SEBELAS - Mustahil?
Telat update hahha
"Kalau lo pikir Kai bakalan jatuh cinta sama Aruna..." Alvin tersenyum hangat. "Itu mustahil."
***
"Dimana?" Hana mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat perbelanjaan ini. Mencari Kara yang setengah jam yang lalu menyuruhnya untuk datang.
"Gue udah di dalem."
"Gue juga." dengan ponsel yang masih menempel di telinganya Hana memajukan langkahnya berharap keberuntungan membawa ia dan Kara bertemu.
Tiba-tiba...
"Dorrr!!!"
Hana hampir saja melempar ponselnya karena kaget. Sementara itu Kara yang mengetahui bahwa aksinya untuk mengerjai Hana itu berhasil tertawa terpingkal-pingkal.
"Lucu yah liat gue hampir lempar HP gue?" Hana menatap Kara kesal.
"Sumpah muka lo kalau kaget kayak gitu aneh banget." ujar Kara sambil merangkul Hana berjalan bersamanya.
"Aneh ya?" tanya Hana tanpa minat.
"Iya aneh banget. Muka lo kan biasanya datar-datar aja tuh. Tadi pas lo kaget gue kayak liat sisi lain dari diri lo."
"Lebay banget sih." Hana melepaskan rangkulan Kara pada pundaknya dan berjalan mendahuluinya.
Kara berlari sampai berhasil menyenyajarkan langkahnya lagi.
"Lo mau beli apa?" tanya Hana sekedar basa-basi.
"Baju." jawab Kara dengan enteng.
"Lagi?" bola mata Hana hampir saja keluar dari tempatnya. Bukankah dua hari yang lalu laki-laki ini sudah berbelanja baju banyak sekali.
Apa persediaan yang dia beli dua hari lalu itu belum cukup?
"Boros banget."
"Gue bukannya boros." tukas Kara. "Lo kan tahu tuntutan seorang model itu kayak gimana."
"Iya iya." Hana menangguk-angguk malas. "Harus tampil kekinian."
"Iya tuh lo tahu."
Hana hanya berdehem pelan.
"Oh ya, gue juga butuh buat nanti malem nonton sama Aruna. Gue udah cerita hal itu sama lo kan?"
Hana menghentikan langkahnya. Bukan karena ia kaget, tapi merasa bahwa sekarang Kara akan benar-benar menjauh darinya.
Apakah sesakit ini rasanya?
Hana hampir tidak mempercayai rasa sakit yang ia rasakan saat ini.
***
Fay melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia baru saja sampai di café tempat terakhir ia bertemu dengan Kai. Tadi ia datang lima belas menit lebih lambat dengan waktu yang mereka janjikan. Ia pikir Kai sudah datang lebih dulu. Tetapi ternyata tidak. Kai belum datang sama sekali.
Namun tak sampai sepuluh menit ia menunggu pintu café berdenting menandakan ada seseorang yang masuk. Dan Fay langsung melihat Kai disana. Senyumnya mengembang seketika melihat Kai yang seperti biasa selalu terlihat cool dengan rambut yang terlihat mengkilap saat terkena cahaya lampu.
Tapi tunggu. Kai tidak datang sendirian. Ada seseorang yang mengikutinya dari belakang.
"Lo gak bilang Alvin juga ikut." ucap Fay melirik Alvin sejenak lalu kembali pada Kai.
"Sorry, ngedadak. Anak ini tadi maksa pengen ikut."
"Gue bosen di rumah." Alvin nyengir seolah tak melakukan kesalahan. "Gapapa kan gue ikut gabung? Anggap aja gue pajangan."
Fay sempat terdiam selama beberapa detik sampai akhirnya ia pun mengangguk walaupun sebenarnya ia agak terganggu dengan kehadiran Alvin sekarang. Karena seharusnya malam ini ia habiskan hanya berdua dengan Kai.
"Berhubung gue udah ngancurin malam minggu kalian. Gimana kalau gue yang teraktir kalian berdua." tawar Alvin.
Kai langsung berdiri dengan bersemangat. "Gak! Gak akan nolak!"
Ternyata seperti inilah jika Kai dan Alvin bersatu. Ia tidak menyangka Kai yang biasanya terlihat rasional dan selalu bersikap menjaga imagenya itu akan terlihat segila ini saat bersama Alvin.
Dua laki-laki itu bisa seberisik ini mengalahkan perempuan. Padahal mereka berdua tidak mabuk. Hal itu membuat Fay sedikit malu dengan pengunjung café yang lain yang sesekali menoleh untuk melihat sumber kebisingan.
Sekarang apa lagi. Setelah mereka berdua membuat sedikit keributan di café tadi mereka berdua langsung menyeretnya ke tempat karaoke terdekat. Ah, Fay merasa malu sekali padahal hanya ada mereka bertiga saja disini.
Tidak menyangka Kai akan seperti ini. Maksudnya seurakan dan segila ini. Karena yang ia tahu Kai adalah sosok pria paling terlihat adem, cool, mempesona. Itulah kenapa Fay akhirnya menerima Kai menjadi kekasihnya walaupun ia tahu bahwa Kai menggunakannya sebagai bahan taruhan.
Lalu sekarang apa lagi. Kai menarik dirinya untuk ikut menyanyi di atas meja.
"Apa-apaan sih." ia memprotes dan hendak turun. Namun Kai memegangi pergelangan tangannya erat.
Tidak ada yang terucap sama sekali dari bibir pria itu. hanya ada senyuman disana.
Pada akhirnya ia pun menyerah dan memilih diam saja. Menunggu apa yang akan Kai lakukan selanjutnya. Lalu Kai mengedipkan sebelah matanya kearah Alvin.
Pria yang sama gilanya itu pun membulatkan jarinya sebagai tanda "oke". Detik berikutnya music mengalun. Dengan masih memegangi pergelangan tangannya Kai menyanyikan lagu yang di populerkan oleh Jaz yang berjudul Kasmaran.
Jantung Fay berdegup cepat saat itu juga. ditambah dengan tatapan mata Kai yang megarah lurus kepadanya. Ia merasa bahwa saat ini pipinya berubah menjadi semerah tomat. Belum pernah ia diperlakukan seromantis ini oleh seorang pria. Terlebih oleh Kai. Pria yang dikagumi oleh banyak gadis di sekolahan.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu begitu cepat. Pukul sepuluh malam. Mereka bertiga tidak akan tahu waktu jika saja Alvin tidak memberitahukannya. Tadi Fay sempat menolak pulang karena masih ingin bersenang-senang.
"Udah malem. Gak baik cewek masih di luar jam segini."
Karena ucapan Alvin yang itulah akhirnya ia pun mau pulang. Pria itu benar. Mamanya dirumah pasti khawatir karena ia belum pulang selarut ini. Ya. Larut. Untuk anak yang jarang keluar malam sepertinya jam sepuluh itu sudah sangat larut.
"Mm..Fay." Kai tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ponsel di tangannya menyala.
"Lo pulang sama Alvin yah. Gue gak bisa nganter lo pulang." Lanjutnya.
"Lho kenapa?" Fay memprotes.
"Aruna minta gue jemput." Jawab Kai sambil menunjukkan isi whatsapp dari Aruna.
"Lagi?" Fay hampir tidak mempercayai hal ini. Lagi-lagi Kai mengabaikannya karena sepupunya Aruna meminta Kai menjemputnya.
"Dia sendirian. Udah malem juga. Nanti papanya marah-marah lagi sama gue." kata Kai.
"Gue kan pacar lo. Apa lo gak takut gue hampir kenapa-kenapa lagi kayak waktu itu?" Fay menatap Alvin meminta dukungan. Namun pria itu terlihat tidak mau terlibat sama sekali.
"Ada Alvin." Kai menunjuk Alvin menggunakan dagunya.
Alvin seketika mendongak dan menunjuk dirinya sendiri. "Gue?"
"Iya. Lo bisa kan anter Fay pulang?"
Fay menatap Alvin tajam. Meminta pria itu untuk tidak menyetujui permintaan Kai. Akan tetapi pria itu hanya terdiam. Tidak menyetujui apalagi menolak. Sehingga Kai menganggap bahwa diamnya Alvin merupakan persetujuan.
Fay pun menyerah. Lagipula Alvin kelihatannya pria baik-baik.
"Jangan marah." ucap Alvin sesaat setelah Fay menuruni motornya karena sudah sampai di depan gerbang rumah Fay.
"Gue gak marah kok." Fay berusaha menyangkal. Ia memang marah. Sangat marah. Lagi-lagi Kai menomorduakan dirinya setelah Aruna.
"Jangan pernah cemburu sama Aruna. Kai gak mungkin sama Aruna. Dia nganggap Aruna adiknya. Lo tahu dia dulu punya adik perempuan tapi meninggal karena sakit. Makanya sekarang dia bersikap kayak gitu sama Aruna. Aruna itu sepupu satu-satunya Kai. Dia cuma pengen jadi sosok kakak yang baik. Dari kecil Aruna udah sama Kai, dia jadi bergantung sama juga kayak Kai yang gak bisa jauh dari Aruna."
"Aruna sepupu jauh Kai. Jadi,..." entah kenapa saat mengatakan hal itu membuat dada Fay terasa sedikit sesak. Kenapa juga ia harus ikut campur urusan pria itu.
Jangan pernah lupakan perjanjian itu, Fay.
"Kalau lo pikir Kai bakalan jatuh cinta sama Aruna..." Alvin tersenyum hangat. "Itu mustahil."
"Dulu waktu Kai SMP dia pernah jatuh sakit saat mama-papanya ke luar negeri. Gak ada orang di rumah saat itu. Kai hampir mati kalau aja Aruna gak dateng dan bawa dia ke rumah sakit. Sejak saat itu, dia berjanji sama dirinya sendiri bakalan jagain Aruna sama seperti Aruna dulu jagain dia waktu sakit. Gue harap lo ngerti kenapa Kai kayak sekarang." Alvin sebisa mungkin menjelaskan kejadian beberapa tahun lalu. Memberikan Fay pengertian.
Fay terdiam di tempatnya. Ternyata karena hal itu Kai selalu lebih mengutamakan Aruna dibandingkan dengan dirinya. Ah ya ampun bodoh sekali dirinya sempat merasa marah karena Kai lebih memilih mengantar Aruna pulang daripada dirinya.
Karena Kai merasa berhutang budi karena Aruna pernah menolongnya dulu saat sakit makanya dia tidak pernah bisa meninggalkan Aruna.
"Fay." Mamanya muncul dari dalam rumah. Berjalan menghampirinya dan Alvin.
Beberapa saat mama Fay memandang Alvin dari atas sampai bawah dengan penuh selidik.
"Kenapa gak telpon. Kan kakak kamu bisa jemput kamu. Jadinya ngerepotin pacar kamu kan?"
Kening Fay mengernyit.
Alvin tertawa hambar sambil mengibas-ngibaskan tangannya di udara. "Saya bukan pacarnya Fay, tante. Saya temennya. Tadi Kai, pacarnya gak bisa nganterin Fay makanya saya yang nganterin dia pulang." jelas Alvin meluruskan kesalah fahaman mama Fay kepadanya.
"Nama kamu siapa?" tanya mama Fay. Merangkul Fay lebih mendekat kepadanya bersikap melindungi.
"Alvin tante."
"Oh nak Alvin. Makasih yah udah nganter Fay pulang."
Alvin mengangguk. "Gapapa tante. Lagian rumah aku juga searah."
"Mm.. tante. Maaf Fay nya pulang malem banget. Lain kali Alvin bakalan bilang sama Kai supaya pulangnya gak kemaleman lagi."
***
"Vero!!! Kalau kerja yang bener dong." teriak Aruna saat kodok yang akan mereka bedah malah melompat kearahnya. Untung saja dengan repleks ia bisa menyingkirkan kodok itu dari roknya.
Sungguh sial nasib Aruna harus sekelompok dengan Vero. Laki-laki paling menyebalkan dan tidak pernah mengenal kata serius di dunia ini.
"Maaf gue gak tau kalau kodoknya masih hidup." Vero nyengir seolah tak melakukan kesalahan.
"Udah lo gak usah kerja. Lo duduk manis aja dipojokan sana!" Aruna mengusir Vero.
Vero hanya mundur selangkah. Senyum tak berdosanya itu menghiasi wajahnya.
"Sana duduk disana!" teriak Aruna kali ini menggunakan tangannya untuk mendorong Vero.
Vero pun menyerah. Berjalan mendekat ke kelompok Fay.
"Jangan coba-coba mendekat! Atau lo yang gue bedah." ancam Fay sambil mengacungkan pisau bedah tepat di depan wajah Vero sebelum pria itu mendekat dalam radius dua meter.
Vero mati kutu dan duduk di pojokan seperti yang Aruna perintahkan padanya. Sudahlah. Bukannya bagus bisa duduk manis sementara yang lainnya mengerjakan.
"Vero kenapa kamu malah duduk. Bukannya bantuin kelompok kamu." tegur Bu Intan guru biologi berkacamata bulat itu.
"Aruna gak mau saya ikut kerja bu. Dia nyuruh saya duduk. Yaudah saya duduk aja." jawab Vero jujur.
Disana ia melihat Aruna komat-kamit mengutuknya dengan berbagai sumpah serapahnya. Karena merasa menang ia pun mengacungkan jari tengahnya. Membuat Aruna semakin geram.
"Udah! Kamu kembali ke kelompok kamu." perintah Bu Intan.
"Awas kalau lo buat kekacauan lagi. Lo gantian posisi sama kodok ini." desis Aruna kejam.
Vero hanya mengangguk-angguk. Diam dan mengatupkan bibirnya sampai kegiatan berakhir.
***
161018
Flower Flo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top