DELAPAN BELAS

Teman, melihat kejadian-kejadian memprihatinkan yang terjadi di Indonesia membuatku hilang harapan. Aku nggak lagi melihat negara ini bisa menjadi tempat yang lebih baik untuk anak-anak kita. Mimpi-mimpi bisa putus begitu saja di sini. Uang-uang yang seharusnya bisa digunakan untuk memfasilitasi anak-anak muda di bidang seni, olahraga, science dan lainnya dicuri untuk memperkaya diri sendiri, dan banyak lagi. Moral sudah terlupakan di negara ini dan yang tersisa hanyalah keserakahan dan keegoisan. Sedih banget.

Aku beruntung aku menulis novel. Karena di sinilah aku bisa melupakan apa yang terjadi di dunia nyata dan menciptakan dunia yang ideal. Seandainya aku nggak menulis, aku pasti depresi berkelanjutan. Semoga dengan membaca cerita-ceritaku juga kamu bisa mendapatkan tempat yang aman dan nyaman untuk sejenak melarikan diri dari realitas.

Kalau kamu masih ada rencana untuk belanja di tanggal 4.4 ini, 4 bukuku sedang diskon 25% di Shopee Gramedi Official. Ada A Wedding Come True, The Perfect Match, The Promise of Forever dan Right Time To Fall In Love. Ada gratis ongkir dan voucher cashback--tadi aku kebagian hihihi. Kalau ingin lebih murah lagi, kamu bisa beli Fiction Premium Package di app Gramedia Digital seharga Rp 34.300,- dan kamu bisa baca semua bukuku di sana selama sebulan penuh. Kalau ada pertanyaan, WhatsApp aku di 083155861228 atau DM di Instagram ikavihara ya. Kalau kamu tanya di Wattpa, aku lama balasnya.

Have a great day, jangan lupa tinggalkan komentar untukku ya.

***

Aku melangkah pelan menyusuri trotoar. Karena sudah lama sekali aku tidak meninggalkan kantor sebelum matahari terbenam, aku memutuskan untuk berolahraga sebentar. Berjalan sampai kakiku lelah, lalu memanggil taksi dari tempatku berdiri. Malam ini aku ingin memasak untuk Bangkit. Untuk membuktikan kepada Bangkit bahwa aku benar-benar bisa memasak, setelah beberapa kali dia menggodaku, bilang tidak percaya masakanku lebih enak daripada makanan mana pun yang pernah dia beli. Saat Bangkit tidak bepergian ke luar pulau, kami bertemu hampir setiap malam. Kami seperti tidak bisa bertahan hidup kalau tidak mencium satu sama lain.

Nyaris tidak ada hambatan dalam perkembangan hubunganku dengan Bangkit. Kami semakin dekat secara emosi. Tidak pernah ada satu hari yang tidak kami habiskan dengan tertawa bersama. Hanya ada satu gangguan yang membuatku kesal setengah mati setiap mengingatnya. Darwin. Yang setiap hari menghubungiku. Sejauh ini aku berhasil mengabaikan semua panggilannya. Banyak pesan yang dia kirimkan, semua sama. Menyatakan Darwin ingin bertemu dan bicara denganku. Sayangnya, Darwin adalah orang yang tidak mudah menyerah. Tidak berhasil mendapat jawaban dariku, Darwin menelepon Sali. Sampai Sali merasa terganggu dan menyarankanku untuk menemui Darwin sekali saja, supaya Darwin mendapatkan kejelasan mengenai hubungan kami. Yang sudah berakhir itu.

Kalau dipikir-pikir, saran Sali masuk akal. Sampai hari ini, aku tidak mengatakan apa-apa kepada Darwin. Tidak menjawab setuju atau tidak setuju ketika Darwin menyarankan kami putus sementara. Juga aku tidak mengiyakan atau menolak saat Darwin memintaku untuk menunggunya. Dan itu bukan salahku. Aku ingin mengatakan langsung kepada Darwin setelah aku menerima penjelasan darinya. Tetapi Darwin memilih mengabaikan teleponku dan menghilang dari hidupku.

Sebaiknya nanti malam aku meminta pendapat Bangkit. Apakah aku harus menemui Darwin untuk memperingatkan Darwin supaya tidak menggangguku. Atau tidak, siapa tahu lama-lama Darwin lelah sendiri. Bagaimana pun juga, Bangkit adalah bagian terpenting dalam hidupku sekarang, seperti halnya Darwin dulu, dan aku ingin berdiskusi mengenai masalah apa pun dengannya. Ditambah pengalaman hidup Bangkit lebih banyak daripada milikku, karena dia lahir lebih dulu. Kalau Bangkit berpendapat sama dengan Sali, bahwa Darwin berhak mendapatkan penjelasan dariku—walaupun dulu Darwin tidak melakukan hal yang sama kepadaku—aku akan mengikuti. Siapa tahu penegasanku bisa meringankan beban di hati Darwin. Supaya Darwin bisa segera melangkah maju dan bertemu dengan wanita yang tepat untuknya. Lalu berhenti menggangguku.

Aku mendengus. Belum tentu Darwin ingin menemuiku untuk menyambung kembali hubungan kami yang telah terputus. Siapa tahu dia berpikir aku sedang menunggunya dan dia berniat untuk mengakhiri hubungan kami secara resmi, karena dia sudah lebih dulu bertemu belahan jiwanya. Sepertinya kemungkinan yang terakhir lebih berpotensi terjadi. Tetapi tidak ada salahnya menerima ajakan Darwin untuk bertemu dan membuat segalanya menjadi terang benderang. Hatiku sudah tidak mungkin patah lagi. Lebih-lebih di tangan Darwin. Sebab hatiku kini sudah berganti pemilik.

Ponselku berbunyi dan bergetar. Aku merogoh tasku. Panggilan dari Sali. Oh, aku lupa memberitahu Sali kalau aku akan pulang sangat cepat sore ini. Sendirian.

"Hei, Sal," sapaku dengan riang.

Siapa pun yang sudah lama mengenalku, pasti tahu perubahan drastic pada diriku sebelum dan setelah bertemu Bangkit. Elaisa yang sekarang lebih sering tersenyum dan tertawa. Optimisme dan kepercayaan dirinya kembali lagi. Semua orang semakin senang berteman dengannya. Aku sendiri lebih menyukai diriku yang sekarang.

"Elaisa Jameka! Kucari-cari dari tadi! Ke mana kamu?" Sali langsung mengomel. "Ayo kita ngopi. Bosen. Mau cerita-cerita nih."

"Sorry aku udah di jalan. Pulang. Tadi kan aku sudah bilang aku ada janji sama Bangkit malam ini. Tapi dia nggak jadi jemput. Nggak bisa. Karena dia ada penundaan video conference, ada masalah koneksi atau apa. Jadi aku pulang duluan. Sendirian. Mau masak. Biar bisa langsung makan pas dia sampai di tempatku nanti." Aku semakin memelankan langkahku, karena harus membagi konsentrasi antara bicara dengan Sali dan memperhatikan kalau ada paving trotoar yang mencuat dan bisa membuatku tersandung.

"Nyesel banget aku ngenalin kamu sama dia. Sekarang kamu lebih milih main rumah-rumahan sama sepupuku daripada duduk ngopi sama aku."

Gerutuan Sali membuatku tertawa.

"Nggak bisa banget ya, kamu lihat aku bahagia?" Selamanya aku akan berterima kasih kepada Sali. Tidak hanya menemaniku selama aku patah hati, dia juga mengenalkanku kepada sepupunya, seseorang yang membuatku jatuh cinta habis-habisan. "Kamu akan masuk surga lho, Sal, kalau aku dan Bangkit sampai menikah dan bahagia. Karena kamu membantuku bersatu dengan jodohku."

"Sekarang, aku lebih perlu teman untuk mengeluhkan tentang kelakuan laki-laki daripada tiket masuk surga. Kamu tahu nggak, tadi malam Hannes ngomong apa? Masa dia bilang ... Ela, kok rebut banget? Kamu di...." Aku masih sempat mendengar suara Sali di antara teriakan dan jeritan orang-orang.

Namun aku mengabaikan pertanyaan Sali dan mencari sumber suara. Aku ingin tahu apa yang terjadi. Selama berjalan kaki tadi, banyak orang berlalu-lalang di trotoar. Beberapa duduk di halte menunggu kendaraan umum. Memang ramai, tapi tidak berbeda dengan biasanya. Namun kenapa sekarang ribut sekali seperti ini? Seperti sedang ada perang saja.

"Sal, nanti aku telepon lagi, sekarang berisik, nggak bisa dengar, beri...." Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, ponselku terlempar dari tanganku. Jatuh beberapa meter di depanku.

Aku tidak bisa meraihnya. Tanganku tidak bisa digerakkan. Seluruh tubuhku mati rasa. Kepalaku terasa seperti dihantam godam sebesar dunia. Ingin sekali aku berteriak meminta tolong. Agas siapa pun membangun aku berdiri. Tetapi suaraku tidak bisa keluar mesk aku sudah membuka mulut lebar-lebar dan berteriak sekuat tenaga. Sebelum aku sempat berpikir, sekelilingku menggelap. Suara-suara yang tadi membuat telingaku tuli perlahan menghilang. Wajah orang-orang yang kucintai berkelebat di kepalaku. Kedua orangtuaku, kakakku, Sali, dan Bangkit.

Mati. Ketakutan mendera diriku. Aku sedang di ambang kematian. Tanpa didampingi keluargaku. Bagaimana caranya mengucapkan selamat tinggal kepada mereka? Bagaimana caranya meminta maaf kepada ibuku, setelah aku sedikit marah kepadanya, hanya gara-gara beliau memintaku untuk tidak banyak-banyak menghabiskan waktu di kantor dan mulai memikirkan berkeluarga?

"Ampuni semua dosaku, Tuhan, jika ini adalah napas terakhirku. Semoga ... semua ... Bangkit juga ... tahu aku mencintai mereka...."

***

"An ... drei?" Saat aku berhasil mengangkat kelopak mataku, aku mendapati kakakku tengah mengusap keringat di keningku. Kenapa ada kakakku di sini? Bukankah dia tinggal di luar negeri? Di negara mana? Aku berusaha membuka mulut untuk bertanya tapi kerongkonganku terasa kering sekali.

"Aku panggil suster dulu." Andrei menekan tombol di dinding di atas tempat tidurku.

Suster? Kenapa Andrei harus memanggil suster? Siapa yang sakit? Aku berusaha menggerakkan kaki. Dan anggota tubuhku yang lain. Tetapi aku tidak bisa. Terlalu berat. Kamar mandi, aku perlu ke kamar mandi dan membasuh wajahku. Sama seperti kerongkonganku, wajahku terasa kering sekali seperti aku baru dijemur di gurun.

"Syukurlah kamu sudah bangun, Ela." Dunia benar-benar sudah gila. Andrei mencium keningku. Aku tidak ingat Andrei pernah melakukannya. Kakakku sering memelukku, tapi dia tidak pernah mencium kening atau pipiku. "Papa dan Mama sedang istirahat di apartemenmu. Aku baru akan memberi tahu mereka, kalau kamu sudah bangun, besok pagi. Supaya mereka bisa tidur malam ini."

Dua orang wanita berpakaian biru pucat menghampiriku dan melakukan sesuatu pada badanku. Aku tidak tahu apa. Tubuh bagian atasku terasa sakit setiap kali aku menarik napas. Setelah salah satu dari mereka menyuntikkan sesuatu ke dalam selang yang menggantung di sebelah kananku, rasa sakit di tubuhku sedikit menghilang.

"Ha ... us...." Aku berusaha memberitahu mereka apa yang paling kubutuhkan saat ini.

Kenapa mereka menyendokkan air sedikit demi sedikit ke bibirku? Apa aku tidak boleh langsung minum lima gelas air? Sesendok air tidak banyak membantu. Saat ini, aku merasa seperti baru saja tiba di sungai dengan air jernih mengalir setelah tiga tahun tersesat di padang pasir dan tidak bertemu dengan satu sumber air pun di sana.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top