T R A N K U I L A N S I A - 18

Aku adalah satu orang dari sedikit orang, jika bukan satu-satunya, yang bisa menikmati fasilitas tahanan sementara Michigan. Walaupun segala peralatan bertahan hidup yang disediakan tidak mungkin selengkap kamarku yang ada di kehidupan kedua, tetapi aku sama sekali tak mendapatkan sudut-sudut ruangan yang bisa kukeluhkan. Satu ruang penjara cukup besar, bahkan mungkin sebesar kamarku yang dulu. Hanya saja, dengan seluruh fasilitas yang minimum, ruangan ini terasa sangat luas.

Ruangan ini dicat putih. Satu pintu menempel di dinding bagian depan, ditambah sebuah ventilasi kecil sebagai tempat sirkulasi udara, mungkin untuk mengganti jendela yang tak dapat kutemukan di manapun. Dinding penjara ini kurasa cukup tipis. Sebab, ketika kuhantamkan kepalan tangan pada dinding putih yang menghalangi pemandanganku, gelombang suara yang aku yakin berasal dari tempat yang sama langsung terdengar. Bahkan, seorang sipir sampai memarahiku dan menanyakan apa yang baru saja kulakukan. Namun, tetap saja tak ada balasan pukulan dari seberang sana karena penjara yang kosong.

Ruangan ini bersih, lebih bersih dari kamarku di kehidupan kedua. Aku tak mellihat sedikitpun noda di atas kasur—setidaknya sebelum kuisi ruangan ini dan berhasil menjejalkan air liur yang tak sengaja menetes saat tidur. Jika standar kehidupan di Michigan masih sama seperti Neo Dago, aku rasa orang-orang akan berbondong-bondong melakukan kejahatan hanya untuk hidup di penjara.

Sekarang adalah hari keempat sejak penangkapan yang mereka lakukan. Berarti, minimal sekitar tiga hari lagi aku harus menunggu—seharusnya. Ketika pemikiranku melejit ke mana-mana, memikirkan skenario-skenario yang mungkin terjadi saat aku dibawa ke Sole Memorial, salah seorang sipir—dengan aku yang masih bermalas-malasan di atas kasur—memanggilku, berteriak sambil memasukkan kode aktivasi untuk membuka pintu, tentu saja dengan sandi sidik jari, gigi, serta iris mata yang sudah masuk ke dalam basis data. Aku langsung bangun—duduk di kasur lebih tepatnya—dan melongo melihat sang sipir yang berteriak dengan kencang. Mereka benar-benar kekurangan pekerjaan sampai-sampai untuk memanggilku saja harus berteriak, ya?

Dia adalah sipir yang sama yang memarahiku ketika menggedor dinding. Laki-laki itu masuk sambil menarik borgol yang diikatkannya pada pinggang. Tanpa perlu diperintah, aku segera menyodorkan kedua lengan, membuat sipir itu tak perlu bersusah payah untuk menarik kedua lenganku. Dia mengunci pergelangan tanganku tanpa basa-basi, tanpa membicarakan apapun. Kemudian, segera berbalik dan berjalan, membuatku mengekor di belakang karena aku tahu jelas bahwa itulah hal yang ia inginkan.

Ini adalah kali pertama aku keluar dari penjara sementara. Aku tak tahu ke mana aku akan dibawa, apa yang akan mereka lakukan padaku, dan masih banyak berbagai pertanyaan lainnya terkait masa depan yang sudah berada di hadapan wajahku. Namun, aku sendiri tak ambil pusing. Toh, jika memang sesuatu yang tak kuinginkan terjadi, aku yakin bisa melawannya. Lagipula mereka kan tidak tahu dengan apa yang bisa kulakukan sekarang ini.

Dengan perjalanan yang kulakukan, aku berhasil mengintip—secara sekilas tentunya—ventilasi-ventilasi pintu dari ruang penjara lain. Walaupun sebenarnya aku tak bisa langsung menyimpulkan keadaan ruangan-ruangan itu, tetapi kuasumsikan bahwa kejahatan yang tidak pernah terjadi selama sepuluh tahun terakhir di Michigan memang benar adanya.

Selain itu, jika kata penjara memikirkanmu pada tempat kumuh kotor, cenderung gelap karena sinar matahari tak dapat masuk ke dalamnya, serta memiliki pencahayaan yang buruk, maka penjara Michigan bisa membuat pikiranmu terombang-ambing. Seperti ruangan tempatku sebelumnya, yang didominasi oleh warna putih cerah, bagian-bagian lain dalam penjara ini tak banyak berbeda. Bahkan, biarpun aku menggunakan kamera mikroskopik, aku sendiri tak yakin masih bisa menemukan setitik debu atau tidak.

"No other prisoner?" Aku berceletuk, benar-benar spontan, tetapi sipir itu terus berjalan mendahuluiku tanpa menghentikan langkah kakinya.

"Nobody except you."

"How about the prisoner that commit crime more than ten years ago?"

"It's a temporary prison, not the real prison. No one being held here for ten years. You're the first one, Foreigner."

Aku tidak tahu apakah kata foreigner yang ia ucapkan itu adalah sebuah hinaan untukku yang dianggap melakukan tindakan kejahatan di kotanya, atau malah sebagai bentuk penghormatan untukk sebagai orang asing. Namun, nada bicaranya menguatkan asumsiku yang pertama. Aku yakin matanya sedang sinis. Sialannya, aku tak dapat melihatnya.

"You ever read a book about twenty century age?" Aku bertanya padanya.

"No. Why?"

"If you called me foreigner to mock me, your personality suit the white people back then."

Akhirnya, si sipir menghentikan langkahnya. Ia berbalik, dan akhirnya hipotesisku mengenai matanya yang sinis terbukti benar.

"What do you mean?"

"Nevermind." Aku berkilah. Aku ingin menyebutkan topik rasisme yang dilakukan banyak orang kulit putih pada abad keduapuluh, tetapi aku tak ingin mengeruhkan suasana. Toh, sipir itu juga tidak sedang menghajarku, mengharuskanku untuk melawan balik. Jadi, tak ada salahnya, kan?

"Oh, and I know that I might be the first prisoner that you lead, but you can't just walk like that in front of me."

Si sipir itu tak berkomentar.

"If I'm being dishonest, I can run and leave you behind. You can't be as careless as that, right?"

"Even if you run, you can't escape."

"I can if I want to, but that'll just make you all increasingly accuse me. No point for me."

"Shut it up, okay? Just walk, you Loudmouth."

Si sipir kembali melanjutkan perjalanannya, menuntunku entah ke mana.

Sekarang, aku bisa semakin lega. Jika memang hal yang tak kuinginkan terjadi, aku rasa aku bisa keluar dengan mudah tanpa perlu menimbulkan korban jiwa.

===

Si sipir menghentikan langkahnya tepat di sebuah depan pintu sebuah ruangan. Sengaja ia posisikan tubuhnya di depan alat detektor, kembali memasangkan jari, membuka mulut, juga memelototkan mata, membiarkan sistem mengenali dirinya. Tak perlu waktu lama, pintu langsung terbuka, si sipir itu dikenali dengan mudah. Sekali lagi, dia meninggalkanku.

Dalam hati, aku benar-benar menggerutu. Apakah orang itu tidak mendengar titahku barusan? Dia meninggalkanku, masuk melalui pintu otomatis yang akan tertutup dengan sendirinya setelah tak mendeteksi suhu panas tubuh di depan pintu masuk. Aku memiliki kesempatan yang sangat banyak untuk kabur, membiarkan ia terkunci beberapa detik terlebih di dalam ruangan itu, kemudian menggunakan tubuh orang lain—yang sudah kubuat pingsan tentunya—untuk membuka seluruh pintu yang ada di tempat ini. Apakah sipir itu benar-benar ... tolol karena selama sepuluh tahun ini tidak bekerja?

Bagaimanapun, aku tak melawan. Ruangan yang dinamai Sole Memorial, tepat seperti papan pengumuman berjalan yang ada di atas pintu itu sebutkan, membuatku sedikit penasaran. Jadi, sebelum pintu itu tertutup otomatis, aku segera masuk mengikuti sang sipir, mendapati dua orang polisi, yang sebelumnya menginterogasiku di ruangan terpisah, sedang menunggu dengan posisi yang identik—si polisi biasa duduk cantik dan si kekar bersandar pada dinding.

"He's here." Si sipir segera menginformasikan kedatanganku, padahal aku yakin kedua polisi itu bisa melihatku dengan mata telanjang. Namun, aku tak lagi mengomentari cara berpikir si sipir yang keras kepala itu.

Si polisi biasa mempersilakanku duduk. Sebuah kursi yang diletakkan berseberangan dari kursinya memang tampak sengaja diposisikan untukku duduk. Dengan kedua tangan yang terborgol, aku tak memiliki pilihan selain menaruh kepercayaan pada bokongku tanpa bisa meraba permukaan kursi semena-mena, berharap agar aku tak jatuh dan malah menyakiti tulang ekor.

Si polisi biasa itu langung membuat obrolan. "You know why you're here now, don't you?"

Tentu, aku mengangguk.

"The Sole Memorial."

Hari keempat setelah penangkapanku, tiga hari lebih cepat dari yang dijadwalkan. Kalau saja pada pintu itu tak dituliskan bahwa ruangan ini adalah ruangan Sole Memorial, mungkin aku tak dapat menebak apa yang ingin mereka lakukan padaku.

"I give you last chance. If you admit that you murdered Professor Aji, you don't need to go to the Sole Memorial."

"Just let me go through the Sole Memorial," balasku, tanpa keraguan, dan si polisi biasa itu hanya bisa menghela napas. Seharusnya tidak begitu terdengar, tetapi indera pendengaranku yang memang dibuat tajam bisa mendengarnya dengan jelas.

"Alright, that's your choice. Follow me."

Polisi itu berdiri, dan kuperlukan sekitar dua detik sebelum benar-benar berdiri dan mengikutinya. Ruangan ini, walaupun bukan berarti sempit, tampak terasa penuh dengan komputer berhologram besar yang disimpan di tengah ruangan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika teknologi yang kami gunakan saat ini masih bergantung pada kabel untuk mengirim dan menerima data. Jelas, akan terasa semakin sesak.

Di sudut lain, sebuah pintu yang memang sedang polisi tuju itu terpampang. Sedikit berbeda dengan pintu-pintu yang lainnya, aku rasa pintu itu masih menggunakan desain lama, tidak dibuat dengan basis data khusus karena aku tak melihat alat sensor pendeteksi identitas. Bahkan, si polisi itu bisa dengan mudah menggeser pintu tanpa adanya halangan.

Aku membuntuti, masuk ke ruangan lain yang sekarang tak kuketahui apa. Aku rasa tempat itu merupakan tempat di mana Sole Memorial disimpan. Namun, aku tak pernah tahu. Namun, ketika aku membayangkan sebuah benda besar berbentuk tabung untuk hinggap di ujung netraku, aku malah melihat benda berbentuk telur—walaupun masih memiliki wujud tabung pada beberapa sisinya—dengan pintu kaca terbuka, diangkat ke bagian atas.

Si polisi itu mengambil langkah ke samping, membiarkanku melihat dengan jelas wujud Sole Memorial.

Tidak. Pikiranku melejit ke mana-mana. Aku tidak mengenal benda ini sebagai Sole Memorial.

"Isn't it Trankuilansia?" Aku bertanya, tanpa pandang bulu. Selama mataku memindai benda itu, tak pernah sedetikpun kulewatkan kedipan mata, berpikir bahwa penglihatanku sendiri ini tengah membohongiku. Sayangnya, benda itu tetap tak berubah: terpampang, nyata, di hadapanku.

"Trankui ... what?"

"Trankuilansia, the machine that ... you know, resurrect me, made by Professor Aji. I Believe you knew that."

"Oh, Trankuilansia!" Polisi itu menyadari apa yang kumaksudkan. Dia melafalkan huruf a pada suku kata 'Tra' sebagai e yang biasa diucapkan oleh orang-orang Indonesia. Jika aku menuliskan ulang cara pengucapan yang polisi itu lakukan dalam bahasa Indonesia, akan lebih tepat kusebut sebagai 'Trenkwilensya'.

"You have a different pronouncation. No wonder I don't get it," tukasnya, "But it's a Sole Memorial. Are they really that similar?"

Aku kembali memperhatikan benda yang ia sebut sebagai Sole Memorial. Bagaimanapun, aku lebih mengenalnya sebagai trankuilansia.

"I guess. The design, even the color, it's looks similar," balasku. "I thought Sole Memorial is more cylindrical than this."

"That's the first protoype." Si polisi memberitahu. "Anyway, let's just start this, okay?"

Polisi itu mengayunkan lengannya, seolah memberikanku izin untuk memasuki Sole Memorial.

Aku berjalan, perlahan, masih dengan kedua tangan yang terikat oleh borgol. Sungguh, benda itu membuatku tak nyaman dan benar-benar ingin kulepaskan. Sialannya, aku masih harus bermain menjadi orang baik di tempat ini. Jadi, aku terus mengikuti, berbalik begitu tempat duduk kapsul itu ada di depan mataku.

Aku menjatuhkan diri, untungnya langsung menempati posisi yang tepat. Kedua kakiku yang sebelumnya masih berada di luar Sole Memorial segera kutarik. Kembali kudorong tubuhku ke belakang, bersandar pada punggung kursi yang sekarang berhasil membuat tulang belulangku rileks.

Si polisi mendekati Sole Memorial.

"I will close this. You have three minutes before we dive to your memory. Prepare yourself."

"Oh, can I ask you a question first?" Aku memotong, tetapi si polisi tidak menjawabnya dengan segera. Berpikir dia akan langsung menutup Sole Memorial, aku tak ambil pikir untuk langsung bertanya padanya.

"The first time you arrest me, you seems really want to put me in jail. But I don't see it now. What's change your mind?"

"Why you think such things?"

"You didn't force me to confess the crime, unlike the first investigation."

"Let's just hope you're not bluffing."

Polisi itu menutup Sole Memorial. Sialannya, sekarang malah aku yang benar-benar tegang, tak beraturan. Di tiga menit terakhir ini, aku benar-benar berharap, sekali lagi jika memang benar-benar aku yang melakukan pembunuhan itu, memori di dalam otakku tak akan memunculkannya secara tiba-tiba.

Aku juga berharap mereka tak melihat pembunuhan yang kulakukan, bagaimana aku bisa memutuskan kepala seorang manusia dengan kedua tanganku yang telanjang. Karena ... pemandangan itu tak pernah bisa kulupakan.

Sialan, apakah memasuki Sole Memorial ini sebenarnya menjadi pisau bermata dua untukku?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top