Transmigrasi 1
___________________________________
Ilene Renata, anak tunggal kesayangan Mama Papanya ini sangat tidak menyukai novel bertema Bad Boy. Saking tidak sukanya setiap ada teman sekelas yang membicarakannya, Ilene langsung saja mencibir. Bahkan kepada sahabat karibnya sekalipun, Alana.
Seperti sekarang.
"Bad boy mulu yang lu baca perasaan, nggak ada yang lain apa? Emang faedahnya baca gituan apaan, dah?" Alana yang sedang dibicarakan akhirnya mengalihkan fokusnya pada Ilene.
"Ya, emang kenapa sih, besti. Sewot aja kerjaannya. Sini-sini, duduk. Ngadem dulu biar nggak senewen terus." Alana jelas tidak menanggapi Ilene dengan serius. Dari dulu Ilene memang seperti itu kalau sedang tidak menyukai sesuatu.
Jadi tidak perlu dijadikan masalah besar. Toh, nanti Ilene akan diam dengan sendirinya.
"Gue perhatiin nih, ya, Lan. Lo tuh tiap hari kerjaannya baca ginian. Apa nggak mau ganti genre gitu jadi tiba-tiba suka novel CEO-CEO. Gue bosen baca cover novel judulnya gitu-gitu," katanya sembari membolak-balik novel yang sedang dibaca Alana.
"Gini ya, besti. Gue suka baca ginian tuh, karena ini menarik tau. Bayangin lo punya cowok ganteng, tajir melintir, suka ngerokok, badas gitulah. Lo pasti jadi orang yang spesial di hidup dia dan dia cuma mau sama lo. Itu tuh, so sweet tau. Lo-nya aja yang nggak ngerti." Alana menjelaskan dengan wajah sumringah membuat Ilene mengernyitkan dahi. Benar-benar heran melihat tingkah sahabat karibnya ini.
"Lo bilang modelan gitu keren? Tuh, liat si Ucup. Kagak ada keren-kerennya."
Alana menoyor kepala Ilene pelan. Gemas dengan kelakuan sahabatnya yang malah membandingkan tokoh fiksi bad boy kesayangannya dengan Ucup yang tidak seberapa.
"Mana ada. Iya, sih, Ucup emang tajir melintir. Tapi dia nggak punya aura bad boy anjir! Kerjaannya molor sama bolos doang."
"Lah, apa bedanya sama tokoh fiksi kesayangan lo itu?"
Sabar. Alana harus sabar menghadapi keras kepala Ilene. Gadis itu memang kadang tidak suka didebat.
"Lo tau Kak Bian nggak?"
"Anak kelas 12?"
"Iya. Ganteng nggak?"
"Ganteng."
"Kaya nggak?"
"Tajir."
"Nakal nggak?"
"MasyaAllah luar biasa. Gila lu, ya. Tiap hari kerjaannya masuk BK. Jarang masuk sekolah, balap liar, mabok, ngerokok."
"Nah, itu dia. Gue suka modelan Kak Bian tau Lene. Kayak gitu tuh kek apa ya, auranya tuh beda aja gitu. Bikin memikat. Makanya kan banyak yang ngantri pengen jadi pacar dia walaupun dia kek gitu."
Ilene menggelengkan kepalanya, benar-benar tidak habis pikir dengan isi kepala sahabatnya. Modelan Kak Bian jadi idaman? Hell, no.
"Emang gila lu Lan." Ilene bangkit dari duduknya kemudian melangkah pergi meninggalkan Alana yang masih senyum-senyum sendiri membayangkan Kak Bian menjadi miliknya.
Kembali ke Ilene. Ia memang sangat tidak menyukai jalan pikiran sahabatnya yang seperti itu. Untuk apa memilih Bian yang notabene tidak ada harapan untuk masa depan lebih cerah sebagai cowok keren versinya. Ya, memang, sih, Ilene tidak bisa memaksakan kesukaan seseorang. Tapi ya, nggak gitu juga kali.
Inilah yang menyebabkan mengapa Ilene tidak suka teman-temannya yang terlalu menggandrungi cowok-cowok bad boy sebagai kategori cowok keren atau cowok idaman pilihan mereka. Sangat tidak sesuai.
Bayangkan saja kamu memiliki kekasih yang katanya bad boy. Yang kerjaannya tiap hari merokok, balap liar atau minum minuman keras. Ya, walaupun usia mereka sudah legal sekarang, tapi itu bukan berarti boleh mengkonsumsinya setiap hari. Apalagi dengan seringnya bolos. Mau dibawa ke mana masa depan mereka nanti? Bukannya keren yang ada malah tidak tertata dengan rapi.
Kalau disambung dengan apa yang tadi Alana katakan, ya, memang benar, sih. Kak Bian itu tampan, kaya raya, tapi kelakuannya yang begitu yang membuat Kak Bian tidak ada apa-apanya di mata Ilene. Jangankan suka, berdekatan saja Ilene rasanya ilfeel. Bukan tipe Ilene sama sekali.
Namun berbeda dengan Alana, karena kesukaannya dengan novel bertema seperti itu, menemukan tokoh bad boy di dunia nyata sudah seperti jackpot bagi Alana. Dan itu yang tidak masuk di akal pikiran Ilene.
Pokoknya Ilene tidak suka. Titik tanpa koma.
Di tengah isi kepalanya yang berkecamuk, Ilene akhirnya berhenti di kantin. Membeli sebuah roti dan teh kemasan untuk ia makan di bangku taman sekolah. Di sinilah biasanya Ilene berdiam diri ketika jamkos seperti sekarang. Sekedar menikmati angin sepoy di bawah rindangnya pohon mangga di taman ini. Atau menonton teman-temannya yang sedang bermain di lapangan sana.
Kembali dengan dua kata tadi.
Bad Boy.
Ilene sendiri sebenarnya masih belum bisa menafsirkan arti sebenarnya dari dua kata tadi. Apakah Kak Bian dengan kelakuannya yang seperti itu pantas menyandang titel sebagai Bad Boy. Atau justru ada yang lebih parah? Atau sekedar seorang cowok yang hobi bolos dan melakukan kenakalan remaja pada umumnya.
Ilene masih belum mengerti.
Yang jelas ia sangat tidak menyukai hal itu. Atau bahkan bisa disebut membenci.
Mengapa mereka yang menyukainya tidak melihat seseorang yang lain saja? Yang lebih positive vibes mungkin. Seperti Kak Aka. Ketos sekolahnya yang lumayan manis dan pintar itu? Ya, walaupun jika dibandingkan dengan Kak Bian ketampanan Kak Aka masih kalah jauh. Tapi setidaknya cowok itu menebarkan aura positif dibanding negatif.
"Sendirian aja, Neng."
Dan mau tau apa yang paling Ilene tidak suka dari cowok-cowok Bad Boy seperti Kak Bian? Ya, sikap mereka yang seperti ini. Yang suka menggoda gadis mana pun dan di mana pun mereka berada. Ilene sangat risih. Sungguh demi apa pun.
"Permisi." Ilene segera bangkit dan pergi menjauh dari tempat tadi.
"Cemen tuh, cewek. Dipanggil gitu doang, langsung pergi," ucap seseorang tadi sembari tertawa bersama kedua temannya.
Ya Tuhan.
Kenapa harus ada makhluk seperti mereka.
Di tengah ketidaksukaannya akan apa yang terjadi barusan. Ilene malah bertemu dengan Kak Bian. Cowok yang sejak tadi menjadi topik pembicaraannya dengan Alana dan juga pembahasan di isi kepalanya. Kak Bian ini memang primadona sekolah, kalau Ilene boleh kasih tau.
Memang tidak heran jika banyak gadis atau teman-temannya yang menyukai cowok ini. Meski Ilene tidak, ia akui Kak Bian dari dekat memang tampan. Saking tampannya mungkin Kak Bian bisa jadi model atau artis hanya dengan menjual tampang.
"Hei, lo anak kelas berapa?" Bian memberhentikan langkah Ilene yang sejak tadi menunduk.
"11 MIPA 4, Kak."
"Oh, oke. Nggak jadi. Gue kira Lo kelas 12. Sorry ganggu." Bian kemudian berlalu dari tempat Ilene masih berdiri.
Ilene mendongakkan dagunya, menatap langkah Bian yang semakin menjauh dari pandangan. Kalau boleh Ilene menilai dari kejadian barusan, Bian memang tidak seburuk itu. Tapi tetap saja gelar Bad boy yang disematkan kepadanya membuat Ilene sangat tidak suka. Modal jual tampang saja tidak akan menggugurkan pilihan Ilene untuk membenci apa pun yang berbau bad boy.
Ingat itu, Ilene. Jangan lupa.
03 Juli 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top