Babak 4 - Tangan Dewa
“Kalau bisa buketnya dibuat secantik mungkin, ya. Soalnya ini hadiah spesial untuk Mama saya yang akan keluar dari rumah sakit.”
Dewa hanya tersenyum mendengar permintaan salah satu pelanggannya. Tentu saja sebagai pemilik florist, ia berusaha untuk memberikan yang terbaik pada para pelanggan. Berusaha merealisasikan perasaan yang ingin mereka sampaikan melalui rangkaian bunga. Termasuk seperti yang saat ini ia lakukan untuk pelanggannya yang merupakan seorang perempuan muda.
“Bagaimana jika dibuat buketnya berfokus pada bunga Azalea?” tanya Dewa memberikan saran pada pelanggannya.
Sang pelanggan memerhatikan bunga yang ditunjukkan Dewa di tangannya. Dari wajahnya terlihat jika gadis itu kurang begitu suka dengan apa yang disarankan pria tersebut.
“Tapi …”
“Azalea punya makna yang bagus, loh untuk menyampaikan perasaan kamu terhadap Mamamu yang akan pulang ke rumah.”
“Memang apa?” tanya gadis itu ingin tahu.
“Kenangan akan rumah. Mungkin setelah jauh dari rumah, Mama kamu juga merindukan rumahnya. Bahkan mungkin berkeinginan untuk segera pulang. Selain itu kamu juga bisa menjadikannya bunga kering kalau terlalu sayang untuk dibuang. Bisa menyimpannya sebagai kenangan. Kalau kamu kesulitan melakukannya, bisa datang ke sini. Nanti saya bantu.”
Gadis itu tampak tertarik setelah mendengar penjelasan Dewa. Tanpa ragu akhirnya ia pun meminta dibuatkan buket dengan tema Azalea untuk ibunya. Melihat hasil akhir dari tangan profesional Dewa, tentu saja ia semakin bertambah puas.
“Semoga Mamanya tetap sehat,” ucap Dewa diakhir setelah menyerahkan buket tersebut pada pelanggannya.
Sang pelanggan menerima dengan senyum lebar. Mengagumi keindahan hasil karya dari pria tampan seperti Dewa yang ternyata memiliki kemampuan mumpuni dalam merangkai bunga. Jarang sekali ada pria perangkai bunga di Indonesia. Biasanya pekerjaan seperti ini lebih banyak digeluti oleh para wanita.
“Nita, Kiki, tolong jaga florist karena saya harus melakukan pengecekan dulu ke supplier, ya.”
Kedua pegawai yang disebutkan Dewa hanya mengangguk sembari memerhatikan pria itu yang mengambil kunci di meja kasir. Pria itu kemudian berpamitan pada kedua pegawainya yang sedang bertugas sembari melemparkan senyuman yang mampu membuat karyawan wanitanya pasti melayang.
Setelah kepergian Dewa, Nita dan Kiki pun mulai berteriak gemas akan sikap manis bosnya itu. Sudah hampir tiga tahun mereka bekerja di florist milik Dewa. Namun sampai hari ini tak sekali pun mereka kebal terhadap pesona Dewa. Selain itu, pria itu salah satu bos paling baik yang pernah mereka temui. Dewa tak pernah pelit terhadap para pegawainya. Selalu berusaha menyediakan fasilitas dan lingkungan kerja yang nyaman bagi mereka. Ia juga tak pernah segan membantu pegawai yang membutuhkan bantuan. Hingga siapa pun betah betah bekerja dengan atasan seperti Dewa yang begitu memerhatikan para pegawai.
Tak hanya baik, kerja keras Dewa dalam mengembangkan usahanya juga patut diacungi jempol. Ia yang terlahir dalam keluarga tidak utuh harus berjuang sejak remaja bersama ibunya. Orang tuanya bercerai dengan sang ayah yang menikah lagi dan memiliki keluarga baru. Ibu Dewa yang tak menginginkan pembagian harta apa pun hanya meminta hak asuh untuk Dewa. Yang tentu saja disetujui ayahnya dengan senang hati.
Sejak saat itu, hubungan Dewa dan ayahnya terputus. Ia yang tahu seluk beluk perceraian orang tuanya meski masih dalam usia yang cukup muda, memilih untuk tak lagi mengakui hubungan dengan pria yang telah mengecawakan mereka. Bagi Dewa, ibunya saja sudah cukup untuknya. Bersama dengan ibu yang pekerja keras, Dewa belajar banyak hal sejak muda. Hingga ia bisa mengembangkan usaha florist mereka hingga saat ini.
Sayangnya di tengah kesuksesan usaha mereka, Dewa harus kehilangan ibunya. Enam tahun lalu, ibunya divonis mengidap kanker. Sejak saat itu Dewa selalu mengusahakan pengobatan terbaik untuk perempuan yang sangat disayanginya. Namun Tuhan berkehendak lain. Ia hanya diberi waktu setahun lebih untuk menghabiskan waktu dengan sang ibu. Kepergian orang tua satu-satunya tentu menjadi pukulan keras bagi hidup Dewa.
Namun ia tak larut dalam kesedihan karena mengingat pesan sang ibu untuk terus menjalani hidup dengan baik. Dan selalu berusaha memberikan kebaikan pula untuk orang lain dengan apa yang Dewa miliki. Dewa pun berhasil mewujudkan impian ibunya dengan membuat usaha florist mereka semakin berkembang dan bermanfaat bagi banyak orang.
“Nita, kenapa ya, Mas Dewa sampai sekarang nggak kelihatan punya pacar. Padahal ya, kalau Mas Dewa mau, saya siap kok jadi pacarnya,” celetuk Kiki sembari merapikan bunga-bunga di dalam pot.
Nita memandang gemas pada rekan kerjanya itu. “Eh, enak aja. Kenapa harus kamu? Aku juga siap kalau Mas Dewa mau?”
Di tengah candaan mereka selagi bekerja, pintu florist yang dilengkapi dengan lonceng kecil berbunyi. Membuat kedua gadis mengarahkan tatapan pada seorang pelanggan yang baru masuk. Wajah kedua gadis itu terperangah kala menatap perempuan muda yang baru saja tiba. Tampilannya benar-benar berbeda dengan para pelanggan mereka biasanya.
Perempuan muda tersebut berwajah cantik dengan riasan tipis menghiasi wajahnya. Namun begitu tak mengurangi kecantikannya. Jangan lupakan dengan pakaian mewah yang menempel di tubuhnya. Semua yang melekat pada gadis di depan mereka menunjukkan betapa uang begitu berkuasa. Pelangggan yang benar-benar berbeda dari biasanya. Membuat Nita dan Kiki tak bisa berpaling darinya.
“Saya butuh dua buket krisan putih.”
Tak mendapat jawaban dari pegawai yang bertugas, Faya langsung berdecak. Ia menatap tajam kedua gadis yang masih memandanginya laksana hewan langka di penangkaran. Langsung saja Faya berteriak kesal memanggil kedua gadis tersebut hingga membuat mereka terkejut.
“Kalian bisa kerja, nggak? Malah melototin pelanggan. Enggak sopan!”
Kedua gadis yang mendapat teguran dari Faya langsung menunduk seraya meminta maaf. Namun dalam hati, mereka mulai mengutuki Faya. Meski pun berwajah cantik, tapi lidah pelanggan mereka yang satu ini lebih tajam dari pisau silet.
Meski mereka kadang mendapat pelanggan yang karakternya sulit diprediksi, tapi tidak ada yang seblak-blakan Faya. Yang berani berkata kasar sambil memberi tatapan tajam. Membuat Nita dan Kiki merasa bergidik. Ternyata cantik saja tidak jadi jaminan sikap seseorang akan sama cantik dengan wajahnya.
“Maaf, bisa disebutkan sekali lagi pesanannya, Ibu?”
Faya mendelik mendengar sebutan Nita padanya. “Ibu? Apa wajah saya sudah setua itu sampai harus dipanggil Ibu?”
“Maaf, Mbak,” Nita langsung meralat dengan nada takut.
Tentu saja, siapa yang berani berhadapan dengan pelanggan galak seperti Faya. Tatapannya saja sudah membuat mereka merinding. Belum lagi nada bicaranya yang arogan. Pegawai kecil seperti mereka tentu tidak akan berani untuk macam-macam dengan model pelanggan seperti Faya. Jika tak ingin disemprot dan kehilangan pekerjaan. Meski mereka yakin jika Dewa tak akan sekejam itu juga memecat hanya karena keluhan pelanggan. Tapi demi pekerjaan dan nama baik florist, mereka harus bisa menjaga sikap.
“Buatkan dua buket bunga krisan putih. Secepatnya!”
Nita dan Kiki pun langsung bergerak untuk membuatkan pesanan Faya. Mereka takut pelanggan galak tersebut akan menyemprot keduanya lagi. Saat ini memang hanya mereka yang ada di florist. Beberapa pegawai ada yang sedang mengantar pesanan. Ada juga yang akan datang agak siang karena sudah meminta izin pada Dewa.
Selagi pesanannya sedang diproses, Faya melihat-lihat ke sekeliling florist. Tempat itu tertata rapi dan nyaman. Faya bukan salah satu pecinta bunga. Bahkan saat berpacaran, ia tak merasa tersanjung jika para pria tersebut acapkali menghadiahinya bunga. Baginya bunga itu hanya terlihat indah, tapi tak memiliki guna apa pun. Namun ketika dirinya berada di sekeliling bunga-bunga, ada perasaan nyaman yang gadis itu rasakan kini.
“Mbak, pesanannya sudah siap,” Kiki mencoba mengalihkan perhatian Faya dari tumpukan tanah dan pupuk di sudut ruangan.
“Oh,” ucapnya kemudian menuju meja kasir.
Faya membayar sejumlah biaya yang tertera di mesin kasir. Setelah itu ia mengambil dua buket bunga tersebut tanpa mengucapkan apa pun pada kedua pegawai tersebut. Gadis itu langsung melenggang pergi hingga membuat Kiki dan Nita mencibir padanya.
“Sombong banget, sih,” ujar Kiki kesal.
“Emang. Mentang-mentang cantik, sombong amat,” Nita menimpali.
Faya yang sudah keluar dari florist tersebut tak mendengar umpatan yang dilayangkan dua pegawai itu padanya. Jika ia mendengar, bukan tak mungkin dirinya akan mengajak dua perempuan tersebut untuk adu mulut. Mengingat sifat Faya yang terkenal temperamental.
Dengan dua buket bunga di tangan, Faya menuju pemakaman keluarga di mana mama dan kakeknya beristirahat. Setelah meletakkan masing-masing buket di nisan mama dan kakeknya, Faya hanya memandangi dua nisan berhiaskan marmer putih tersebut.
Tak ada air mata atau kesedihan tiap kali ia mengunjungi kedua orang yang disayanginya. Namun dalam kunjungan kali ini, rasa marah menyertai Faya. Rasanya ia ingin meluapkan kekesalannya pada sang ayah dihadapan mama dan kakeknya. Namun Faya juga tak ingin membuat keduanya yang sudah beristirahat dengan tenang khawatir padanya.
Setelah hanya berdiam diri selama setengah jam, Faya berpamitan pada mama dan kakeknya. Matahari juga semakin terik, membuat Faya tak tahan berada di sana. Ia lupa membawa serta payung untuk melindunginya dari sengatan matahari. Setelah mengucapkan selamat tinggal pada keduanya, Faya bersiap kembali mencari tempat tinggal barunya.
Tidak seperti saat pergi, Faya memilih untuk berjalan kaki. Selain karena dirinya harus berhemat, Faya juga memutuskan untuk mencoba menaiki kendaraan umum seperti angkot atau bis kota. Namun ketika tiba di halte, Faya mengurungkan niatnya. Ramainya orang-orang di sana membuat ia tak bisa berbaur dengan kerumunan tersebut. Gadis itu akhirnya mengeluarkan ponselnya, berniat untuk menghubungi Martin.
Nahas bagi Faya saat ia tengah menempelkan ponsel ke telinganya, seseorang dengan cepat menyambar tasnya. Faya yang begitu terkejut tak sempat bereaksi. Ia hanya memandangi pria tersebut sembari menatap tangannya yang kini sudah tak memegang tas lagi. Detik berikutnya baru Faya tersadar jika dia sudah mengalami yang namanya pencurian.
“Pencuri!” teriak Faya sekerasnya hingga membuat orang-orang mulai melihat ke arahnya.
Namun begitu orang-orang masih berdiam diri. Belum ada yang berusaha membantunya. Mungkin karena bingung siapa yang menjadi korban dan tersangka. Melihat hal itu, Faya yang kesal berlari seorang diri untuk mengejar ke arah sang pencuri pergi.
Sayangnya pergerakan Faya begitu terlambat. Ditambah lagi sepatunya yang tak memungkinkan Faya berlari dengan cepat. Gadis itu lantas melepas sepatunya. Dengan bertelanjang kaki sembari menenteng sepatu, Faya kembali berlari secepat mungkin. Tak dirasakannya lagi kesakitan di telapak kaki. Tujuan Faya hanya agar pencuri tersebut tertangkap.
Lelah berlari, Faya akhirnya menangkap sosok yang mirip dengan pria yang mengambil tasnya tadi. Tanpa ampun, Faya mendekati pria tersebut lantas memukulkan sepatu yang dipegangnya ke tubuh sang pencuri.
“Dasar pencuri! Kembalikan tas saya!” teriaknya sambil memukuli tanpa ampun.
Pria yang menjadi korban pemukulan Faya tentu saja terkejut bukan main. Dirinya yang merasa tak melakukan apa pun berusaha untuk menahan gadis yang tiba-tiba saja muncul dan bersikap brutal padanya.
“Hei, Mbak Tenang dulu!” pekik Dewa seraya memegangi kedua tangan Faya. Dipukuli dengan sepatu highheels tentu bukan hal yang menyenangkan.
“Tenang kamu bilang! Kembalikan tas saya!” Faya terus mencecar sambil terus berusaha melayangkan serangan pada pria itu.
“Tas? Sepertinya Mbak salah paham. Saya bukan pencuri.” Dewa berusaha keras menerangkan sambil menenangkan gadis itu.
Mendengar pembelaan diri yang dilakukan Dewa, akhirnya Faya berhenti menyerang. Ia memandangi pria yang masih memeganginya dengan tatapan bingung. Memang Faya tidak melihat jelas wajah pelaku, namun ia dapat melihat jika pria yang ada di hadapannya sama sekali tidak memiliki wajah seperti seorang kriminal. Terlebih hanya pakaian mereka yang terlihat sama. Tetapi aura yang dipancarkan pria di hadapannya jelas bukan aura seorang yang mengalami kesulitan ekonomi.
Tak hanya Faya yang mengamati, Dewa pun melakukan hal yang sama. Ada raut terkejut di matanya kala ia melihat dengan jelas sosok perempuan yang menyerangnya. Perempuan tersebut tak lain adalah perempuan yang ia temui beberapa waktu lalu. Perempuan yang dengan berani mempermalukan mantan kekasihnya di depan umum. Senyum samar terukir di bibir Dewa.
Setelah dikhianati, kali ini perempuan ini kehilangan tasnya? Sungguh kesialan yang tak terduga. Terbit rasa iba di hati Dewa. Terlebih saat ia memerhatikan lebih jeli penampilan gadis itu. Dengan peluh bercucuran dan rambut yang acak-acakan karena panas. Juga kaki yang bertelanjang yang kemungkinan Dewa tebak jika kakinya juga terluka karena berlarian.
“Benar bukan kamu pencurinya?” Faya memutus pengamatan yang dilakukan Dewa terhadap dirinya.
“Saya bukan pencuri. Kalau kamu tidak percaya saya bisa kasih lihat tanda pengenal saya. Kamu bisa cek ke kantor polisi terdekat apa saya punya catatan kejahatan atau tidak. Bagaimana?”
Jawaban Dewa begitu lugas, tentu saja Faya percaya. Mana mungkin seorang pencuri berani mengajak korbannya untuk mencari keadilan. Namun begitu Faya tetap saja merasa kesal karena pengejarannya sia-sia. Dan lagi ia kehilangan uang dan beberapa kartu penting yang ada di dalam tasnya. Kesialan datang bertubi-tubi menghampiri hidupnya.
Faya menundukkan kepala. Merasa lelah menghadapi semua yang terjadi dalam hidupnya saat ini. Rasanya ia ingin menangis. Namun tetap tak ada setetes air mata pun yang jatuh.
Dewa dapat melihat betapa lelah dan terpuruknya gadis itu. Terlebih saat ia memerhatikan kaki gadis itu yang begitu terawat kini kotor dan terluka. Membuatnya tiba-tiba memiliki pemikiran untuk sekadar membantu gadis itu.
“Kamu butuh bantuan?” ujar Dewa tiba-tiba.
Faya langsung menaikkan pandangannya. Menatap bingung pada pria itu. Mereka tak saling mengenal. Faya bahkan dengan seenaknya menuduh pria itu sebagai pencuri. Tapi tanpa ragu pria itu malah menawarkan bantuan padanya. Apa orang baik masih ada di dunia ini?
...
Note : selamat membaca.
ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 09/01/22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top