01-until the crows come home

Hujan turun dengan deras malam itu, membasahi jendela besar di ruang makan yang terasa dingin dan kosong. Jisoo duduk di salah satu ujung meja panjang, mengenakan gaun tidur satin berwarna biru pucat. Lilin yang dinyalakan pelayan mulai meleleh, menandakan betapa lamanya dia menunggu seseorang yang tidak pernah datang.

Taeyong.

Nama itu terasa manis sekaligus pahit di lidahnya. Seorang pria yang dulu dia pikir akan menjadi pahlawan di cerita dongeng hidupnya. Sosok yang sempurna di mata semua orang—wajah tampan, karisma yang memikat, dan tentu saja kekayaan yang membuat siapa pun terpesona. Tapi baginya, Taeyong hanyalah teka-teki yang tidak pernah bisa dia pecahkan.

Tiga tahun pernikahan mereka telah berlalu dan cinta yang dia bayangkan layaknya kebahagiaan abadi ternyata hanyalah ilusi. Setelah ayahnya meninggal, segala perhatian Taeyong berubah. Pria itu seperti menjadi orang lain, terlalu sibuk dengan pekerjaannya, terlalu dingin untuk sekadar berbicara, terlalu jauh untuk disentuh hatinya.

“Nyonya, apakah saya perlu menyajikan makan malam sekarang?” Suara sang pelayan rumah memecah keheningan.

Jisoo mengangguk pelan. “Sajikan saja. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama.”

Dia tahu Taeyong mungkin tidak akan pulang lagi malam ini. Selalu ada alasan entah itu rapat larut malam, perjalanan bisnis mendadak, atau entah apa lagi yang tidak pernah dia jelaskan. Dan meski setiap kata yang diucapkan pria itu terasa logis, ada perasaan kosong yang terus menghantuinya.

Ketika pelayan meletakkan hidangan di depannya, Jisoo menatap kosong ke piringnya. Rasanya tak ada lagi hal yang membuatnya berselera, baik makanan mewah ini maupun kehidupan pernikahannya. Apa enaknya menikmati makan malam seorang diri?

Jisoo lantas bangkit dari kursinya, beralih menatap bayangannya sendiri di jendela yang memantulkan kilatan petir di luar. Dia pernah bermimpi menjadi seseorang yang bahagia, seseorang yang hidupnya penuh cinta. Namun, apakah itu berarti dia harus menunggu suaminya berubah? Atau mungkin, ada jalan lain untuk menemukan dirinya kembali?

Hanya beberapa bulan setelah kematian ayahnya, Taeyong berubah. Bukan perubahan kecil yang bisa diabaikan, tapi perubahan yang begitu drastis hingga Jisoo merasa seperti hidup dengan orang asing. Pria yang dulu penuh perhatian dan senyum hangat itu kini menjadi sosok yang dingin, hampir tak tersentuh. Kata-katanya jarang dan ketika ada, sering kali terdengar datar, seolah tanpa emosi.

Jisoo mencoba memahaminya. Kenapa? Ada apa dengannya? Apa yang membuatnya berubah begitu dingin? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, berputar-putar tanpa jawaban. Menyebabkan malam-malamnya selalu dipenuhi kegelisahan, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sunyi, dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada pria yang dia nikahi.

Apakah semua ini karena kematian ayahnya? Apakah kesedihan sama yang merenggut dirinya juga telah mengubah Taeyong? Ataukah ada sesuatu yang lebih dari sekadar kehilangan? Namun, setiap kali dia mencoba mendekat mencari jawaban, Taeyong justru menjauh, meninggalkan kehampaan yang tak terisi.

Jisoo berdiri di depan jendela besar sambil menatap hujan yang turun. Apakah sudah tidak ada harapan lagi untuk pernikahannya? Dulu memilih menikah dengan Taeyong adalah keputusan yang dia ambil dengan sepenuh hati. Dia percaya pada cinta mereka, percaya bahwa bersama, mereka bisa melewati apa pun.

Namun sekarang, semua itu terasa seperti mimpi yang pudar. Ini bukan pernikahan yang dia impikan. Ke mana perginya kebahagiaan yang dulu mereka bagi? Ke mana perginya pasangan suami-istri yang dulu saling jatuh cinta? Ke mana perginya pria yang pernah membuatnya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia? Kapan pria itu akan kembali seperti sedia kala? Atau mungkin, dia tidak akan pernah kembali? Pikirannya yang berulang-ulang mencari jawaban hanya membuat hatinya semakin lelah dan semakin terluka.

Hujan di luar semakin deras mengguyur sang pertiwi, butirannya beradu dengan kaca jendela besar di ruang makan sehingga menciptakan simfoni melankolis yang menemani keheningan di dalam rumah. Jisoo masih berdiri di sana, bayangannya terpantul samar oleh jendela yang basah. Matanya menatap keluar ke jalanan gelap, diterangi lampu depan mobil hitam yang perlahan meluncur masuk ke halaman.

Mobil itu. Mobil suaminya.

Jisoo tertegun untuk sesaat. Hatinya melonjak campur aduk antara kebencian dan harapan yang nyaris putus asa. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali dia melihat wajah suaminya. Meski ada luka yang terus mengangga setiap kali Taeyong mengabaikannya, hatinya yang rapuh tetap merindukan pria yang dulu memberinya senyuman hangat dan sentuhan penuh kasih.

Tanpa berpikir panjang, Jisoo berbalik dan berlari cepat menuju pintu depan. Gaun tidurnya yang panjang menyapu lantai, mengikuti langkah-langkah cepatnya yang menggema di lorong. Dia melihat salah satu pelayan hampir membuka pintu dan suaranya yang mendesak keluar begitu saja.

“Berhenti! Aku yang akan membuka pintunya.”

Pelayan itu terdiam, terkejut oleh nada suara sang nyonya rumah yang jarang terdengar tegas. Jisoo menarik napas dalam-dalam, merapikan rambutnya dengan tangan gemetar, lalu meraih gagang pintu. Ada harapan kecil yang dia biarkan hidup, meski tahu mungkin itu hanya akan membuat hatinya kembali terluka.

Dia menarik pintu dengan penuh semangat, senyum lebar menghiasi wajahnya—senyum yang telah lama dia simpan untuk suaminya. Namun, ketika pintu terbuka, senyum itu perlahan memudar seperti lilin yang ditiup angin.

Taeyong berdiri di sana, tubuhnya tegap meski terlihat bayangan kelelahan di wajahnya. Jas hitamnya tampak sempurna, bebas dari kerutan, sementara rambutnya sedikit basah akibat hujan, tapi tetap tertata rapi. Wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun, hanya tatapan datar yang sulit diterjemahkan.

Namun, yang membuat Jisoo terpaku bukanlah sosok suaminya, melainkan wanita yang berdiri di sampingnya. Wanita itu mengenakan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna dan memancarkan keanggunan yang sulit diabaikan. Rambut hitamnya tergerai panjang, berkilau seperti sutra, menambah pesonanya yang begitu memikat. Dia tampak muda, cantik, dan tanpa usaha sedikit pun mampu mencuri perhatian siapa saja yang melihatnya, termasuk Jisoo.

Jisoo terpaku. Dia ingin mengucapkan sesuatu, tapi kata-kata terasa menghilang dari pikirannya.

Hanya cerita pendek tidak lebih dari 10 chapter, terinspirasi dari lagu Billie Eilish - No Time To Die

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top