C
Aku membuka kain gorden dan menemukan sesosok perempuan yang sedang menuju mobil. Yang jelas itu bukan Andien! Tubuhnya tinggi, kulitnya sangat putih dan halus. Mengenakan dres dengan model kemeja berwarna putih serta sepasang sneakers. Rambutnya berwarna coklat diikat asal menjadi satu. Justru disitu letak kecantikannya. Tidak berlebihan!
Kuraih teropong yang biasa digunakan Ibas, putraku untuk bisa melihat lebih jelas. Sayang, tubuh itu sudah masuk ke dalam mobil. Dan kuakui keahliannya menyetir sangat baik. Hanya sekali putaran, ia sudah bisa meninggalkan halaman rumah yang cukup sempit.
Penasaran, tapi untuk bertanya pada mami, aku enggan. Takut dikira naksir, yang akhirnya membuat mami sibuk mendekati perempuan itu. Biasalah para ibu yang memiliki anak duda akan sangat khawatir melihat kesendirian putranya. Meski sebenarnya aku merasa baik-baik saja.
Entahlah, orang lain sepertinya lebih merasa khawatir dibandingkan aku yang menjalaninya. Setiap ada pertemuan keluarga, banyak yang mencoba menjodohkan. Bukan karena pribadiku, tapi lebih kepada gaji dollarku. Aneh bukan? Saat penghasilanmu lebih menarik daripada dirimu sendiri!
Kembali aku merebahkan tubuh. aku ada janji nanti siang bersama Amel dan Ibas. Sepulang sekolah, kami untuk akan ke Trans Studio. Jadilah aku berusaha istirahat, agar punya tenaga nanti. Ponselku berdenting. Dari mami.
[Kamu nggak sarapan? Itu nasi gorengmu sudah hampir dingin.]
Aku segera turun, nasi goreng buatan mami sangat enak. Karena menggunakan kencur dan cabai rawit yang cukup banyak. Aku suka aromanya. Apalagi pasti ada sambal ikan asin pari cabai hijau yang diberi irisan kecombrang. Bumbu masak dari daerah asal kami. Rasanya sangat khas dan ngangenin.
***
Aya
Pagi hari pertama di villa keluarga Andien. Aku merasa kesepian. Setelah letih menyetir tengah malam melalui tol Cipularang yang terkenal memiliki aura mistis. Jujur, aku penakut, apalagi sendirian diluar rumah melewati tengah malam. Tapi rasa marah, sedih, dan kecewa mengalahkan semua ketakutanku.
Aku sebenarnya cenderung manja. Andien benar, aku bukan orang yang suka keluyuran. Kalau tidak ada kegiatan, akan memilih membaca atau menonton di depan televisi. Rasanya malas sekali kalau harus berada di ruang terbuka dan dikelilingi banyak orang.
Namun kebalikannya, diluar sana aku dikenal sebagai pimpinan yang tegas dan perempuan mandiri. Tidak banyak yang tahu kekuranganku itu. Karena memang jarang kutunjukkan pada dunia luar. Saat bekerja aku menunjukkan sikap profesional.
Kudekati jendela, tempat ini sangat tenang, jauh dari keramaian. Yang membeli villa disini, kebanyakan hanya untuk tempat peristirahatan. lokasinya sangat strategis. Dibawah sana ada sebuah air terjun. Aku dan Andien sering turun kalau sedang kemari.
Kubuka kain gorden dan jendela. Hembusan angin segera terasa, tidak ada suara apapun. Kutatap ponsel yang sudah mati dari tadi malam. Aku malas mengaktifnya, biar saja. Toh mereka yang di Jakarta juga tidak akan memikirkan perasaanku. Apalagi Denny dan Cinta. Kepalaku kembali sakit saat mengingat mereka.
Mungkin saat ini rumah sedang heboh dengan kepergianku. Aku tahu Ayah, ia selalu memeriksa kamar anak-anaknya setiap malam. Juga membangunkan kami saat pagi. Apa Ayah kehilangan? Aku menepis pemikiran itu.
Bisa saja saat ini Ayah malah sedang melupakan aku, dan tengah menyiapkan pesta besar-besaran yang seharusnya menjadi milikku. Aku segera turun ke bawah supaya tidak memikirkan itu lagi.
Aku segera turun kebawah. Disana Bi Elis, pembantu di Villa ini tengah memasak.
"Eh, Neng Aya sudah bangun, tadi Neng Andien teh telepon. Nanya kabar eneng. Jadi we bibi bilang masih tidur."
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Bibi masak apa?" Tanyaku tanpa peduli pada kalimatnya.
"Ini masak nasi sama sambel oncom, si eneng mau dimasakin apa?"
Aku baru sadar, bahwa di rumah ini hanya ada kami berdua. Dan tidak mungkin mengandalkannya untuk belanja.
"Kita ke pasar yuk, buat belanja seminggu."
Bi Elis menatapku tak percaya,
"Eneng lama disini?"
Seketika aku melotot.
"Memangnya kenapa? bibi keberatan?" tanyaku sadis.
Perempuan paruh baya itu menunduk. Aku segera menyadari sikapku. Ia tidak salah, pertanyaannya adalah wajar. Aku memang hanya tamu disini.
"Maaf, Bi. Aku cuma belum bisa memastikan berapa lama disini. Kita turun sambil mencari cemilan."
Kami kemudian ke Cimahi, tepatnya pasar Antri. Membeli sayuran dan juga beberapa barang kebutuhan pribadi lain. Ya, aku tidak mungkin berharap keluarga Andien ikut menafkahi aku. Sebagai tamu aku harus sadar diri.
Kami berkeliling sebentar menyusuri jalanan yang cukup padat untuk membeli camilan. Akhirnya aku mampir ke sebuah gerai pisang bolen. Disana banyak makanan. Aku butuh energy untuk bertahan. Minimal dalam seminggu ini.
Selesai semua kami kembali ke Villa. Aku membantu menurunkan barang-barang saat seorang perempuan paruh baya mendekati kami.
"Eh, Tante Biring." Sapa Bu Elis dengan ramah.
Aku hanya tersenyum karena memang tidak kenal.
"Dari mana,Elis? "
"Dari pasar, tante. Ada apa ya?"
"Ini ada sedikit oleh-oleh. Bang Sadha baru pulang. Oh ya, ini siapa?" tanya ibu tersebut sambil menatapku.
"Saya Gayatri bu. Temannya Andien, sedang liburan disini." Jawabku ramah sambil mengulurkan tangan.
"Saya Desri, tetangga sebelah rumah kalian. Panggil saya Tante Biring."
"Kok beda namanya?" Tanyaku bingung.
"Ya, karena saya beru Sembiring."
"Itu orang apa ya, tan? Aku nggak pernah dengar."
"Saya Batak Karo. Kalau kamu pernah mendengar kata Berastagi. Itu daerah asal saya."
Aku segera tersenyum,
"Saya pernah ke Medan, Tante. Tapi nggak sampai disana. Karena urusan kantor jadi buru-buru balik ke Jakarta."
"Wah, senang sekali kalau ada orang yang tahu daerah asal tante. Oh iya, sampai lupa, Ini kebetulan putra pertama tante baru pulang. Jadi bawa oleh-oleh."
"Terima kasih banyak, Tante." jawabku.
Setelah berpamitan , kami masuk kedalam. Dan tanpa diminta, Bu Elis menceritakan,
"Bu Sembiring itu sudah lama tinggal disini. Ada dua tahunan lah Neng. Lumayan jadi bibi nggak kesepian."
"Kok saya nggak pernah ketemu ya?"
"Ya kan kalau kemari, eneng sama neng Andien lebih sering jalan ke kota. Terus pulangnya sudah hampir pagi. Bangun siang, habis itu pergi lagi."
Aku hanya bisa mengiyakan. Tak lama ponsel Bi Elis berbunyi. Dari Andien, ingin bicara denganku.
"Apaan?" Sapaku.
"Jutek amat, lo. Beli ponsel baru kenapa sih? Jadi nggak susah banget hubungin elo."
"Males, belum kepengen. Nah elo mau ngomong apa?"
"Dari tadi semua nyari elo. Om, Tante termasuk si bangsat Denny. Tapi lo aman, gue bilang nggak tahu."
"Biarin aja. Toh mereka bakal sibuk nyiapin pesta."
"Elo ngapain sampai siang ini?"
"Bangun kesiangan, ke pasar dan ini baru pulang. Terus ketemu tetangga elo. Tante Biring."
"Baik tuh orangnya, gue sering dikirimin makanan." Ujar Andien.
"Iya, sekalian ngasih oleh-oleh tadi."
"Darimana dia?"
"Bukan dia, tapi anaknya baru pulang."
"Bang Sadha?"
"Iya kali, katanya putra pertamanya."
Tiba-tiba Andien menjerit kesenangan.
"Lo tunggu gue disana. Sekalian gue udah ambil cuti buat nikahan elo."
"Ngapain lo kesini?"
"Gue mau nemuin dia. Lo tahu nggak, dia itu DUREN SAWIT"
"Maksud lo?"
"Duda keren sarang duit. Gila banget dia tajirnya. Kerja di di kapal Super Tanker. Biasanya rutenya dari Mesir sampai Eropa. Lo bayangin dia biasa mandi pakai dollar. Mumpung masih available. Siapa tahu akhirnya nyantol ke gue. Lo bakal gue beliin tas Gucci kalau gue berhasil ngajak dia kawin."
Dan akhirnya aku hanya bisa menggelengkan kepala, saat sahabatku itu membeberkan segala keunggulan pria tetangganya. Tidak salah sih, karena dia masih lajang sekarang. Andien berusia dua tahun lebih muda dariku. Namun kami sangat cocok meski memiliki kepribadian yang bertolak belakang.
Aku adalah perempuan yang penuh perhitungan dalam segala hal. Sementara Andien hidupnya semau gue. Dia pernah pindah bekerja sebulan tiga kali pada perusahaan yang berbeda. Tanpa merasa bersalah pada teman yang merekomendasikannya.
Sebaliknya hidupku selalu tertata, Bahkan aku tidak pernah pindah kerja selama Sembilan tahun terakhir. Andien sangat spontan. Seperti sekarang ini, saat menemukan laki-laki yang menurutnya menarik, ia rela langsung datang. Sedangkan aku entah kapan bisa melupakan pengkhianatan Dennis dan Cinta.
Tapi mestinya, aku bersyukur untuk sikap sahabatku itu. Jadi tidak akan kesepian minimal empat hari kedepan. Kehadirannya akan membuat kesedihanku teralihkan. Aku sendiri sudah sangat lelah, dan tidak tahu bagaimana mengobati rasa patah hatiku.
***
Andien menepati janjinya. Malam hari ia sudah tiba di Villa. kemudian memelukku yang tengah menangis. Kami berpelukan diatas sofa.
"Lo jangan sedih, biarin ajalah. Masih beruntung lo tahu sekarang. Kalau tadi udah nikah? Kan bakal tambah ribet." Ujarnya berusaha menasehati.
Sebuah kalimat klise yang selalu kudengar, saat ada orang yang mengalami hal sepertiku.
"Bokap gue ngomong apa?"
"Nyari doang sih, sampai datang ke kantor gue, panik banget tahu nggak. Lo tega sama Om Eas?"
Aku hanya membuang nafas.
"Gue lagi nggak mau ngomong soal tega atau nggak tega."
Andien akhirnya terdiam.
"Ke Klub yuk." Ajaknya kemudian.
Aku menggeleng.
"Gue cuma lagi mau sendiri."
"Atau kita nonton di rumah aja ya? Kayaknya di Netflix ada film bagus."
Aku hanya mengangguk. Meski setengah hatiku mengatakan tidak. Tapi aku tahu, di kamarpun aku hanya akan menangis.
Lama kami menonton sebuah film serial. Sampai akhirnya aku pamit naik ke lantai dua. Aku membiarkan ruangan gelap, sesuai kebiasaan. Sebelum tertidur aku mendengar ada suara mobil memasuki area rumah Tante biring.
Kudekati jendela, sayang tidak terlihat jelas. Sesosok pria mengenakan jaket dan celana jeans turun dari mobil. Kemudian memasuki rumah. Aku tertegun, diakah Bang Sadha?
Tak lama lampu ruangan diseberangku menyala. Mungkin itu adalah kamarnya. Terlihat ia membuka jendela lalu membuka jaket. Semua terlihat jelas didepan mataku.
Aku meninggalkan jendela saat pria itu membuka kaos dan celana jeansnya. Malu rasanya menatap pria hampir naked di depan mata, meski cukup jauh sebenarnya. Samar terdengar musik instrumental yang terbiasa berkumandang di toko buku terkenal. Tampaknya berasal dari kamar seberang.
Kucoba memejamkan mata, namun tetap tak bisa. Rasanya besok malam aku harus mengajak Andien mengelilingi kota Bandung. Agar bisa pulang dalam keadaan letih. Aku ingin tidur, tapi beberapa hari ini hanya bisa terpejam saat hampir pagi.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
10720
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top