VILLAIN 5 (a)
Dunia ini benar-benar menyiksa!
Bahkan, mereka tak membiarkannya dapat menghirup udara segar dengan normal. Seluruh peralatan yang menempel di tubuhnya memang membantu, tetapi itu menimbulkan perasaan buruk tak berkesudahan.
Trauma sehabis peperangan yang meluluhlantakkan kota pun masih belum hilang meski waktu telah berlalu dengan cepat.
Ao Hiraga meninju dinding putih yang dingin dan terlihat memuakkan itu. Sepasang matanya menyorot tajam, napasnya menderu dan sedikit berat.
"Mati! Mati! Mati!" makinya frustrasi.
Lalu, suara pintu dibuka dengan langkah-langkah cepat terdengar. Tubuh Ao Hiraga ditarik paksa dan dibaringkan—secara paksa juga—di ranjang pasien.
"Tenang, Pak! Kondisimu akan memburuk jika kau terus menyakiti diri sendiri," kata salah satu petugas berseragam biru muda yang berbadan gempal dan berkumis tebal.
"Kalian mengurungku! Aku menginginkan kebebasan!" Ao Hiraga berteriak tanpa ragu sedikit pun. Membuat ruangan itu makin ramai meski hanya berisi satu pasien.
Ruangan yang ditempati tak cukup luas, dengan peralatan tak terlalu banyak. Keseluruhan benda nyaris putih, terutama bagian dindingnya. Hanya ada satu jendela dan pentilasi. Jendela itu pun hanya menampakkan pemandangan belakang gedung yang berupa tanah kosong. Namun, sesekali Ao Hiraga bisa melihat arak-arakan mobil tentara atau sepasukan tentara berseragam lengkap melalui jalanan besar di sana.
"Kuharap obat penenang ini dapat membantu meringankan bebanmu, Pak."
Seperti hari-hari sebelumnya, Ao Hiraga akan disuntik bius usai mengamuk di dalam ruangan yang sudah seperti penjara itu. Lantas, tim petugas akan meninggalkannya dan mengunci pintu.
Ao Hiraga perlahan-lahan kehilangan kesadaran di tengah kemarahan dan persiapan rencananya untuk melarikan diri dari neraka tersebut.
***
"Darurat! Pasien nomor 345 melarikan diri! Cepat bergerak dan tangkap dia kembali!"
Kalimat itu terus berulang diteriakkan pengeras suara di seluruh ruangan gedung penyintas radiasi milik Jepang yang digunakan untuk merawat seluruh pasien korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Dengung alarm saling berlomba bersuara paling keras. Para petugas bergerak segesit mungkin ke sana kemari. Sementara itu, target yang mereka incar sudah berhasil meninggalkan gedung dengan keadaan badan babak belur di beberapa titik.
"Sial!" umpat Ao Hiraga saat kaki palsunya sedikit reyot. Mungkin ada baut yang lepas.
Itu menyulitkan. Terlebih, fakta bahwa dia manusia-monster setengah robot yang tengah dikejar-kejar para petugas, benar-benar menjadi pemandangan umum yang mengundang tawa.
Yah, tertawa saja untuk menikmati kehidupan yang bak di neraka ini.
Ao Hiraga memasuki sebuah bus tua yang sopirnya seorang pria kurus kering. Dia agak terkaget, terlebih karena melihat penampakkan manusia-monster setengah robot yang sering diberitakan itu.
"Hey, Nak!"
"Cepat jalan! Atau aku akan menembakmu sekarang juga!" ancam Ao Hiraga sungguh-sungguh.
Jelas saja itu sebuah kebohongan. Namun, si sopir ternyata memercayai sehingga mulai mengemudikan bus dengan sedikit gugup.
Kendaraan itu melaju meninggalkan kota. Tadinya, bus tersebut rutin mengantar keluarga pasien yang dirawat di gedung penyintas radiasi. Sang sopir baru saja menurunkan penumpang saat ada penumpang asing yang masuk tanpa sopan santun.
"Tujuanmu ke mana?" tanyanya gugup.
"Ke mana saja, sejauh mungkin!" jawab Ao Hiraga yang sudah duduk mengatur napas di kursi paling belakang.
Tak ada obrolan, selain kebisingan kota dari kendaraan-kendaraan yang mengisi suasana.
Ao Hiraga masih mengatur napas saat sepasang telinganya mendengar sebuah kalimat yang cukup menjengkelkan.
"Bus akan kehabisan bensin sepertinya."
Ao Hiraga berdecak. Lantas, dia bangkit berdiri dan meminta turun.
Saat turun, beruntung dia sudah lebih dari kata aman. Bus tua merah itu mengantarnya cukup jauh dari lokasi awal. Dia kemudian berjalan dengan tertatih-tatih. Kaki robotnya sangat mengganggu. Paru-paru buatan yang ditanam di dalam tubuhnya juga sangat menyiksanya, tak membiarkannya mengambil napas dengan normal.
Dalam sekejap, pria itu sudah bengek saja.
Langit telah berganti gelap, tetapi tak ada kerlip bintang yang menghiasi. Ao Hiraga masih berjalan dalam pelariannya, dengan keadaan yang makin parah. Tubuhnya sudah basah kuyup oleh keringat, mukanya merah padam. Bahkan, dia merasa sudah tak sanggup lagi.
Lalu, sebuah ide gila terlintas dalam kepalanya. Pria itu mulai berhenti dan menyandarkan tubuh ke tembok saat menemukan gang sepi. Dia mulai mencopoti benda-benda asing di dalam tubuhnya.
"Sial, panas!" keluhnya usai mencopot peralatan yang menempeli tangan kirinya. Ada beberapa kabel yang ketika dicabut, mengeluarkan darah. Katanya, benda itu berfungsi untuk menopang tangan kirinya agar dapat berfungsi normal.
Namun, Ao Hiraga tak berhenti sampai sana. Dia terus mencopoti benda-benda yang dipasangkan dengan susah payah oleh tim dokter kebanggan pemerintah, tentu saja sambil mengeluh bahkan menjerit-jerit kesakitan.
"U ... da ... ra ...."
Sekarang pria itu benar-benar kesulitan bernapas. Dia megap-megap. Tubuhnya merosot tanpa tenaga dan dipenuhi rasa ngilu.
"Pa ... nas ...."
Tubuhnya seperti dilemparkan ke dalam api unggun dan dipanggang hidup-hidup.
Tidak, Ao Hiraga sudah tidak tahan lagi. Dia harus mencari cara untuk melepaskan penderitaan ini.
Pria itu kemudian kembali memaksakan diri. Dia bangkit, setengah merayap meninggalkan tembok yang sudah dikotori oleh darahnya.
Namun, usahanya tak berjalan mulus. Ao Hiraga tersungkur beberapa kali sampai mukanya berdarah-darah. Dia tak menyerah, kembali berdiri dan mencoba melangkah sambil terus kepanasan.
"Argh!"
Sekarang pria itu jatuh terpeleset masuk ke sungai di tengah malam yang sunyi. Apesnya, kedua kaki dan tangannya tak berfungsi dengan baik. Dia tak bisa berenang.
Aku akan mati!
Namun, keajaiban terjadi. Tubuh Ao Hiraga seperti dapat suntikan tenaga baru. Rasa panas terbakar perlahan-lahan mereda, digantikan dengan sensasi dingin yang melegakan.
Apakah ... aku akan hidup?
Pria itu bertanya-tanya dalam hati sambil berendam. Dia keenakan merasakan sensasi dingin dan segar dari air sungai yang merayapi tubuhnya.
Ini nyaman ....
***
Spirit Sword, sebuah benda langka yang telah lama dinyatakan hilang. Benda itu sukar dicari dan tak akan menunjukkan diri pada orang yang tidak dikehendaki. Spirit Sword memberikan panjang umur bagi penggunanya.
Setidaknya, itulah topik yang membuat seorang Ao Hiraga rela meninggalkan gubuk reyotnya, pergi ke kota, berbaur dengan manusia, demi mencari buku-buku kuno yang membahas Spirit Word.
Beberapa waktu usai tragedi Ao Hiraga kecemplung sungai, pria itu perlahan-lahan dapat menjalani kehidupan normalnya yang tidak normal-normal banget. Dia mendiami sebuah gubuk tua reyot di pinggir sungai—yang kurang lebih mirip toilet umum. Menikmati makanan dengan kaki tercelup ke sungai. Bahkan, membaca buku pun dalam posisi demikian.
Ao Hiraga memutuskan dirinya tak bisa berjauhan dari air. Jadi, dia menikmati kehidupan hutannya di pinggir sungai sendirian.
Spirit Sword biasanya dijaga oleh seseorang yang akan menguji si pencari dengan ujian sukar.
Ao Hiraga membaca dengan tekun, dengan latar belakang langit senja yang indah lagi cerah. Dia membalik halaman demi halaman.
Benda tersebut biasanya tersimpan baik di dalam kuil-kuil kuno. Informasi terakhir, Spirit Sword ditemukan jejaknya oleh sumber tak jelas di Kuil Akihiro.
Ao Hiraga mengangkat kepala. Kedua matanya berbinar penuh semangat. Ini dia benda yang dia cari, benda yang harus dia temukan keberadaannya!
Maka dari itu, Ao Hiraga melanjutkan pencariannya dengan kata kunci Kuil Akihiro. Padahal, sumber yang dia baca pun bukan dari buku yang meyakinkan. Bahkan, nama penulisnya pun tidak ada.
Namun, seminggu berikutnya, Ao Hiraga berhasil menemukan lokasi Kuil Akihiro. Letaknya ada di kota seberang, memerlukan waktu tempuh berhari-hari.
"Aku akan menemukannya dan memilikinya!" Dia bertekad dengan penuh keyakinan sesaat sebelum berangkat.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top