36 | Finally Safe
(Picture isn't belong to me)
*
“Ayah, semesta itu apa?”
Saat Calypso berusia 3 tahun, gadis kecil itu pernah bertanya saat Shanks mengajaknya jalan-jalan ke ladang lavender liar di salah satu pulau tak berpenghuni. Tangan kecilnya memegang erat tangan ayahnya, satunya lagi menyentuh bunga lavender yang tingginya hampir setara dengan tinggi tubuhnya. Kepalanya mendongak menatap pria tersebut yang menghalangi sinar matahari di balik tubuhnya.
Shanks terdiam, dia terlihat sedang berpikir. Beberapa detik kemudian dia menunduk, mengangkat tubuh Calypso untuk berdiri di atas bebatuan yang berada di tengah-tengah ladang tersebut. “Apa yang kau lihat, Calypso?” tanyanya.
Calypso mencurutkan bibirnya. Lantas dia berkacak pinggang. “Bunga lavender?”
“Selain itu?” tanyanya lagi.
“Ada pohon, ada rumput, ada ... Umm ... Langit, ada tanah, ada udara—oh! Ada semut!” Calypso tiba-tiba berjongkok, menunjuk seekor semut besar yang berjalan di sekitar kakinya. Shanks menyentil serangga tersebut, agar tidak menggigit kaki kecil gadis itu.
“Banyak sekali bukan yang ada di ladang ini?” tanya Shanks. Gadis kecil itu mengangguk antusias. Sepertinya dia sudah lupa dengan pertanyaannya barusan, sebab kini dia mulai tertarik dengan lumut kecil serta tanaman pakis yang tumbuh di bebatuan tersebut.
“Kau ibaratkan seperti ladang ini, Calypso. Sangat luas. Ada banyak hal yang terdapat di sini, seperti yang kau sebutkan barusan.”
Calypso menatap ayahnya bingung. “Aku tidak mengerti apa yang Ayah bicarakan. Aku tidak memiliki ladang lavender.”
Shanks tersenyum. Dia mengelus kepala si kecil dan membetulkan sejenak lengan gaunnya yang geser dari bahunya. “Coba kau bayangkan, bagaimana jika yang kau lihat sekarang dirusak oleh seseorang? Tidak ada lagi bunga lavender, tidak ada lagi pepohonan, dan semua hewan mati. Apa yang akan kau rasakan?” tanyanya.
Gadis berusia 3 tahun itu cemberut. Perlahan dia menjawab, “Aku akan sedih ...”
Pria berambut merah itu kembali mengelus kepalanya. “Itu yang Ayah akan rasakan jika sesuatu yang buruk terjadi padamu.”
Calypso terdiam. Dia mendongak menatap ayahnya yang berdiri tepat di belakangnya. Senyum manis terukir di bibir pria itu, mata cokelat gelapnya menatanya dengan teduh. Perlahan Shanks mendekat, dan mengecup keningnya.
“Kau segalanya bagiku, Calypso. Kau segalanya.”
Memang saat itu Calypso masih kecil, tapi entah kenapa dia paham apa yang dikatakan ayahnya. Bahkan dari tatapannya saja, gadis itu paham bahwa dia benar-benar dicintai dan disayangi olehnya. Dia tidak memiliki ibu, bahkan dia tidak mengenal siapa wanita itu. Dia hanya mendengar sekilas tentangnya. Tapi entah kenapa memiliki seorang ayah saja sudah sangat cukup baginya.
Tangan kecilnya terangkat. Menyentuh pipi pria itu. “Kau juga segalanya bagiku, Ayah,” katanya. Hal tersebut berhasil membuat hati pria itu berdesir. Dia memang sudah kehilangan Karina, tapi Tuhan masih memberikannya kesempatan untuk melindungi dan mencintai buah hatinya.
BRAK!
Shanks terbangun dari mimpinya saat tubuhnya terjatuh dari kasur. Punggungnya langsung terasa nyeri, dia meringis seraya mengumpat karena ranjang yang dia tiduri terlalu kecil dibandingkan dengan yang ada di kabinnya. Dia duduk sejenak seraya mengusap wajahnya kasar. Rasa pengar masih terasa akibat efek minuman keras yang semalam dia konsumsi. Shanks menatap jam dinding, sekarang sudah pukul 10 pagi. Sial, dia telat bangun!
“Calypso!”
Pria itu memanggil satu-satunya perempuan yang ada di rumah penginapan tersebut. Dia berjalan ke kamar sebelah, dan mengeceknya. Putrinya tidak ada di sana. Alhasil dia lanjut ke ruang tengah dan dapur. Tidak ada kehadiran gadis itu di sana.
“Kau mencari Calypso, Bos?” tanya Rockstar yang sedang mengambil air minum di dapur.
“Yeah, di mana anak itu?” tanya Shanks. Pasalnya semalam pria itu sudah berjanji untuk menemaninya ke ruangan khusus yang ada di perpustakaan pulau Elbaf tepat pukul 9 pagi. Sebab mereka akan sarapan terlebih dahulu di bar langganan mereka di dekat dermaga.
“Dia sudah duluan bersama Benn dan yang lain ke bar.”
Oh, sial! Shanks benar-benar sudah membuat kesalahan!
Akhirnya tidak sampai 10 menit, Shanks sampai di bar yang dimaksud. Di sana sudah sangat ramai berisi para raksasa dan kru bajak laut Akagami yang menikmati sarapan sekaligus beberapa botol bir di pagi hari, namun dia tidak menemukan batang hidung gadis berambut merah tersebut. Yang ada justru malah Roo yang berlari dengan riang ke arahnya.
“Bos!! Kita memiliki banyak kunjungan dari beberapa armada sekutu!” katanya seperti biasa membawa daging panggang di tangan.
“Kunjungan?” Alis Shanks menekuk. Dia tidak merasa ada janji pertemuan di pulau Elbaf. Lagi pula, bagaimana bisa lokasinya diketahui oleh banyak orang? Ah sial, persetan dengan itu. Sekarang yang penting itu di mana anak gadisnya? “Oy, Roo. Kau lihat Calypso?” tanyanya.
“Calypso? Oh, gadis itu ke perpustakaan bersama Saul. Dia bilang kau masih tertidur tadi.”
Shanks menepuk jidatnya keras-keras. Dia harus menyusul Calypso. Jelas, putrinya akan merajuk karena dia yang kebablasan tidur akibat mabuk hingga tengah malam. Namun belum sempat pria itu keluar dari bar, dia sudah dicegat oleh segerombolan orang-orang yang datang menghampirinya.
“Kapten!! Akhirnya kami bertemu denganmu, Kapten!!”
Oh tidak.
* * *
Sebenarnya, ada satu hal yang Calypso ingin beri tahu sejak lama. Namun dia belum menemukan waktu yang pas, dan selama dua tahun ke belakang, dia mencari beberapa informasi mengenai keberadaan sekelompok makhluk yang terbuang. Dia ada, namun keberadaannya begitu abu-abu. Tidak seperti Nymph atau peri yang keberadaannya memang sengaja mengasingkan diri agar tidak diketahui oleh manusia. Namun yang ini sedikit berbeda. Mereka terbilang berbahaya, pandai berkelit dan menipu manusia dengan tipu muslihatnya. Jumlah mereka bisa dikatakan cukup banyak. Tersebar di seluruh dunia dan bersembunyi di balik topeng mereka.
Tujuan mereka adalah kekuatan dan keabadian. Mendengar cerita Benn, yang mengatakan jika penyihir telah menipu mereka dan menginginkan jantungnya yang mewarisi kemampuan Nymph untuk dijadikan persembahan dalam ritual keabadian, itu sudah cukup membuatnya merasa waspada.
Benar, para penyihir.
Dari beberapa literatur yang telah dia kaji, mereka didominasi oleh perempuan. Menutup diri menjadi manusia normal yang tidak dicurigai oleh siapapun di sekitarnya. Bahkan Ayah dan para pamannya pun nyaris kegocek, dan Calypso hampir tewas dengan kondisi dada yang bolong.
“Kau yakin hanya ini yang terakhir?” tanya Calypso. Gadis itu terbang ke arah rak buku paling atas dan mengecek sekali lagi buku mengenai keberadaan mahluk terbuang tersebut.
“Ya. Ini yang terakhir.”
Calypso mendengkus. Dia turun dan kembali menghilangkan sayapnya. Total buku yang telah mereka cari selama 2 jam hanya terdapat 2 saja yang tersedia mengenai kaum penyihir. Gadis itu juga tidak bisa protes, sebab mungkin saja para ilmuan di Ohara lebih peduli meneliti mengenai sejarah peradaban dibandingkan makhluk mitologi ataupun sejenisnya.
Mungkin setelah ini, dia perlu mencari literatur di perpustakaan kastel Pangaea. Kakeknya pasti mau membantunya. Tidak seperti ayahnya yang justru malah lupa janjinya dan asik tidur dengan air liur yang mengalir seperti sungai. Ingatkan Calypso kalau dia sedang marah dengan pria tua itu.
“Aku harus ke ruangan khusus itu, Saul. Aku perlu memastikan sesuatu.”
Yang Calypso maksud adalah ruangan tempat di mana dia mendapatkan batu kehidupan elemen tumbuhan. Mungkin dengan meneliti gulungan kuno yang ada di sana, dia bisa mengetahui langkah selanjutnya setelah batu kehidupan berhasil terkumpul. Pasalnya wanita yang bernama Oread itu belum kunjung menemuinya. Salah dia juga kenapa saat bertemu dengannya tidak langsung bertanya banyak mengenai hal ini. Dia jadi kesulitan sendiri. Kalau Calypso boleh jujur, dia sudah tidak sabar ingin mengembalikan pulau Veela dan bertemu dengan Ibu. Dia ingin sekali mempertemukan ayahnya dengan wanita yang dia cintai.
Sesampainya di sana, seperti biasa dia menerangkan seisi ruangan dengan cahayanya. Membuat semua detail yang ada di sana terlihat begitu jelas. Gadis itu terbang, melihat gulungan yang terpanjang dengan seksama. Terus bergerak mengeliling, barangkali dia paham apa tulisan aksara tersebut yang baginya itu sudah persis seperti cakar ayam.
“Kau memahaminya?” tanya Saul. Dia setia masih menemaninya. “Mungkin sebaiknya kita mengajak ayahmu saja—”
“Dia pasti sibuk minum sake di bar!” potong Calypso. Saul tersenyum kecut. Pria raksasa itu tahu jika ayah dan anak itu sedang berselisih. Lebih baik dia tidak usah ikut campur atau dia bisa berakhir buruk.
Calypso kembali fokus. Ini percuma. Mau terbang berkeliling sebanyak 15 kali pun dia tidak akan mengerti. Alhasil gadis itu turun. Dia berkacak pinggang, tengah berpikir bagaimana agar terjadi sesuatu. Sebab sudah lama sekali dia tidak ke tempat ini. Pertama dan terakhir kunjungannya itu saat dia berusia 5 tahun. Saat sibuk berpikir, seketika Calypso menatap lantai ruangan yang memiliki corak seperti matahari. Kalau tidak salah, dulu dia berdiri tepat di tengah-tengah dan cahaya muncul dari atas.
Akhirnya tanpa menunggu lama lagi, dia melakukannya. Dia berdiri di tengah-tengah, dan berkonsentrasi. Memusatkan energi magisnya untuk mengaktifkan kemampuan merasakan alamnya. Dan seperti yang bisa ditebak, cahaya itu benar-benar muncul. Mengenai langsung tubuhnya. Membuat kepalanya tiba-tiba kosong dan beralih pada sebuah visualisasi yang begitu kompleks. Saul yang melihat dari kejauhan memanggil namanya berkali-kali.
Hingga kemudian suara dentuman terdengar dari kejauhan, bersamaan dengan cahaya tersebut yang menghilang. Calypso meringis seraya mengusap kepalanya yang sedikit pusing.
“Calypso, kau tidak apa-apa?!” tanya Saul.
Gadis itu perlahan berdiri dan mengangguk kecil. “Suara dentuman apa—” pertanyaan gadis itu terhenti saat dia mulai mendeteksi keberadaan banyak orang (bukan penduduk asli pulau Elbaf) di dekat dermaga.
“Suaranya berasal dari luar. Kita harus mengeceknya!” ucap Saul. Raksasa tersebut memberikan tangan besarnya untuk dinaiki Calypso agar mereka bisa cepat sampai di dermaga.
Ternyata benar, di dermaga sangat ramai oleh kapal bajak laut yang sebagian besar tidak dikenali olehnya. Siapa mereka? Apa jangan-jangan mereka datang untuk mengepung dan menyerang bajak laut Akagami?
Gadis berambut merah itu langsung melompat turun dari tangan Saul dan berlari menuju Red Force. Beberapa kru bajak laut Akagami tengah menyiapkan layar dan mengangkat jangkar. Sial, apakah mereka akan segera berlayar dan tidak ada satupun yang mau memberitahunya? Atau memang mereka niat ingin meninggalkannya begitu saja di pulau ini?!
“Permisi, aku mau lewat!” ucap Calypso seraya menyerobot orang-orang yang menghalangi jalan. Hal tersebut membuatnya langsung diberi tatapan tak suka terutama oleh para wanita.
“AYAH!!” teriak Calypso. “Apa-apaan maksud Ayah ini?! Kalian ingin meninggalkanku?!”
Shanks yang sedang melihat sebuah catatan intel yang dikaji oleh Hongou sontak menoleh saat mendapati kehadirannya. Mata pria itu melotot, mungkin kaget dengan penampilannya yang sedikit berantakan akibat berdesakan dengan orang-orang atau memang gadis itu frustasi lantaran pria itu telah melakukan kesalahan padanya. “Bu—bukan itu maksud Ayah!”
“Ayah kalau begitu seharusnya bilang dari awal saja! Biar aku sendiri yang datang ke pulau Veela dan mengemba—”
Kalimat Calypso terhenti saat Shanks menyentuh kepalanya dan mengelusnya dengan lembut. Gadis itu terdiam menatap iris cokelat gelap pria itu yang juga sama-sama menatapnya. “Ayah hanya menyuruh mereka memindahkan kapal. Sekarang situasinya mendesak, lebih baik kau bantu menggerakkan arus untuk menggeser kapal-kapal tersebut menjauh dari wilayah dermaga utama.”
Calypso berdecak. “Memangnya situasi terdesak seperti apa? Dan lagi, kapal-kapal siapa ini?!” tanyanya.
Shanks terkekeh kecil. “Mereka armada sekutu. Datang berombongan untuk menemui ayah,” jelasnya.
Gadis itu mencibir. Menanyakan kira-kira apa alasan para armada sekutu (yang sepertinya masih setingkat kroco itu) datang menemui ayahnya? Tidak ada yang menarik dari Shanks Akagami selain kekonyolannya. “Aneh sekali mereka!”
“Di depan sana terdapat bajak laut Kid. Dia pernah menantang kita dua tahun yang lalu.” Yasoop tiba-tiba memberikan penjelasan. Calypso mengingat-ingat sejenak, kalau tidak salah kapten Kid adalah salah satu bajak laut generasi terburuk yang sempat bentrok dengan Benn, lalu bernasib sial saat harus kehilangan tangan kanannya oleh wakil ayahnya itu.
Calypso mendengkus. “Aku tidak sengaja melihatnya ada di Wano. Jangan remehkan dia, kepalanya bernilai 3 miliyar.” Calypso naik ke dek paling atas. Tangannya bergerak membentuk pusaran untuk mendorong kapal di sekitar mereka agar menjauh.
“Yeah, Ayah tahu. Tapi serangannya terlalu fatal.” Shanks bergumam. Tiba-tiba dia memberikan aba-aba pada Dorry dan Brogy, duo raksasa yang memiliki daya tempur begitu kuat untuk bersiap di sisi lain pulau. Namun belum sempat Calypso bertanya apa rencana ayahnya, sesuatu seperti medan magnet kuat terasa dari radius ratusan meter di ujung sana. Membuat kapal yang telah Calypso dorong agar menepi, justru kembali tertarik menuju satu titik pada pemilik kekuatan tersebut.
Belum sempat Calypso mengeluh karena aksinya sia-sia, kaisar laut Akagami lebih dulu melesat sangat cepat menuju kapal bajak laut Kid. Aura Haki rajanya meledak, mengguncangkan sekitar bahkan dirinya nyaris terjatuh jika tidak cepat-cepat berpegangan dengan pagar pembatas. Pedang Gryphon miliknya bersinar, mengeluarkan letupan aura Haki bewarna merah kehitaman yang meledak tak beraturan.
Calypso dibuat terdiam. Lantaran ini pertama kalinya dia melihat jurus Kamusari milik ayahnya yang terlihat ... Sangat berbeda, dengan sangat cepat meluluhlantakkan kapal musuh beserta isi-isinya dalam kurun waktu 5 detik. Kekuatan besar macam apa itu?
Tak lama kemudian, Shanks kembali muncul seraya membawa kertas besar yang Calypso tebak adalah salinan poneglyph yang dimiliki oleh bajak laut tersebut. Hingga akhirnya serangan susulan muncul dari Dorry dan Brogy yang meratakan kapal tersebut.
Shanks memberikan salinan poneglyph tersebut pada Lime. Lalu dia menghampiri Calypso. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Gadis itu hanya mengangguk patah-patah. “... Kenapa Ayah ... Sampai harus menyerang mereka seperti itu?” tanyanya.
Pria itu tersenyum. “Jika aku biarkan mereka menyerang, itu akan membahayakan orang-orang di pulau. Membahayakan kruku dan juga kau.” Tangannya terulur, merapihkan rambut beserta poni tipisnya yang berantakan. Calypso tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengangguk kecil dan berbalik bergabung dengan yang lain.
“Siapkan semuanya, kita akan kembali berlayar.” Shank berjalan ke haluan menghampiri Snake.
“Kemana tujuan kita selanjutnya, Bos?”
Shanks terdiam. Pria itu menatap garis cakrawala selama beberapa detik, hingga kemudian dia menjawab dengan mantap.
“Pulau Veela.”
* * *
Calypso tidak menyangka jika perjalanan menuju pulau Veela begitu rumit. Mereka turun dari Red Force di kepulauan kecil tak berpenghuni yang berdekatan dengan batas Calm Belt. Mereka melanjutkan perjalanan menggunakan perahu kincir bermodal kompas serta arah matahari dan bintang. Melihat bagaimana ayahnya yang cakap mengatur setir kemudi, membuatnya menilai jika saat ibunya masih hidup, pria itu banyak mengorbankan waktu untuk bisa mengunjunginya. Calypso menatap punggung ayahnya yang sedang mengambil selimut dari tas duffelnya. Saat pria itu menoleh dia tersenyum.
“Ayah kira kau tertidur tadi.” Pria itu mendekat dan mengenakan selimut tersebut ke tubuhnya yang hanya mengenakan sweater.
“Aku bosan, hanya bisa tidur dan makan selama 5 hari ini. Bagaimana bisa kau menahan rasa bosan ini, Ayah?” tanyanya.
Shanks terkekeh, dia mengambil duduk di samping putrinya. “Kau tahu, seseorang akan melakukan segalanya untuk orang yang dia cintai. Ayah mencintai ibumu lebih dari apapun. Jadi, berlayar di perairan Calm Belt selama 5 hari itu bukanlah hal yang sulit.”
Calypso menatap pria itu lekat-lekat. Lagi-lagi dia melihat ekspresi sedih itu di matanya. Meskipun nada bicaranya terdengar baik-baik saja, tapi tatapannya tidak pernah bisa berbohong. Seharusnya gadis itu tidak usah bertanya, sebab kenangan yang diingat oleh ayahnya hanyalah detik-detik saat ibunya meninggal. Calypso memeluk ayahnya dari samping, menghirup aroma laut bercampur matahari yang menyeruak dari tubuhnya. Meskipun tercium sedikit kecut, tapi aroma inilah yang selalu menemaninya sejak dia masih kecil. Shanks melingkarkan tangannya di tubuhnya, mendekap gadis itu lebih dekat.
“Aku takut, Ayah.” Dengan posisi yang masih memeluk ayahnya, dia mengadu.
“Ada Ayah di sini, kenapa kau harus takut?” tanya Shanks.
“Aku takut setelah semua yang kita lakukan akan berakhir sia-sia,” jawabnya. “Bagaimana jika selama ini wanita yang bernama Oread itu hanya sekedar khayalanku? Bagaimana jika batu kehidupan tidak berefek untuk mengembalikan pulau serta bangsa Veela? Bagaiman—”
“Sssh! Itu tidak mungkin.” Shanks mengusap kepalanya, dan memberikan kecupan singkat di sana. “Ayah selalu percaya denganmu.”
“Tapi aku tidak percaya dengan diriku sendiri.”
“Kalau begitu percayalah dengan Ayah.”
Calypso mendongak, mencari jawaban dari tatapan teduh milik pria itu. Shanks mengelus wajahnya dan berakhir mengecup singkat keningnya. Dia tidak mengatakan apa-apa, semoga saja putrinya itu mengerti bahwa dirinya tidak perlu merasa bimbang. Jika memang pulau dan bangsa Veela tidak bisa kembali, asalkan putrinya baik-baik saja itu sudah cukup baginya. Tidak masalah dia harus kehilangan Karina dan segala kenangan indah bersamanya, asalkan tidak kehilangan Calypso. Gadis itu adalah segalanya baginya. Dia hartanya, permatanya, dan juga semestanya. Satu-satunya hal berharga yang tersisa baginya.
Matahari perlahan terbit, bersamaan dengan kapal kincir yang perlahan mendekati sebuah pembatas tak terlihat. Shanks dengan hati-hati melepas pelukan pada Calypso dan mematikan mesin. Pria itu meraih dayung dan menyentuh pembatas itu dengan benda kayu tersebut. Merasa tidak ada perubahan yang terjadi pada dayung, Shanks kembali menyalakan mesin. Kincir kembali bergerak, masuk perlahan ke dalam pembatas.
Shanks menarik napas dalam-dalam saat melihat pemandangan di depannya. Ini sudah 17 tahun lamanya dia meninggalkan tempat ini dan tidak pernah kembali. Terakhir yang dia ingat, pulau ini hancur terbakar oleh angkatan laut. Terbukti masih terdapat sisa-sisa bangkai kapal yang sudah termakan usia. Gunung vulkanik yang terdapat di tengah-tengah pulau terlihat mengecil dibandingkan sebelumnya. Terdapat pohon-pohon kecil berserta semak-semak belukar yang menutupi aliran sungai. Shanks kembali mematikan mesin kala kapal akhirnya sampai di pesisir.
Calypso terbangun, dia terkejut kala ternyata mereka sudah sampai. “Ini ... Tempatnya?”
“Ya. Ayo turun.” Shanks turun lebih dulu. dia membantu gadis itu untuk menapaki pasir putih yang terasa halus meskipun dia masih mengenakan sepatu.
Gadis itu tidak bisa berkata-kata. Lebih tepatnya dia bingung harus bereaksi apa? Senang kah? Atau justru sebaliknya? Maka dari itu dia hanya diam, memegang tangan ayahnya yang menuntunnya ke tengah-tengah pulau. Tepatnya di sebuah tempat yang terdapat pohon mati (sepertinya habis terbakar) berukuran raksasa, nyaris hampir sama dengan ukuran tubuh raksasa di pulau Elbaf.
“Ini pohonnya?” tanya Calypso memastikan.
Shanks mengangguk. “Ya. Ayah masih ingat, ini pohon ibumu.”
Calypso mendekat, dia berlutut seraya mengambil sesuatu di dalam tasnya. Sebuah kotak kayu yang berisikan 5 batu kehidupan. Gadis itu menggali sedikit tanah di hadapannya, dan menaruh batu tersebut sesuai dengan urutan yang telah diberi tahu saat dia mendapatkan visualisasi di perpustakaan Elbaf. Shanks berjongkok di sampingnya. Mengelus punggungnya untuk memberikan putrinya keyakinan.
“Aku harap ini berhasil ...” gumamnya. Lalu dia menutup lubang tersebut dengan dengan kedua telapak tangannya. mengalirkan energi magisnya, dan cahaya putih pun muncul. Namun itu hanya berlangsung selama beberapa detik, dan tiba-tiba saja menghilang.
Calypso mengerutkan keningnya, dia menatap sekitar, tidak ada perubahan sama sekali. Dia ingin langsung mengeluh dan mengatakan dirinya ini tidak berguna, namun terhenti saat ayahnya tiba-tiba menyentuh tangannya. Menutupi kedua tangan gadis itu dengan miliknya. “Kita lakukan ini bersama-sama,” ucapnya.
Gadis itu terdiam kebingungan. Lalu akhirnya memejamkan matanya untuk kembali fokus dengan energi magisnya. Cahaya putih itu kembali muncul, namun perlahan berubah menjadi cahaya biru saat suatu energi kuat muncul dari tubuh ayahnya. Cahaya biru itu semakin mendominasi, menyebar dengan cepat ke seluruh pulau. Baik Calypso maupun Shanks terbelalak atas keajaiban yang terjadi di hadapannya. Pulau mati itu perlahan berubah. Pohon-pohon raksasa dan rindang muncul dari dalam tanah. Semak-semak jelek kini tergantikan oleh tumbuhan yang begitu indah, sungai yang terlihat kecil dan kotor tiba-tiba berubah menjadi luas dengan air yang begitu jernih. Gunung yang tadinya berukuran kecil kini menjadi tinggi menjulang. Tanah kering yang mereka tapaki kini dibaluti oleh rerumputan yang terasa lembut.
Ini bentuk asli pulau Veela. Terlihat indah seperti yang dia selalu bayangkan. Pepohonan, tumbuhan dan sungai terlihat begitu serasi seperti dunia khayangan. Tapi ... Di mana para penghuni yang dijanjikan akan kembali? Ke mana para Nymph dan peri? Di mana ibunya?
Calypso berdiri, dia berjalan dengan langkah lebar menyusuri sekitar, mencari sosok yang selalu dia bayangkan dan dia mimpikan selama 17 tahun hidupnya di dunia. Air matanya nyaris keluar saat di tidak menemukan siapa-siapa di sana. Hingga kemudian Shanks menahan tangannya yang hendak pergi meninggalkan hutan. Pria itu membawanya ke dalam pelukannya. Mengusap punggungnya dan menenangkan dirinya.
“Tidak apa-apa Calypso. Kau sudah melakukan yang terbaik,” ucap pria itu.
Calypso menggeleng. Tangisnya pecah. “Kenapa mereka tidak muncul, Ayah? Kenapa Ibu tidak muncul?! Hiks ... Hiks kenapa ...” lolong gadis itu.
Shanks mengecup keningnya. Dia paham bagaimana perasaan putrinya itu, namun dia juga tidak tahu harus mengatakan apa padanya. Tangisan gadis itu terdengar semakin lirih, seperti menunjukkan rasa kecewa dan putus asa. Bohong jika Shanks mengatakan dia tidak sedih. Pria itu ikut sedih, sebab harapan dan impian mereka selama bertahun-tahun untuk bertemu dengan sosok yang mereka cintai dan rindukan harus pupus dalam sekejap mata.
“Aku ingin bertemu Ibu ... Hiks ... Aku ingin bertemu Ibu ... Kenapa dia—hiks—kenapa dia tidak muncul?!” Kedua tangan Calypso mencengkram erat tubuh ayahnya. Wajahnya sudah basah oleh air mata, bahkan sampai membasahi kemeja Shanks.
Pria berambut merah itu mencoba untuk menghela napas. Mendengar racauan putrinya membuat dadanya tiba-tiba terasa sesak. Dia berniat ingin menggendong tubuh Calypso meninggalkan hutan, namun aksinya tersebut terhenti saat mendengar seseorang memanggilnya.
“Shanks?”
Dunia Shanks rasanya berhenti. Tangis Calypso juga tiba-tiba berhenti kala mendengar suara wanita tersebut. Mereka berdua kompak menoleh. Mendapati seorang wanita cantik berambut hitam yang berdiri tepat di depan pohon beringin raksasa tersebut.
Pelukan pada putrinya terlepas. Calypso mematung. Sedangkan Shanks perlahan berjalan mendekat. Tangannya bergetar, terulur untuk menyentuh mahluk indah tersebut.
“Ka—Karina?” Suara Shanks terdengar serak. Dia menahan napas beberapa detik, hingga saat tangannya menyentuh wajahnya, dadanya tiba-tiba terasa lega. Rasa bungah langsung memenuhi dadanya dalam hitungan sepersekian detik. Pria itu dengan sekali sentak menarik wanita itu kedalam dekapannya. Rasa rindu yang teramat sangat dia lepaskan kala merasakan kembali raganya di dalam pelukannya. Shanks tanpa berpikir panjang mengecup bibirnya dengan penuh perasaan. Melepaskan rasa rindu, rasa bersalah, rasa cintanya yang tidak pernah surut meskipun waktu terus berputar. Kenangan-kenangan yang hilang entah bagaimana kembali saat wanita itu menyentuh belakang kepalanya dan membalas kecupannya.
Karina melepas ciuman tersebut. Kini dia perlahan menatap Calypso yang masih mematung di tempat. Tangan lentiknya terulur untuk menggapai anak perempuannya yang sudah besar itu. “Kemarilah ... Calypso.”
Tangis Calypso kembali pecah. Dengan langkah gontai dia berlari ke arah orang tuanya dan memeluk erat ibunya. “Ibu!”
Wanita yang merupakan ibunya itu membalas pelukannya tak kalah erat. Karina mengelus rambut merah panjangnya dan memberikan kecupan manis di keningnya. Tangis Calypso tidak kunjung berhenti, membuat Karina semakin terharu. Wanita itu menarik Shanks, memeluk mereka berdua dengan erat seakan-akan tengah membayar kebersamaannya yang menghilang setelah bertahun-tahun dipisahkan oleh waktu.
Shanks juga ikut menangis. Dia melingkarkan tangannya di pinggang wanitanya, mengecup keningnya dan kening putrinya berkali-kali. Dia tidak bisa mengekspresikan betapa bahagianya dia sekarang. Sebab keluarga kecilnya kini telah kembali.
* * *
A/N:
Terima kasih sudah mau membaca. Jangan lupa tinggalkan jejak.
Sincerely, Nanda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top