Tiga Belas

Olah, muncul lagi neh. Tadinya mau Rebu taunya nongol juga di hari Minggu.

Yang nggak sabar, bisa ke KK atau KBM, Yaya udah minggat ninggalin Abang yang nggak setia😛😛😛




Tapi boong.

***

Ketika 12

Magnolia Rayya Hassan tidak tahu pukul berapa saat ini. Hujan masih turun walau tidak sederas tadi. Di hadapannya tersaji dua mangkuk soto mie hangat. Uap panas mengepul-ngepul dan dia memperhatikan Malik yang saat ini memanggil seorang pelayan untuk minta dibuatkan dua gelas teh manis hangat.

Matanya pasti salah lihat. Di hadapannya saat ini pastilah Dimas atau Jajang. Malik Galih Kencana tidak pernah seperti ini, pikir Magnolia. Membalas ucapannya saja hampir tidak pernah, bagaimana bisa saat ini pemuda itu malah duduk dan memesan menu yang sama untuknya, si anak tetangga, tukang lap kotak-kotak yang punya status anak haram di rumah keluarga Hassan?

Magnolia mendekatkan hidungnya ke arah mangkuk soto mie yang dia tebak adalah jatah yang diberikan malik untuknya. Cuma ada mereka berdua saat ini, mustahil Malik sengaja membeli untuk Dimas. 

Huh, lagi-lagi dia teringat Mamas. Apakah abangnya sudah menyantap mie ayam pembeliannya tadi? Karena jika tidak, akan sangat sayang sekali. Dia harus mengorbankan tiga buah lap untuk bisa membeli seporsi mie ayam lengkap dengan ceker dan tiga pentol bakso. Dimas mendapat porsi spesial padahal kalau dirinya, biasa membeli porsi setengah. Selain hemat, dia suka mencampur semua makanan dengan nasi supaya kenyang hingga dia tidak perlu lagi makan malam.

Buat diri sendiri pelit, tapi kalau beliin Mamas, nggak mikir duit.

Sayang, ternyata Dimas malu menerima hasil pemberiannya. Ternyata bagi Dimas lap kotak-kotak yang selama ini membantunya menyambung hidup adalah hal tidak berguna dan membuatnya malu. Apakah gara-gara itu juga, Malik enggan menegurnya selama ini?

“Makan. Jangan diliatin doang.”

Magnolia tidak mendengar kata-kata Malik, bahkan dia tidak memperhatikan pelayan yang datang dan meletakkan dua gelas teh manis hangat ke hadapan mereka. Gadis itu hanya memandangi mangkuk dengan bibir melengkung ke bawah membayangkan abangnya yang tersayang saat ini mungkin belum makan karena malu memakan uang hasil dia berjualan selama berjam-jam.

Tahu-tahu saja, Malik menarik tangan kanan Magnolia dan mengarahkannya kepada sendok dalam mangkuk di depan gadis tersebut sehingga Magnolia tergagap. 

“Makan. Habis ini minum obat. Dimas pasti sedih lihat lo masih demam kayak gini.”

Dimas lagi. Pikir Magnolia sedih. Dia seharusnya mencurigai pemuda di hadapannya saat ini. Dia begitu mengkhawatirkan Dimas hingga mau-mau saja mengurusi Magnolia yang selama ini tidak pernah masuk dalam radarnya. Selain Dimas, Kezia juga jadi salah satu orang yang sering dia perhatikan. Tidak jarang, saat dia mengintip Malik sedang memberi les kepada Kezia, bocah tampan itu memandangi saudari Magnolia tersebut dengan tatapan amat lembut, tidak seperti kepadanya, terutama seperti saat ini. Alis Malik naik, matanya memicing seolah hendak menusuk Magnolia dan mengirimnya ke akhirat.

Magnolia memutuskan untuk mengangguk dan tidak banyak bicara. Dengan sendok yang tadi diberikan Malik untuknya, dia mulai menyuapkan soto mie ke mulut. Namun sebelum itu, dia mengucapkan terima kasih atas kemurahatian Malik yang tidak pernah dia sangka-sangka.

Malik seperti biasa tetap menulikan telinga dan Magnolia yang sudah terlalu maklum akhirnya menyerah.

Inget, Ya, dia semata-mata melakukan ini demi Abang. Jadi berhenti GR dan menyangka kalau dia punya perasaan. Dia cuma terpaksa. Titik.

***

Magnolia dan Malik menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit menghabiskan makan malam mereka. Saat Malik hendak membayar, Magnolia sudah lebih dulu merogoh jaketnya dan mengangsurkan beberapa lembar uang seribuan lusuh yang dia gumpal-gumpalkan dalam kantong jaket. Agak susah meraih uang-uang kertas tersebut karena Malik mengunci jaketnya dengan erat. Tapi, Magnolia tidak habis akal, ditariknya saja bagian bawah jaket Malik dan dia bisa memasukkan tangannya ke kantong jaket miliknya lalu asal mengambil beberapa lembar sebagai pembayaran.

“Ini bagian gue.” 

Malik hanya melihat sekilas tangan Magnolia yang terulur kepadanya dan dia memperhatikan lembaran-lembaran seribuan tersebut dalam diam sebelum melengos dan berjalan ke arah tukang soto mie. Magnolia kemudian memandangi uangnya sendiri lalu meneguk air ludah. Apakah uang yang akan dia serahkan ini terlalu jelek sehingga Malik tidak mau menerima? Tapi, kan, dia mendapatkan uang tersebut dengan susah payah setelah berdiri nyaris setengah hari di bawah terik mentari dan respon pemuda itu hanyalah kerlingan datar dan dia ditinggalkan seorang diri dengan menanggung perasaan malu karena merasa uangnya tidak cukup layak sebagai alat pembayaran.

Baiklah, dia akan membayar sendiri, pikir Magnolia. Gadis itu lantas bangkit dan berjalan menuju gerobak soto mie. Tapi, belum sempat mendekat, Malik yang sudah selesai membayar memanggilnya, “Ngapain lo ke sana? Mau bungkus?”

Magnolia menggeleng. Dia menunjukkan uang ribuan di tangannya sebagai tanda kalau dia juga mau membayar. Tapi, Malik mengatakan kalau dia sudah membayar semuanya dan mereka hanya tinggal keluar dari bawah tenda. Malik bahkan sudah memegang payung Magnolia dan menyerahkannya begitu gadis berlesung pipi itu berjalan ragu-ragu ke arahnya.

Tanpa banyak bicara lagi, Magnolia menerima payung pemberian Malik dan mereka berdua berjalan dalam diam menuju ke kompleks perumahan tempat mereka tinggal.

Nggak boleh banyak ngomong. Nggak boleh banyak tanya. Gue nggak tahu kenapa bisa jadiin lo gebetan. Otak gue mungkin kepentok waktu milih lo, Magnolia menertawakan dirinya dalam hati mengenang semua kebodohan yang dia buat karena nekat naksir Malik. Benar kata Dimas, dia seharusnya belajar saja bukan naksir anak tetangga yang tidak pernah menoleh kepadanya.

Lima menit berjalan, Malik sekalipun tidak mengajaknya bicara. Karena itu juga, Magnolia yang sudah menyerah, memilih memandangi rumah-rumah tetangga blok sebelah yang setiap hari dia lewati dalam perjalanan ke pasar. Hampir semua orang yang tinggal di kompleks adalah pegawai negeri, termasuk papa yang sempat bertugas jadi pegawai dinas pertanahan. Dulu, saat dia masih kecil, papa sering melakukan perjalanan dinas dan akan kembali dalam beberapa hari sambil membawa oleh-oleh dari tempat yang dikunjunginya meski Magnolia tidak meminta.

"Nggak usah bawa oleh-oleh. Yaya lebih suka Papa di rumah dan nggak perlu dinas luar." 

Dia tidak tahu bahwa dulu papa adalah petugas lapangan dan melakukan survey ke berbagai daerah adalah pekerjaannya, berbeda dengan Tante Laura, ibu kandung Malik yang lebih banyak bekerja di dalam ruangan. 

"Yaya. Yaya."

Sebuah suara terdengar di telinga Magnolia saat dia sedang memandangi kakinya yang kini memakai sandal kebesaran milik Malik. Dia mengangkat kepala dan menemukan Dimas berlari menyongsongnya dengan tergopoh-gopoh. Badan bocah tujuh belas tahun itu basah karena air hujan dan matanya masih memerah. Begitu dia berhadapan dengan Magnolia yang masih memegang payung dan memakai jaket milik Malik yang kebesaran, Dimas tanpa ragu memeluk adiknya dengan amat erat.

"Adekku sayang. Maafin gue. Gue salah, gue mesti dihukum. Tapi lo jangan lari dari rumah. Jangan tinggalin gue. Gue sudah janji sama Papa buat jaga lo." 

Magnolia berusaha melepaskan diri dari pelukan Dimas yang kini menciumi puncak kepalanya berkali-kali. Air mata pemuda tampan yang wajahnya begitu mirip dengan wajahnya sendiri itu mengucur deras dan dia mengusap dahi serta pipi adiknya dengan penuh kasih sayang.

"Lo masih demam, jalan ujan-ujanan gini. Semua gara-gara gue bodoh."

"Lo apa-apaan, sih?" Magnolia mendorong wajah Dimas agar menjauh dari pipi dan kepalanya. Dia tahu abangnya cemas, tapi, Dimas tidak perlu bersikap berlebihan di depan Malik. 

"Obatnya sudah gue beliin."

Malik menunjukkan plastik obat yang kini berada dalam genggamannya. Hal tersebut membuat Magnolia sedikit kaget. Dia benar-benar melupakan benda tersebut sejak selesai makan tadi. Wajah Malik yang tampak masam saat memamerkan obat yang dia beli untuk Magnolia, kepada Dimas adalah bukti kalau dia rela melakukan hal tersebut demi sahabatnya.

"Makasih banyak, Bro. Kalau nggak ada lo, gue nggak tahu bisa melewati malam ini atau nggak."

Magnolia ingin sekali muntah. Bukan karena dia tidak suka dengan ucapan Dimas, melainkan membayangkan abangnya dengan penuh kasih sayang mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Malik, seolah-olah pemuda itu diciptakan Tuhan untuk selalu membantunya.

"Pulang, ya, Dek. Mandi air hangat. Gue yang masak. Abis itu makan… "

"Dia sudah makan tadi." Malik memotong.

Wajah Dimas terlihat kalau dia ingin berterima kasih kembali kepada Malik walau kemudian Malik menambahkan, "tapi nggak abis."

"Nggak apa-apa. Yang penting Yaya sudah makan, sudah pulang. Besok istirahat. Mamas yang bakal jualan di pasar gantiin lo."

Dimas memegangi bahu Magnolia. Wajahnya terlihat amat menyesal dan dia akan melakukan apa saja asal adiknya kembali. Dimas bahkan tidak melepaskan tautan tangan mereka setelah ketiganya akhirnya berjalan menuju rumah yang letaknya tinggal satu blok lagi. 

"Dia baik banget." Dimas tersenyum kepada Magnolia yang masih memandangi punggung Malik yang berjalan lebih dulu dari pada dirinya. Pujian yang dia dengar bertubi-tubi dari mulut Dimas membuat telinganya berdenging.

"Diem, Mas. Lama-lama lo naksir dia beneran." Magnolia menggelengkan kepala. Kepalanya sampai sakit karena berusaha tidak memikirkan betapa eratnya hubungan Malik dan Dimas hingga membuat sesuatu di dalam dadanya seolah terluka tapi tidak berdarah. 

"Ngomong apa, sih, Dek?" Dimas mencoba tertawa, akan tetapi Magnolia hanya membeku dan berusaha untuk bernapas dengan benar saat dia menyadari udara dingin menyergap tubuhnya dengan tiba-tiba.

"Dek. Dek. Yaya…"

Malik yang mendengar teriakan Dimas menoleh dan melempar payungnya, lalu berlari dengan cepat karena pada detik yang sama, Dimas hampir terjungkal karena menahan tubuh Magnolia yang tiba-tiba tidak sadarkan diri.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top