Dia menggenggam erat tangan Chang Min. Berjanji tidak akan melepaskan pelukannya sama sekali.
"Aku tahu ini berat. Oleh karena itu, mari kita hadapi bersama."
Seperti pukulan telak. Di saat bunga-bunga mekar dengan cantik, Chang Min malah menangis keras seperti bayi. Namun, air mata itu segera dihapus dengan lembut. Pelukan hangat yang sangat erat, berhasil menghentikan air mata Chang Min. Pelukan saling menguatkan, karena keduanya rapuh tanpa satu sama lain.
Semua itu tidak akan pernah Chang Min lupakan.
Sekarang keadaan sudah jauh lebih baik. Bahkan Chang Min nyaris tidak menyangka semua masa sulit itu benar-benar berakhir. Musim semi tetap menjadi musim favorit mereka. Karena di musim ini, mereka menjadi makin kuat. Saling mendukung. Saling melindungi. Saling mencintai.
Di musim semi kedua tanpa keberadaan dia di samping Changmin, mereka memanfaatkan teknologi yang sudah ada. Menelepon lewat ponsel. Menghabiskan beribu--bukan, mungkin berpuluh-puluh hingga ratusan ribu won hanya untuk membeli pulsa demi panggilan internasional.
Tidak peduli pagi, siang, atau malam. Mengabaikan perbedaan zona waktu, hari-hari Chang Min habis dengan saling mendengarkan suara satu sama lain. Namun, aturannya tetap sama. Mereka sama sekali tidak berkirim foto, meskipun teknologi sudah mengizinkan.
Musim semi kedua. Meskipun tetap terasa sepi, hati Chang Min sama sekali tidak kesepian.
Bus berhenti. Chang Min baru terbangun sepuluh menit yang lalu.
Memperbaiki posisi rambut, Chang Min sadar dia sedikit berkeringat. Setelah mengantre dengan penumpang lain untuk turun, akhirnya Chang Min menapakkan kaki juga di tanah.
Tempat ini ramai sekali. Keukenhof Garden. Destinasi wajib yang dikunjungi ketika berkunjung ke Belanda di musim semi. Karena ini adalah bulan April, katanya bunga tulip sedang dalam kondisi mekar sempurna.
Setelah membeli karcis, Chang Min masuk ke dalam taman. Suara burung-burung berkicau yang sedari tadi sudah ada, makin terdengar keras saat dia memasuki area taman. Ada banyak orang, keluarga, kekasih. Semuanya tersenyum, memuja pemandangan indah.
Sebuah kincir angin besar, berderak-derak seiring dengan kincirnya berputar pelan. Ada banyak orang-orang yang ada di atas, berfoto, atau sekadar melihat pemandangan taman dari tempat tinggi. Meskipun orang-orang berisik, anehnya suara kicauan burung masih menang.
Chang Min menghirup napas dalam-dalam, udara yang hangat, wangi bunga tulip yang lembut, musik alami dari burung-burung yang bahagia. Di sinilah tempatnya. Tempat mereka berjanji untuk bertemu lagi setelah tiga tahun.
Musim semi ketiga. Chang Min tidak bisa lagi menahan rindu. Namun, dia tetap saja membuat permainan yang membikin Chang Min gemas.
"Tunggu aku di Keukenhof Garden, tepat di depan bunga tulip putih bergaris merah."
Petunjuknya cuma itu. Bagaimana Chang Min tidak kesal? Sepanjang mata memandang, dia hanya melihat bunga dengan satu warna. Kuning, biru, ungu, putih saja, dan merah saja.
Chang Min mengembuskan napas, mengeratkan pegangannya pada tas yang dijinjing. Kaki panjang berbalut celana hitam, melangkah menyusuri jalan setapak kecil dengan bunga tulip di kanan-kiri. Sesekali Chang Min berhenti sambil membiarkan serombongan orang lewat, atau menunduk saat menyadari ada yang sedang berfoto. Bahkan, berlapang dada menjadi fotografer dadakan untuk sebuah keluarga besar.
Namun, berkat itu, Chang Min jadi bisa menikmati semua bunga-bunga tulip yang ada.
Matahari makin meninggi, tetapi suara burung sama sekali tidak menyurut. Akhirnya, setelah mengelilingi taman selama setengah jam, mata Chang Min menangkap bunga yang dimaksud. Bunga tulip putih bergaris merah. Sangat cantik.
Chang Min melihat sekitar. Entah karena ini adalah bagian yang cukup dalam dari taman atau apa, lokasi ini jauh lebih sepi dari sebelumnya. Hanya ada satu dua orang yang di sini, berfoto dan bercengkrama.
Apa aku harus menunggu lagi?
Dia tidak mengatakan akan datang jam berapa. Hanya meminta Chang Min untuk menunggu di sini. Sampai kapan? Chang Min bukan tipe orang yang tergila-gila pada kekasihnya. Namun, jika sudah tiga tahun tidak melihat wajah sama sekali, siapa yang tidak akan rindu?
Chang Min ingin memeluknya, merengkuh tubuh yang seolah menjadi bagian dari jiwa raga Chang Min selama lima tahun terakhir ini. Chang Min ingin mendengar suaranya secara langsung, menikmati alunan bunyi yang tak akan bosan ia dengar.
"Shim Chang Min."
Ya, seperti itu. Eh?
Membatu untuk satu detik, Chang Min akhirnya membalikkan badan secara penuh. Pupil Chang Min membesar saat lensa matanya menangkap sosok yang familiar, meskipun dengan perbedaan sedikit di sana-sini. Namun, Chang Min tidak akan mungkin melupakan rupa sosok itu.
"Terima kasih, karena sudah menunggu."
Hangat. Entah siapa yang melompat duluan, tetapi kini keduanya sudah saling berpelukan erat. Mendadak, waktu terasa berjalan lambat.
Oh, betapa Chang Min merindukan sosok ini. Betapa Chang Min merindukan kehangatan ini. Betapa Chang Min merindukan momen seperti ini.
"Jangan pernah tinggalkan aku lagi."
"Tidak akan."
"Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu, Shim Chang Min. Aku pulang."
Betapa lelahnya Chang Min menunggu, tetapi semuanya terbayarkan, bukan?
~~~~~~~~~~
1443 kata
Terima kasih!
Dalam rangka mengikuti Kontes Fanfic Indonesia dengan tema A Spring Trip to Love.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top