Red Rose, Our Child

Sore ini kami berlima berkumpul, ya di rumahku. Tepatnya di rumah Tante Rosi, Tanteku. Genta dan Lala sudah asyik sendiri, seolah Dunia ini milik mereka. Lihatlah, betapa mereka saling jatuh cinta. Mengumbar cinta sampai-sampai membuatku sungkan melihatnya.

Sementara Ricky dan Arya? Keduanya hanya diam dan saling tatap sesekali dengan begitu dingin. Tanpa ada rasa persahabatan sedikit pun di sana. Aku sama sekali tak tahu... bagaimana caranya untuk membuat mantan sahabat itu akur kembali.

"Gue angkat telfon dulu, ya." pamit Arya setelah beberapa kali HP-nya bergetar. Aku yakin, telfon itu sangat penting. Lihat saja berapa puluh kali HP itu berbunyi.

Arya pergi... Ricky menggeser kursinya untuk mendekat padaku. Kulirik wajahnya tapi aku buru-buru menunduk. Dia menatapku dengan pandangan aneh itu, matanya berkedip-kedip aneh dan ekspresi wajahnya pun aneh.

Apa yang dia inginkan? Aku sama sekali tak tahu.

"Menurut lo... Genta dan Lala romantis, nggak?" tanyanya.

"Iya." jawabku bingung. Aku tak tahu, kenapa dia bertanya seperti itu.

Tiba-tiba tangan Ricky menyentuh-nyentuh hidungku, tapi dengan ekspresi anehnya. Dan itu semakin membuat tubuhku kaku.

"Gimana? Udah romantis?" tanyanya lagi. Kukerutkan keningku, tidak paham dengan pertanyaannya. Tapi, setelah kulihat Genta yang menggoda Lala sambil memainkan hidung Lala, aku jadi paham. Rupanya, Ricky sedang berusaha meniru gaya mereka. Namun, dengan ekspresi aneh dan tak terbaca.

"Gue nggak butuh lo buat romantis, kok. Beneran!" jawabku meyakinkan. Dia menggembungkan pipinya seolah kecewa, kemudian dia mengambil buku tulisnya dan entah dia menulis apa.

"Gue keluar bentar deh." putusku, dari pada sungkan lebih baik aku pergi. Sebab... Lala dan Genta tidak tahu diri.

"Gue ikut!" seru Ricky, kutatap dia kemudian dia menunjuk pasangan aneh itu dengan dagunya, "gue nggak mau jadi setan, kata Pak Ustad di rumahku, kan... kalau ada pasangan yang pacaran, pihak ketiganya setan." aku terkekeh, dia membalasnya dengan tersenyum kemudian menutup wajahnya.

"Kenapa?"

"Kenapa ya... lo yang ketawa, tapi gue yang tersipu malu." aku menunduk, wajahku tiba-tiba terasa begitu panas. Aku yakin, wajahku sudah merah sekarang.

Belum sempat kujawab ucapannya, tanganku langsung ditarik paksa oleh Ricky. Sampai tubuhku jatuh ke dalam pelukannya. Jari telunjuknya diletakkan di depan bibirnya seolah dia mengatakan jika aku harus diam. Kutatap arah pandang Ricky, mataku membulat sempurna.

Di sana, di sudut gang depan rumahku. Arya sedang bersama dengan 2 orang lelaki. Aku tak tahu siapa lelaki itu, yang jelas salah satu di antaranya, memukul kepala Arya berkali-kali pun menampar Arya.

Apa itu rentenir yang mengejar Arya?

Tapi, itu sama sekali tak mungkin. Arya masih remaja, dan mustahil sampai dia mempunyai hutang. Terlebih... katanya dia model, kan? Bukankah dia memiliki banyak uang? Tapi... kenapa dua orang itu memukuli Arya? Aku sama sekali tak mengerti.

"Lo nggak mau bantuin Arya?" tanyaku pada Ricky. Tatapan sendunya itu terlihat dingin dan acuh. Tak ada satu kata pun terucap dari mulutnya. Apa aku salah ucap? Sampai dia tersinggung? Ataukah, dia marah karena aku terlihat perhatian dengan Arya? Semoga, dia tak salah paham dengan pertanyaanku itu.

"Dia udah gede... dia bisa jaga diri sendiri, kan?"

"Tapi—" ucapanku terhenti saat Arya mendekati kami. Senyumnya kaku, dan dia menggaruk tengkuknya pertanda dia sungkan.

Kutatap ujung bibirnya berdarah, pelipisnya pun memar. Aku tak tahu, jika benar dia seorang model bukankah wajah adalah investasi berharga baginya?

"Tadi... nggak penting." katanya, yang seolah mengetahui apa yang ada di otakku. Namun, itu bukanlah jawaban yang kuinginkan. Jawabannya begitu ambigu.

Arya masuk kembali ke dalam rumahku pun Ricky, kuekori langkah keduanya. Ricky berdiri beberapa saat sebelum dia duduk, kemudian dia menepuk-nepuk kepalaku, memiringkan wajahnya padaku kemudian tersenyum.

"Gue mau pipis." katanya,

"Kamar mandi ada di sana." jawabku, menunjuk kamar mandi yang berada tepat di samping kamarku.

"Gue mau pipis di luar." katanya lagi, aku mengangguk menuruti ucapannya. Dia pergi, kemudian aku pun duduk.

"Lo kenapa, Ar? Wajah lo udah kayak soto ayam yang nggak dimakan dua hari aja, ancur!" tanya Genta. Arya tersenyum saja, kemudian dia membuka bukunya. Padahal... kami tidak satu Sekolah. Tapi, dia bersikeras untuk ikut belajar bersama.

"Biasa... cowok."

"Tapi kan elo model, Ar?" kali ini Lala yang bertanya.

"Bagian dari pekerjaan." jawab Arya enteng. Seolah tadi, bukanlah hal yang patut dikhawatirkan. Seolah tadi... adalah kebiasaan di dalam kehidupannya. Namun, entah mengapa aku melihat rasa sedih di sana. Rasa pilu di balik senyum cerianya.

Ya... Arya tak ubahnya dengan Ricky. Keduanya adalah pelakon kehidupan sejati. Berusaha menutupi kisah hidup pahit mereka, dengan topeng yang berbeda. Jika Arya lebih memilih topeng menjadi nice guy, maka Ricky memilih sebaliknya.

"Woy! Apa yang lo lakuin, woy!" semua orang di luar pada ribut. Dan itu berhasil menggelitik kami untuk melihat. Apa yang telah terjadi sampai-sampai terjadi keributan seperti ini?

"Ada maling, ya?" tanya Lala takut. Dia melingkarkan kedua tangannya di lengan Genta, sementara Arya berjalan di depanku.

"Gue masih pengen hidup!" pekik Genta panik.

"Banci banget sih lo, Ta. Gue rokin nih!" sentakku mulai emosi. Genta mengerucutkan bibirnya, sambil menjambak-jambak rambut ikalku.

"Ricky!" pekik Arya yang membuat konsentrasiku teralih dari Genta.

Mataku melebar melihat keadaan di sekitar. Ricky, dengan beringas memukuli 2 laki-laki yang tadi menyakiti Arya. Bahkan... salah satu laki-laki itu sekarang sudah ada di bawah kakinya.

Aku sama sekali tak tahu, jika 'mau pipisnya' Ricky adalah isyarat darinya membalas perlakuan orang-orang kejam itu pada Arya. Jadi... masih berharga itukah Arya bagi Ricky? Atau....

Apa ini karenaku?

Tidak... aku sama sekali tak menyuruhnya untuk melakukan hal bodoh seperti ini. Aku hanya menyuruh agar dia membela Arya. Bukan dengan cara seperti ini.

Mataku terasa panas, dengan langkah lebar-lebar kudekati Ricky. Setelah menepis tangan Arya, Genta pun Lala yang melarangku untuk ke sana. Ricky, adalah pacarku. Jadi... perlakuan buruk Ricky sebagian adalah tanggung jawabku. Sebab... tak ada satu orang pun yang mau bertanggung jawab dan peduli dengannya, kecuali aku... dan Om Irawan. Paman Ricky yang tak ada di sini.

"Lam... jangan! Lo nggak tahu Ricky, Lam! Kalau dia kalap, dia nggak peduli lawan atau kawan. Pasti dia akan pukuli mereka sampai pingsan!" larang Arya. Tidak, aku tidak percaya. Karena... Ricky itu manusia, yang memiliki perasaan.

"Ampun!!"

"Ampun!!" rintih kedua orang itu. Tapi, Ricky seolah tak peduli. Mata cokelatnya terlihat kalap. Seolah-olah dia adalah binatang yang menerkam buruannya sebagai santapan setelah beberapa lama dia tak makan.

Kutelan ludahku, tiba-tiba tubuhku bergetar. Ada rasa takut pun ragu. Apa Ricky mau mendengarkanku? Bagaimana jika dia memukulku? Bagaimana nanti jika dia menyakitiku? Kukepalkan tanganku kuat-kuat. Tidak... aku tak bisa melakukan ini. Membiarkannya terpuruk lagi seorang diri. Ricky, butuh seseorang yang bisa mengulurkan tangannya, menuntunnya dari kegelapan.

"Ricky! Berhenti!" teriakku.

Semua mata memandang ke arahku. Bahkan... Ricky langsung menghentikan acara pukul-memukulnya kemudian membalikkan badannya ke arahku. Senyumnya lebar, mata yang tadi terlihat beringas kembali menghangat.

Aku tak mengenal Ricky.

Aku sama sekali tak tahu, Ricky yang kulihat saat ini apakah seperti Ricky yang kulihat di Sekolahan, dulu... pun tadi. Yang jelas, Ricky yang sekarang semakin membuatku takut.

Spontan kuundurkan langkahku saat dia mendekat. Bagaimana bisa, seorang manusia normal bisa merubah emosinya dengan hitungan detik? Bagaimana bisa, amarah yang meluap-luap bisa tiba-tiba hilang berganti dengan tatapan penuh cinta? Aku tahu... ini bukan karena cinta, sungguh. Aku yakin ini karena masalah lain, mungkin... Ricky memiliki kepribadian ganda? Atau semacamnya? Dan itu berhasil membuatku memandang Ricky seperti orang asing.

"Nilam... gue udah ngasih pelajaran pada mereka... seperti yang elo suruh." katanya.

Bukan itu maksudku.

"Gue nggak nyuruh elo berkelahi, Rick!" teriakku. Kututup mataku rapat-rapat sambil menunduk. Karena... aku tak berani memandang wajahnya. Jujur... aku takut. Lebih takut dari rasa takutku sebelumnya.

"Gue hanya nyuruh elo buat ngelerai. Bukan untuk memukul mereka! Berapa kali harus gue bilang kalau gue nggak suka lihat orang tawuran, Rick! Gue nggak suka lihat sikap arogan elo! Berapa kali gue harus bilang seperti itu dan nggak lo dengerin sekalipun!" marahku.

"Nilam... maafin gue. Gue janji nggak akan ngulangin lagi."

Kutepis tangannya yang hendak meraih tanganku. Segera aku berlari dan masuk ke dalam rumah. Genta, Lala dan Arya mengejarku. Sementara Ricky? Aku tak tahu... mungkin dia pulang, atau bahkan... masih berdiri bodoh di tempat itu.

"Gue udah bilang, kan... Ricky itu gila, Lam! Dia gila!" kata Arya sambil menggenggam kedua bahuku yang bergetar hebat.

Kupeluk tubuhku sendiri karena entah kenapa, rasa dingin ini menyeruak dan mulai merajam di seluruh permukaan kulit sampai ke sum-sum tulangku. Aku takut... dan baru kali ini, aku merasa begitu takut dengan seseorang.

@@@

"Jadi... bagaimana dengan belajar kelompokmu tadi? Lancar?" tanya Tante Rosi. Saat ini kami sedang berada di toko. Dan pertanyaan Tante Rosi berhasil mengagetkanku.

Lancar? Bahkan... kami tidak sempat belajar tadi. Yang ada hanya... Genta dan Lala yang belajar pacaran pun Ricky yang belajar tentang? Kuembuskan napasku, melihat layar ponselku yang retak itu. Sampai detik ini Ricky tak menghubungiku, bahkan... tas dan buku-bukunya masih ada di rumah. Apakah dia marah? Atau kecewa kepadaku?

Seharusnya aku tak melakukan itu.

Seharusnya aku lebih bisa menguasai diri dan tak takut dengannya. Seharusnya, aku tak membuatnya berpikir jika dia sendirian. Jika aku melakukan hal tadi, bukankah aku sama saja dengan yang lainnya? Menjauhi Ricky hanya karena takut padanya?

Aku memang bodoh.

"Nilam!"

"Ya, Tan?"

"Gimana belajar kelompoknya tadi?"

"Oh... itu, berjalan lancar..." jawabku tergagap. Kulirik Tante Rosi yang menggeleng kepalanya, kemudian dia kembali melayani para pelanggan.

"Tan, jadi orang kaya itu susah, ya." kataku pada akhirnya. Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin kubagi dengan Tante Rosi. Tapi... keadaan memaksaku untuk membaginya hanya sebagian kecil dari semua rasa yang ada di dalam hati.

"Kenapa? Mereka punya uang banyak, dan bisa hidup enak." salah satunya tentang prinsip kami yang berbeda... ya, berbeda jauh sekali.

"Kadang... apa yang kita lihat nggak seperti kenyataannya, Tan. Mereka boleh hidup mewah, mereka boleh enak-enak. Tapi untuk bahagia? Aku rasa hanya sebagian kecil orang kaya yang bisa melakukannya."

"Ucapanmu seperti Nenek berusia 50 tahun, Lam. Sudah... sudah, sana pulang... belajar, atau tidur. Tante yakin kamu capek, itu sebabnya kamu bicara ngelantur."

"Tapi—"

"Pulang, Nilam."

"Baik, Tan."

Kuturuti ucapan Tante Rosi. Meski ini masih pukul 20.00, terlalu sore memang kalau Tante menyuruhku untuk pulang. Tapi... Tante Rosi tipikal orang yang tidak mau dibantah. Dari pada berdebat, lebih baik kuturuti saja perintahnya.

Kulangkahkan kakiku keluar dari toko, dan menuju ke arah rumah. Memang tidak cukup jauh, tapi tidak cukup dekat juga jika disebut. Sebab.. gang depan dan gang masuk rumah memerlukan waktu beberapa menit untuk sampai.

Langkahku perlahan memelan saat kulihat tepat di depan pintu rumahku, di bawah lampu rumah yang sinarnya mulai meredup itu. Ricky... duduk berjongkok di sana, dan masih mengenakan seragam Sekolahnya.

Apa dia ingin mengambil tasnya?

Kudekati Ricky, dia mendongak. meski aku yakin dia belum sempat mandi, tapi baunya masih wangi. Bahkan... wajahnya masih berseri seperti tadi pagi.

"Mau ngambil tas?" tanyaku.

Seharusnya, aku minta maaf lebih dulu.

Dia menggeleng, kemudian berdiri. Memandangku dengan tatapan sendu itu. Bahkan... mata cokelatnya terlihat muram dan aku tak ingin melihat hal itu.

"Mau ketemu gue?" tanyaku lagi, tapi dia masih menggeleng. Aku jadi bingung, apakah dia mau bertemu dengan Tante Rosi?

"Gue nggak mau ketemu elo. Tapi, gue mau minta maaf sama elo. Sebab... jika gue nggak dapat maaf, gue bakalan nggak bisa tidur..." jawabnya, membingungkan.

"Ada yang bilang, jika cewek marah maka dia harus diberikan setangkai bunga. Tapi, saat gue hendak memetik bunga, gue jadi nggak tega. Mana mungkin gue bunuh bunga yang nggak bersalah. Itu sebabnya, ini...." katanya lagi. Aku kaget saat dia meraih bunga yang ada di sampingnya. Maksudku, bunga beserta potnya.

"Bunga ini?" tanyaku kaget. Bahkan, biasanya cowok memberikan ceweknya buket bunga, atau sekuntum mawar merah yang telah dibungkus rapi. Tapi semua cowok di Dunia ini, aku pikir berbeda dengan Ricky.

"Gue tahu, elo nggak butuh hal romantis, kan? Dan elo tahu gue nggak bisa romantis, kan? Jadi... gue berikan ini sama elo. Semoga, ini sedikit romantis. Nilam... maafin gue ya. Gue janji, gue nggak bakal mukul orang lain tanpa sebab yang jelas. Dan... jaga bunga ini, seperti lo ngejaga dan ngerawat hati gue yang gue berikan sama elo."

"Gue—"

"Maafin apa enggak? Kalau enggak, akan gue paksa untuk maafin gue." katanya, menyela ucapanku.

"Caranya?" tanyaku.

"Gue cium elo sampai lo maafin gue..." jawabnya, aku langsung menutup mulutku dengan tangan sementara dia semakin cekikikan. Senyumnya, sungguh menawan.

"Percaya?" tanyanya, aku mengangguk malu.

"Padahal... gue hanya bercanda." lanjutnya yang membuatku semakin malu.

"Ya sudah, gue maafin elo."

"Nggak perlu," katanya, dan itu berhasil membuatku bingung. "Sebelum lo bilang gitu, gue udah tahu kalau lo bakal maafin gue." aku tersenyum mendengar rasa percaya dirinya yang tinggi.

"Ricky, gue—"

"Gue tahu." katanya menyela lagi.

"Apa?"

"Elo mau bilang, kalau lo cinta ama gue, kan?" tebaknya.

Mungkin, dia dukun.

Aku melangkah mendekatinya, kemudian kupeluk tubuhnya. Entah hanya perasaanku, atau memang tubuh Ricky menegang untuk kesekian detik. Tapi setelah itu, dia membalas pelukanku dan merengkuhku semakin erat. Iya... aku cinta sama dia, dan kurasa mulai sekarang, kata itu tak perlu kuucapkan. Sebab aku percaya, jika hati kami saling berkomunikasi satu sama lain. Komunikasi yang bahkan lebih dari sekedar komunikasi secara lisan.

Ricky, i love you....

"Gue nggak ingin, kehilangan elo lagi... Nilam." lirihnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top