C h a p t e r 15
Setelah hari itu, Mahendra selalu terdiam dan menundukkan kepala saat bertatapan dengan Ayah. Bahkan Ibu bersikap seperti tidak terjadi apapun, dan mengatakan jika jeruk itu adalah pemberian dari sepupu jauh mereka yang kebetulan tengah berada di Jakarta dan berakhir mengunjungi rumah saat tahu aku sakit.
Dan aku, aku hanya percaya saja dengan apa yang di katakan oleh Mahendra, Ayah, dan Ibu, walaupun aku sadar, gerak-gerik mereka menyimpan banyak teka-teki di dalamnya. Menyupkan nasi dan sayur sop ke dalam mulut, mataku sesekali melirik ponsel yang berada di atas meja dengan beberapa pengumuman di dalam grup kelas.
Hari ini di pastikan tidak ada pelajaran, membuatku enggan datang ke sekolah dan kembali tidur di rumah saja, tetapi tidak bisa, Ayah dan Ibu mengatakan kalau kami berdua harus kembali ke sekolah karena hampir tiga hari berdiam diri di rumah. Ya, aku dan Mahendra. Kami berdua terserang demam, Mahendra terserang demam setelah kembali dari kamarku katanya.
Menggeleng, kakiku menendang kaki Mahendra di bawah meja makan, membuat anak itu menatapku dengan pandangan bertanya. Kepalaku bergerak ke bawah, menujuk ponsel yang menyala, seakan mengerti, Mahendra melihat ponselnya dan tersenyum lebar, dengan kepala yang mengangguk.
Menyelesaikan acara makanku dengan cepat, aku dan Mahendra memilih untuk langsung berangkat setelah berpamitan. Kami memang berjalan sesuai dengan arah ke sekolah masing-masing, namun perjalanan ku berhenti saat melihat Kayla tertawa bahagia dengan Anton, tangan mereka saling bertautan, membuat aku menepikan motor dan menatap kedua tangan itu dengan seksama.
Mengeluarkan ponsel, aku diam-diam mengambil foto Anton dan Kayla yang bertautan tangan saat menyebrang di zebra cross yang menyambungkan dengan halte. Yang berarti mereka memilih untuk menaiki kendaraan umum untuk berangkat ke sekolah.Tersenyum pahit. Aku menyimpan ponsel kembali ke dalam kantong celana.
"Jadi, sampai kapan aku harus bertahan?" pertanyaan itu terlontarkan begitu saja bersama dengan angin yang berhembus. "Siapa yang sebetulnya egois disini, aku atau kamu, Kay?" mempercepat laju motor, aku memilih untuk langsung berbelok ke tempat pertemuanku dengan Mahendra.
Menekan klakson beberapa kali, aku melihat Mahendra tersenyum cerah dengan tangan yang melambai untuk menghampirinya. Setelah memarkirkan motor, aku terdiam saat melihat Argani tengah duduk dengan rokok yang berada di apitan tangan nya.
"Hoi, yang nggak masuk sekolah tiga hari, taunya ikutan cabut?" ejek Argani dengan tangan yang mengepal ke depan, mengajakku bertosan. Tertawa kecil, kepalaku mengangguk. "Bisa aja lo." Jawbaku, membuat Argani mengeluarkan rokok dari kantung jaket jeans nya, "Rokok?"
Melirik Mahendra yang sibuk memakan mie ayam, aku mengangguk dan mengambil satu batang rokok beserta pemantik api. Menjepitkan rokok di sela-sela bibir, tangan ku bergerak menyalakan pemantik dan membakar rokok sampai terlihat bara di ujung rokok. Menyesapnya beberapa kali, kemudian membuang asapnya melalui mulut.
"Tumben, suntuk?" tanya Argani.
"Kusut, bukan suntuk lagi." Jawabku jujur.
"Kenapa, cerita lah sama kawan, nanti kalau lo selesai cerita, gue ceritain apa yang gue lihat tiga hari kemarin."
"Lihat apaan?"
"Ada deh," jawabnya dengan senyum meledek. "lo cerita dulu lah, nanti gantian."
"Nanti dulu deh, tunggu abis dulu."
"Yaudah, tungguin Adek lo kelar makan dulu kali, nanti kita pindah ke basecamp gue, nggak jauh dari sini, lumayan aman."
Mengangguk kecil, "Boleh deh, gue harus amanin itu bocah satu dulu."
"Ndu... Ndu... cabut tuh sendirian, nggak usah ajak Adek."
"Nggak bisa, sepaket gue sama dia haha."
Ponselku berdering, membuat ku mengeluarkan ponsel dan membaca nama yang tertera di layar. Melihat itu, Argani meledekku dengan lengannya yang mendorong-dorong lenganku.
"Angkat dulu kali,"
"Biarin aja,"
Menyesap rokok dalam, kemudian menghembuskan asapnya ke udara, membuat Mahendra menoleh ke belakang dan mendapati aku yang tengah merokok. "Mas!" panggilnya saat hendak menegurku, namun di urungkan saat melihat wajah kusutku. "Jangan kebanyakan, nanti ketahuan Ibu!"
"Iya."
Argani yang berada di sebelahku terkekeh. "Adek lo lucu amat, protek banget sama Mas nya." ujarnya setengah menyindir. "By the way, ponsel lo nyala mulu. angkat kali."
Melirik ponsel, tanganku mengambil ponsel setelah membuang puntung rokok yang sudah hampir habis. Menginjak puntung rokok, aku mengangkat panggilan itu dan menatap lurus ke depan.
"Kenapa?"
"Kamu lagi dimana?"
"Dirumah."
"O... kamu udah mendingan belum? Lama banget sembuhnya, kangen..."
Menggigit pipi bagian dalamku kuat. Aku mengatur deru napasku yang memburu. "Gitu ya," jawabku ambang. "belajar sana, aku tauk kamu udah mau mulai jam pelajaran nya." setelah itu mematikan telepon secara sepihak.
"Gila," decak Argani. "seorang bucin, bisa begitu."
Menunjukkan seringai kecil. "Kadang harus rasional, ke basecamp lo sekarang?"
"Boleh," menunjuk Mahendra, Argani tersenyum kecil. "Adik lo masih betah makan tuh, kayaknya." Menoleh ke belakang, aku menepuk bahu Mahendra. "Mau ikut gue atau lo mau ke Bar warnet?"
"Gue ke bar warnet aja, lo nanti nyusul."
"Iya, gue sebentar doang."
"Okelah, hati-hati lo berdua."
"Yoh!" jawabku berbarengan dengan Argani.
Menaiki motor, aku memilih untuk mengikuti Argani yang melajukan motornya dengan kecepatan yang lumayan cukup tinggi. Namun aku tidak mengikutinya, aku memilih untuk menaiki motor dengan kecapatan biasa. Melewati beberapa kali belokan, akhirnya kami berdua sampai di sebuah kosan, setelah itu Argani menyuruhku untuk masuk dengan menuntun motor.
"Ayo buruan masuk!" katanya.
"Tempat siapa nih?"
"Kosan gue, daripada ke basecamp mending ke kosan, ngadem ada AC nya."
"Bercanda aja lo, mending ke bar warnet, adem di sana."
"Kalau kita disana yang ada malah fokus push rank, gimana sih lo."
"Iya juga sih, haha."
Argani mengambil kunci dari dalam kantong celana setelah kami memarkirkan motor. Membuka pintu, Argani mengucapkan salam dan menyuruhku untuk segera masuk, beberapa kali dia menyapa orang yang menyapanya dari lantai dua.
"Masuk aja, anggap aja kosan gue."
"Emang kosan lo."
"Bercanda Ndu, gitu aja baper."
Menggeleng. Gue memilih untuk duduk di teras di banding masuk ke dalam kamar kos Argani yang terlihat sangat rapih. "Et! Masuk bego, udah kayak gelandangan aja lo di luar!"
"Buset, mulut lo!"
"Lagian lo malah di luar, gue udah ganti baju, udah cuci muka lo malah di luar."
"Curiga gue sama lo,"
"Curiga kenapa coba?"
"Lo kayak Om Om yang ada di televisi, punya niat terselubung."
Argani menganga mendengar ucapanku, setelahnya tertawa keras. "Hahaha, gila ya lo! Yakali gue doyan yang model kayak lo, mohon maaf nih, masih normal."
"Disini aja lah, malas gue masuk."
"Yaudah,"
Argani duduk di sebelahku, sebelah kakinya di tekuk dan kaki yang lain dengan posisi menekuk ke dalam seperti orang yang duduk bersila. "Jadi, selama lo nggak masuk tiga hari kemarin, Anton bener-bener deketin Kayla."
"Deketin gimana?"
"Ya deketin, dia bener-bener nempel banget, kemana-mana gandengan, rangkulan, bahkan waktu jam olahraga kemarin si Anton tiduran gitu, terus pakai paha Kayla buat bantalan."
Air muka ku bertambah masam. "Gitu ya,"
"Iya, gue cuma mau kasih tau, lo harus buat jarak antara Anton sama Kayla."
"Buat apa, mereka kan sahabatan, jadi gue nggak ada hak."
"Bedain, sahabatan mana ada yang begitu,"
"Ada,"
"Siapa?"
"Itu, Anton sama Kayla."
"Sok tegar banget lo, si Tegar aja malah nyanyi aku yang dulu bukan yang sekarang."
"Yaelah, bercanda mulu lo."
"Daripada galau mulu,"
"Yaudah, begitu doang kan?"
Argani mengangguk. Membuatku tersenyum pahit. Mengambil ponsel, membuka galeri, kemudian memotong foto Anton dan Kayla yang saling menggenggam, menyisahkan kedua tangan orang itu dengan sedikit tambahan di bawahnya.
When the trust is tested, you will make the choice to stay or leave.
Setelahnya, aku memilih untuk memasukkan ponsel dan berpamitan pada Argani untuk menyusul Mahendra yang mengatakan sudah sampai di bar warnet.
"Randu," panggil Argani sebelum aku menggunakan helm.
"Kenapa?"
"Kalau dia mau lepas dari lo, lo harus relain."
"Santai aja kali Ar, gue pasti lepasin kalau dia yang minta." Memakai helm, lalu membuka kacanya. "Gue yakin sama satu hal, jodoh nggak akan kemana. Jodoh cerminan diri sendiri, dan jodoh akan tauk kemana dia harus pulang tanpa di paksa." Tersenyum pahit, aku benar-benar melajukan motorku setelah berpamitan dengan Argani.
"Nyatanya, melepaskan itu lebih sulit daripada sekedar ucapan."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top