[UN] BROKEN #23

Kemana Kafka? Batinnya bertanya-tanya. Ia tidak mendapati Kafka di setiap penjuru saat ia membuka matanya. Alea menguap.

Tidak mungkin Kafka sudah kembali bekerja. Alea menggeleng pelan. Ia meraih ponselnya menghubungi nomor Kafka. Tidak aktif? Kemana dia? Alea bergeges mengecek kamar anak-anak. Masih ada lengkap. Mereka masih terlelap. Ia kemudian turun mencari mbak Tanti. Dilihatnya wanita itu sedang menyeduh minuman. Wajahnya kuyu.

"Mbak, kenapa? Sakit?"

"Kepalaku pusing, Al. Gara-gara kemarin..,"

"Jangan dibahas lagi, mbak," ujar Alea tersenyum tipis. "Mbak?"

"Kenapa, Al?"

"Lihat Bapak tidak?" tanya Alea ragu.

"Oh, Bapak? Bapak sudah berangkat, Al. Bapak sepertinya buru-buru."

"Rapi, Mbak? Pake jas, dasi?"

Mbak Tanti mengangguk. Ia melangkah mendekat membawa mug di tangannya. Bau jahe mulai menyeruak.

"Wedang jahe, mbak?" tanya Alea. Mbak Tanti mengangguk.

"Mau, Al?"

Alea menggeleng pelan. Ia menepuk sisi meja menyuruh mbak Tanti duduk bersamanya.

"Bapak sudah lama perginya?"

"Sepuluh menit yang lalu, Al. Memangnya tidak bilang?"

Alea menggeleng, "mungkin takut mengganggu tidurku, Mbak."

"Telfon saja, Al."

Alea mengembuskan nafasnya perlahan. Ia tersenyum masam.

"Tidak aktif nomornya," sahut Alea.

"Oh," gumam Mbak Tanti. Ia menyesap jahe hangatnya. Matanya bertumpu pada sesuatu yang tergeletak di atas lemari pendingin.

"Itu apa, Al?" tanya Mbak Tanti mendekati lemari pendingin itu.

"Lho, ini bukannya ponselnya Bapak ya, Al?" tanya Mbak Tanti membawa ponsel itu mendekat.

Kafka lupa membawa ponselnya? Tidak biasanya ia ceroboh seperti itu. Alea menerima ponsel itu lalu kembali ke kamarnya.

"Al," panggil mbak Tanti ketika ia hampir menyentuh anak tangga pertama.

"Mbak tidak tau ada apa dengan kalian. Tapi, apapun yang terjadi, pikirkan perasaan Abiel. Anakmu cukup syok mendengar kalian kemarin ribut."

Alea terdiam. Mbak Tanti benar. Ia selama ini tidak pernah lepas kendali seperti kemarin. Dia yang kesetanan, lupa kalau Abiel berada di kamarnya. Hanya dia yang terjaga. Ia pasti melihat semuanya atau mungkin hanya mendengar?

Alea menganggukkan kepalanya kemudian melangkah kembali. Perlahan ia memasuki kamar anaknya. Ia menghampiri tubuh Abiel yang masih terlelap, mengecupinya dengan segenap rasa bersalahnya. Hingga tanpa ia sadari crystal bening itu jatuh di pipi Abiel.

"Mommy..," lenguhnya terbangun.

"Hay, morning, kesayangan," bisik Alea.

Abiel menggeliat. Ia mengucek-ucek matanya. Terdiam, menatap dalam-dalam mata Alea. Tatapan mata yang sama persis dengan Kafka.

"Dia menyakiti Mommy?" tanya Abiel tiba-tiba.

Alea menggeleng pelan. Dia yang Abiel maksud pasti wanita yang kemarin Alea seret. Ia meraih tangan mungil Abiel kemudian mengecupinya.

"Apapun yang kamu lihat atau dengar kemarin, maafkan Mom, Sunshine," ucap Alea serak. Ia menatap Abiel sungguh-sungguh.

Abiel terbangun, merangkak kemudian memeluk Alea dengan eratnya.

"I love you, Mom," ucap Abiel terdengar jelas di telinganya.

"I love you too, sunshine," balas Alea tak bisa menahan rasa haru yang menyeruak di hatinya. Ia mengeratkan pelukannya pada pria kecilnya.

"Lekas mandi, Sayang. Mom akan mengantarmu ke sekolah."

"Adik Aaron?"

"Ada Mbak Tanti. Ayo, bangun," ucap Alea.

***

Begitu mengantar Abiel masuk ke kelasnya, Alea menyebutkan sebuah alamat pada supir taksi. Tangannya iseng membuka ponsel Kafka yang tersambung dengan powerbank. Ia meneliti satu persatu dari semua fiture media sosialnya. Dahinya mengkerut. Ia menggelengkan kepalanya.

"Dia tidak pernah menyerah untuk mendapatkanmu. Gadis polosmu," desis Alea sinis begitu membaca semua pesan dan panggilan tak terjawab.

Dia tak pernah jera meskipun aku kemarin sudah keterlaluan, menyeretnya.

Senyum sinisnya kembali tercipta saat ia tak mendapatkan satupun balasan dari Kafka. Pria itu membiarkannya begitu saja. Apa ini yang membuatnya meninggalkan ponselnya? Batinnya bertanya demikian. Sesaat ia ragu dan ingin berputar arah. Tapi kemudian ia memantapkan hatinya. Ia menulikan telinganya dari bisikan sisi hatinya.

"Terimakasih, Pak," ucap Alea tulus sambil menyerahkan selembar uang. Ia segera turun dan memasuki gedung yang selalu membuat orang berdecak kagum dengan kemewahan gedung kantor itu.

"Selamat pagi, Mrs Kafka," sapa seorang receptionist.

"Pagi. Mr Kafka ada?" tanya Alea ramah.

"Ada, Mrs. Mari saya antar."

Alea menggeleng tanpa menyurutkan senyumnya. "Biar saya sendiri saja. Terimakasih. Selamat bekerja ya?"

Alea kembali melangkah. Ia menahan napasnya beberapa detik saat dirasa ada sesuatu yang membuat perasaannya tiba-tiba tidak enak. Kafka?!! Ia mempercepat langkahnya begitu nama Kafka muncul di benaknya. Ia takut terjadi apa-apa dengan pria-nya. Kafka belum sembuh benar.

"Al?" Beny menatapnya terkejut begitu keluar dari bilik ruangannya.

"Hey, Ben. Aku hanya ingin mengantar ponselnya saja."

"Tapi,,"

Alea menautkan alisnya. Matanya menyelami wajah Beny.

"Aku tidak akan lama kok."

"Al,"

Alea terus melanjutkan langkahnya. Ia sempat melihat Beny mendesis cemas. Tepat di depan pintu, langkahnya terhenti ketika mendengar sebuah pertengkaran. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk.

"Aku tidak peduli! Meskipun dia menyeretku dalam keadaan telanjangpun aku tidak peduli. Aku hanya ingin kamu tau bahwa aku benar-benar masih mencintaimu. Sama besarnya seperti dulu!"

"Pergi dari sini! Aku tidak mau mendengar apapun darimu. Aku sudah memiliki keluarga. Dan aku mencintainya!"

"Kamu akan menyesal, Kaf. Kamu akan menyesal!"

"Tidak akan! Satu-satunya hal yang aku sesali adalah jika Alea memilih meninggalkanku."

"Kenapa harus dia? Kenapa bukan aku?"

Tidak terdengar lagi. Alea menghela nafasnya. Tangannya bergerak membuka sedikit pintu itu. Apa yang ia lihat membuat giginya bergemelutuk. Renata menyerang Kafka, mencoba meraih wajah Kafka dan menciumnya dengan kasar.

Jalang?! Sebutan itu terlalu biasa untuk seorang Renata. Yang terjadi selanjutnya Kafka mendorong kuat tubuh ramping itu hingga hampir terjengkang. Demi apa?! Ia melihat wajah marah Kafka.

"Jangan pikir aku akan menyerah pada tubuhmu! Tubuhmu tidak akan bisa memanggil libidoku. Pergi dari sini sebelum aku melemparmu keluar!"

"Aku belum selesai!"

"Ini sudah selesai!!" bentak Kafka frustasi. Ia meraih lengan Renata, mencengkeram dengan kuat. Ia menyeret Renata menuju ke pintu. Sementara wanita itu masih berteriak tak jelas.

"Ini tentang Nichlause! Dia anakmu!! Kafka!! Dia. Anakmu! Aku tidak becanda!"

Kafka menghempas kuat tubuh itu hingga membentur dinding dekat pintu.

"Anak yang mana?! Jangan bermimpi!"

"Dia memang anakmu. Anak kita!"

Anak yang mana? Alea mengernyit. Ia menggeleng, geram. Tangannya membuka pintu itu, membuat pertengkeran itu terhenti.

"Baby?"

"Mungkin aku harus berterimakasih karena kau meninggalkan ponselmu. Kalau tidak, aku tak akan tau kalau kau kehadiran tamu PENTING," ucap Alea sinis.

"Ya. Penting. Tentu saja. Aku datang ke sini untuk menuntut Kafka atas nama anak kami. Nichlause Aditya," ucapnya penuh percaya diri.

Alea menaikkan alisny sebelah. Ia menatap Kafka tak percaya.

"Yakin anak kamu?" tanya Alea pada Kafka.

"Jangan dengarkan dia bicara. Wanita sinting!" ucap Kafka tajam.

"Hehemm. Bisa jadi memang benar itu anakmu. Siapa tau? Mengingat dulu kamu pernah..,"

"Tapi tidak dengan dia! Seburuk-buruknya aku, tidak mungkin aku menebar benih sembarangan!"

Alea terkekeh. Ia melirik Renata lalu bergantian menatap Kafka. Niat awalnya dia tak seperti ini. Tapi kemudian ia tergoda untuk memancing Kafka.

"Kemarin kalian naked. Mana tau kalian melakukan apapun," sindir Alea.

Ia melihat Kafka menggeram tertahan. Matanya menatap marah Alea. Tapi tidak dengan Renata. Wajah itu kini malah bersinar seakan memiliki celah untuk masuk mengambil Kafka.

"Aku menikmati setiap sentuhannya. Dia masih sama memuaskan," ucap Renata menyelah.

Alea menyipit.

"Tidak! Aku tidak melakukan apapun. Baby..,"

"Benar begitu?!" Alea melebarkan matanya.

Ia menatap Kafka dan Renata bergantian. Wanita itu mengangguk mantap.

"See?" Alea menatap Kafka dengan sudut bibir terangkat sedikit.

"Aku tidak melakukan apapun, Alea!!" geram Kafka masih dengan marahnya.

Tangannya kini menyambar wajah Alea, melumat bibir Alea dengan kasar membuat Alea gelagapan. Semakin kasar dan semakin dalam. Satu tangan Kafka mendorong tengkuk Alea. Seakan ingin berteriak pada Alea bahwa ia tidak berbohong, bahwa wanita itu hanya menjebaknya dan ia tidak melakukan apapun. Tak peduli dengan Renata yang menatapnya sesak.

Nafasnya memburu. Alea pun sama. Kedua dahi itu kini bersatu saling bertumpu.

"Aku tidak bohong, Baby," bisiknya dengan nafas yang belum teratur.

Alea memalingkan wajahnya. Senyum kemenangannya tercipta ke arah Renata yang masih berdiri dengan tampang syok. Alea melepaskan Kafka, mendekati Renata.

"Karena dia milikku, Renata. Dan hanya aku yang bisa membuatnya sepanas itu," bisik Alea tepat di depan wajah Renata.

Ciuman panas itu. Renata terkesiap. Bagaimana ia melihat Kafka seakan memakan Alea dengan rakusnya. Satu tangannya memeluk ketat tubuh Alea bahkan sampai meremas kuat bokong Alea. Tidak! Kenapa harus Alea? Bahkan mata itu masih berkabut gairah tak lepas menatapi tubuh Alea. Renata melihat semuanya dengan jelas.

"Lebih baik simpan saja niat burukmu. Karena aku tau anakmu bukan anak Kafka," desis Alea membuatnya sukses merinding.

"Aku akan membalasmu, Alea," bisik Renata dengan sisa-sisa keberaniannya.

"Aku akan menunggunya dengan senang hati," balas Alea manis tapi mengandung seringaian.

***

Tbc

ini jadi yang jahat siapa trs yg iblis siapa.. gaje yaaa

18 Sept 2015
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: