7 | Jimat untuk Sahal
SAHAL tidak tahu apa yang mendorong ia mengikuti gadis itu. Turut memanjat dinding dan datang ke sekolah tempat Yara belajar. Di sepanjang perjalanan, Nura tidak bersuara sepatah kata pun. Dari air mukanya, Sahal tahu kalau emosi tengah meletup-letup dalam diri Nura. Tinggal menunggu hitungan detik untuk menyembur keluar.
"Ibu!" Dengan tak sabar, Nura masuk ke dalam ruang guru. Lupa salam dan tata krama. Padahal, di ruangan itu ada beberapa guru dan juga kepala sekolah yang tengah duduk tegap, tampak angkuh dan sombong.
Langkah Sahal terhenti di ambang pintu kala netranya menangkap sosok pria berseragam guru itu. Sosok itu ia kenal jelas, seseorang yang tak ia harap temui. Bergegas, Sahal memundurkan langkah. Bersembunyi di balik dinding.
"Mana pelakunya?!"
Sahal mendengar Nura melempar tanya. Sedikit mengintip di balik jendela ruangan, gadis itu terlihat benar-benar marah. Sementara Nuryani hanya menunduk di tempatnya.
"Kakak temennya Teh Nura, ya?"
Sahal terperanjat. Tangan mungil seseorang baru saja menarik-narik seragam sekolahnya. Mengalihkan pandang ke arah sumber suara, wajah seorang gadis kecil dengan lebam di sekitar matanya, langsung terekam jelas iris kelam milik Sahal.
"Yara?" tebak Sahal.
Gadis kecil itu mengangguk. Tersenyum kecut. "Yara udah bilang lebih suka tinggal di Bandung. Tapi, Ibu sama Teteh keukeuh mau tinggal di sini. Padahal temen-temennya Yara di sini tuh jahat-jahat," cerita Yara selagi membentur-benturkan punggung mungilnya pada dinding kelas dengan pelan. Sungguh imut dalam pandangan Sahal. Kendati bengkak di sekitar matanya membuat wajah gadis kecil itu terlihat berantakan.
Tidak ada kata yang lepas dari bibir tipis Sahal. Laki-laki minim ekspresi itu hanya mengelus lembut rambut panjang Yara sebagai bentuk simpati.
"Saya tahu, keluarga saya ini bukan keluarga kaya raya. Tapi, bukan berarti Bapak bisa merendahkan kami seperti ini! Kami cuma pengen pelaku meminta maaf dan mengakui kesalahannya, tapi kenapa Bapak berpikir kalau sikap kami ini hanya karena kami menginginkan uang?!"
Sahal kembali menoleh ke dalam ruang kepala sekolah saat jeritan Nura terdengar. Gadis itu sampai menggebrak meja si kepala sekolah. Nura terlihat benar-benar mengerikan. Emosi itu menyembur keluar juga pada akhirnya.
"Kamu itu gak ada sopan santun sama sekali ya?!" sindir salah satu orang guru.
"Iya, kami laporkan kamu ke kepala sekolahmu, mau?"
"Dari seragammu, kamu siswa SMA Hansa, kan?"
Nuryani tampak bangkit dari duduknya. Berusaha menahan pergerakan Nura. Sementara di tempatnya, Sahal hanya bisa mematung. Bingung. Antara harus melangkah maju atau menunggu dan diam saja di tempatnya. Takut seandainya apa yang ia sembunyikan selama ini terbongkar pada akhirnya. Cengkeraman kuat tangan Yara pada seragam sekolahnya pun membuat Sahal disudutkan dalam pilihan dilematis.
"Bapak ini yang enggak sopan. Bagaimana bisa orang berpendidikan seperti Bapak ini terlihat begitu bodoh?! Jelas-jelas ada bukti kalau adik saya itu jadi korban kekerasan, tapi Bapak justru membela pelaku dan malah menuduh keluarga saya menginginkan keuntungan dari kasus ini?!
"Sekolah macam apa, sih, ini?
"Apa perlu saya laporkan hal ini langsung kepada dinas pendidikan, hah?!
Sungguh me-—"
"Nura, udah!" Sahal pada akhirnya maju. Menghentikan ocehan Nura yang dibumbui amarah. Ia menarik tubuh Nura untuk menjauhi meja si kepala sekolah.
"Udah apanya, Sahal? Adik gue diperlukan enggak adil begini, dan lo nyuruh gue biarin—-"
"Enggak, bukan gitu!" Sahal sadar, kalau orang yang sejak tadi jadi objek kemarahan Nura mulai memperhatikannya. Sebabnya, tak memedulikan raungan Nura, Sahal bergegas menarik gadis itu keluar.
"Lo itu bego apa gimana, sih?!" Nura berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Sahal begitu posisi mereka kini mulai agak jauh dari ruang guru. Dengan agak kasar gadis dengan tinggi 160 itu mendorong tubuh Sahal menjauh darinya.
Sahal mendesis. Satu hal lagi yang Sahal ketahui tentang Nura. Di balik sikap manis dan menggemaskannya, gadis itu begitu mengerikan saat marah seperti ini. Seperti api yang berkobar, merembet ke mana-mana jika tak buru-buru dipadamkan.
"Jangan gitu atuh, Teh. Malu, ih." Nuryani menepuk-nepuk punggung Nura. Berusaha menenangkan anak gadisnya.
Nura menghentakkan kaki kesal. Masih dengan wajah muram, ia melangkah cepat meninggalkan tempatnya. Yara dan Nuryani bergegas menyusul.
"Sahal?"
Sahal baru saja hendak mengikuti langkah ketiga orang di hadapannya kala suara bariton itu menggema, sampai di telinganya. Mendadak, ia merasa darahnya berdesir dengan cepat. Terserap semua oleh jantungnya hingga kulitnya mendadak memucat. Kaku, ia berbalik dan melihat sosok itu berdiri tepat di belakangnya.
"Om Fedrik?"
Si kepala sekolah yang baru saja Sahal panggil dengan nama Fedrik itu tersenyum lebar. "Om kira kamu beneran lupa sama Om. Tahunya cuma pura-pura enggak kenal aja, ya?"
Sahal menarik napas dalam. Perutnya mendadak melilit nyeri. "Anggap kalau pertemuan ini enggak pernah ada." Lantas Sahal berbalik. Hendak meninggalkan sosok itu sebelum ...
"Bagaimana bisa Om membiarkan hal ini begitu saja, hm? Papamu menghadiahkan Hadi's Mall bagi sesiapa yang bisa menemukanmu."
... kata-kata Fedrik membuat Sahal makin tak berkutik. Kakinya kini terasa berat. Ayahnya bahkan rela melepaskan salah satu aset perusahaan terbesar untuk eksistensi dirinya.
"Kamu cukup pandai bersembunyi, ya? Padahal satu tahun ini ada banyak orang yang mencarimu."
Sahal masih membisu. Mengepalkan tangan kuat-kuat.
"Ada begitu banyak mainan yang papamu punya. Tapi, Om heran kenapa dia bahkan rela menghadiahkan Hadi's Mall untuk mainan lusuh sepertimu."
"Kakak kenapa masih di sini? Ayo, pulang!"
Sahal akhirnya bisa bernapas lega tatkala tangan hangat Yara menggenggam jemarinya. Menariknya dari aura gelap dan dingin yang nyaris membunuhnya.
"KALAU tadi lo enggak nahan gue, udah gue acak-acak kantor sekolah itu."
Sahal hanya tersenyum kecut mendengar penuturan Nura. Gadis itu sudah lebih tenang, walau butuh waktu lama untuk memulihkan mood-nya. Satu hal yang tak pernah Nura pahami. Faktanya, berhadapan dengan orang-orang berjiwa serakah macam Fedrik itu bukan sesuatu yang mudah. Dirinya saja bahkan tak yakin mampu.
"Udah sore. Gue harus pulang." Saat mengangkat tubuhnya untuk berdiri, Sahal merasa seluruh objek di sekitarnya tampak bergoyang. Oleng. Hampir saja ia terjatuh seandainya Nura tak sigap menahan tubuh itu dan membawanya untuk duduk kembali.
"Kenapa, yaelah?" tanya Nura khawatir. Sejak kembali dari sekolah Yara dan turut membantu mendorong roda sop buah ibunya sampai rumah, Sahal jadi terlihat aneh.
"Gue curiga kalau waktu kecil lo enggak imunisasi. Gampang sakit banget abisan."
Mendengar komentar Nura, Sahal kontan memutar bola mata malas. "Lo, tuh. Kebanyakan nangkring di posyandu. Berisik makanya."
"Ye ... apa hubungannya coba?"
Sahal tak lagi menimpali. Laki-laki jangkung itu memijit pelan keningnya. Ia tidak bisa berhenti memikirkan semua kata-kata Fedrik, dan itu membuatnya pusing.
"Kak Sahal ...."
Baik Nura dan Sahal kontan menoleh ke arah Yara. Gadis kelas empat sekolah dasar itu berdiri tepat di hadapan Sahal dan Nura.
"Makasih, ya. Buat hari ini." Senyum Yara merekah. Menular cepat kepada Sahal. "Ini buat kakak." Gadis kecil itu menyodorkan sesuatu ke hadapan Sahal.
Sahal menerima hadiah kecil dari Yara. Sebuah gelang tali berwarna kuning-hitam kini menempel di lengan kirinya.
"Yara bikin sendiri loh, Kak. Teh Nura juga punya yang warna hijau."
"Makasih."
"Itu jimat dari Yara biar Kak Sahal selalu dilindungi sama Allah."
Senyum Sahal semakin merekah. Membuat lesung pipinya yang dalam timbul. Di sampingnya, Nura juga turut tersenyum. Bangga sebab Yara bisa dengan mudahnya membuat sosok dingin di sampingnya itu menunjukkan pelet andalannya.
Bandung, 25 Mei 2029.
Di sini ada yang ngikutin TXT?
Suka banget sama bibirnya 😁
...
Yang suka TXT, jangan lupa mampir sini di akun Naesu13 yaaa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top