TR*4
"Qie ngerasa nyaman ikut umi?"
"Umi udah nggak suka marah-marah lagi kak!"
"Masa?"
"Iya, kalau minum susu sebelum tidur mau berapa kalipun umi nggak marah-marah lagi..."
"Ohya....?" Bie memicingkan matanya. Seingatnya dulu uminya kalau disuruh bikin susu berkali-kali sebelum tidur sering mengomel. Sepertinya karna kecapekan kerja dan harus bangun dari berbaring dengan mata yang berat makanya umi mereka itu bangun sambil mengomel meskipun tidak pernah menolak.
Qie sambil mejamin mata dong ngedotnya, tidurnya jangan malem-malem, besok umi harus bangun pagi, mata umi udah sepet banget...
Seringkali uminya mengingatkan setelah membuatkan susu didalam botol buat Qie.
"Qie juga nggak bandel lagi kok sekarang...."
"Ngerasa juga Qie bandel selama ini?"
"Qie-kan waktu itu masih kecil kak Bie..."
"Trus sekarang sudah besar?"
"Iya dong, kan sekarang Qie yang jaga umi gantiin abi, jadi Qie sudah besar!"
Bie memainkan mulutnya.
"Qie juga sering pijit-pijitin umi kak, gantiin abi, dulu abikan sering pijit-pijitin umi kalau kelihatan kecapekan, gantian pijit lama-lama kitik-kitikan..." Qie terkekeh sambil menerawang ke langit-langit kamar teringat tingkah umi dan abinya dulu saat masih bersama.
"Tapi Qie dulu sering gangguin-kan, abi sama umi diterjang trus dibelah akhirnya ada Qie diantara umi dan abi....." Bie menambahkan sambil menoleh menyentil pipi adiknya gemas dan mereka terkekeh bersamaan karna teringat mereka sering mengganggu kebersamaan umi dan abi mereka dulu saat mereka masih tidur sekamar berempat dan belum pindah kerumah baru.
"Kak Bie kangen lihat umi sama abi sayang-sayangan!"
"Qie juga nggak suka kalau abi sama umi sayang-sayangannya sama yang lain."
"Pokoknya nggak setuju abi sayangnya sama yang lain, kak Bie maunya abi sayangnya cuma buat umi."
"Kak Bie juga sih nyuruh abi sama umi pisah."
"Nyesel, ternyata nggak enak," desah Bie, "Trus kita harusnya gimana dong?"
"Kak Bie ikutin Qie aja, setiap ada om-om yang datang kerumah Qie jutekin..."
"Masalahnya abi yang main kerumah tante-tante bukan tante-tante yang main kesini, selama ini nggak ada tante-tante yang datang, tante Ley pun enggakkk!"
"Halangin abinya kalau mau pergi kak, pura-pura nangis ajahh..."
Pembicaraan dua anak ini terdengar sangat memprihatinkan. Anak seusia mereka harusnya tak memikirkan kedua orangtua mereka yang sekarang tak lagi bersama. Pada kenyataannya banyak anak-anak seusia mereka mengalami goncangan pasca perpisahan kedua orangtua mereka. Kasih sayang tidak sepenuhnya lagi karna terpisah dengan salah satunya. Saat umi dan abi mereka masih bersama, salah satunya pergi bekerja yang lain masih bisa menemani. Meskipun sering bertengkar, mereka juga masih bisa melihat kedua orangtua mereka bersenda gurau.
»»»»»
~ALIFTRHA~
Klik.
Kamar yang sedari tadi hanya remang-remang dengan lampu tidur kini terang benderang.
"Belum tidur juga?"
Aku masuk menghampiri dan duduk ditepi tempat tidur. Kulihat Bie dan Qie saling pandang melihat aku didepan pintu dan melangkah kearah mereka.
"Boleh abi bergabung, abi nggak bisa tidur."
Qie nampak beringsut merapat pada Bie memberi tempat buatku bergabung disatu tempat tidur. Aku merebahkan tubuhku disamping Qie hingga Qie berada diantara aku dan Bie. Tak ada yang bersuara setelahnya karna Bie dan Qie tak bisa melanjutkan obrolan seputar aku dan umi mereka. Dan mungkin sekarang bingung harus berkata apa.
"Abi minta maaf ya, sudah membuat kacau holiday kita tadi...."
Aku benar-benar merasa sangat menyesal karna membuat dua buah hatiku tak tenang dengan kehadiran oranglain. Niatku hanya untuk menyenangkan malah terkesan menjadi salah.
Tak terdengar suara lagi. Mereka tak menjawab permintaan maafku. Kamar jadi sepi karna tak ada yang bersuara. Pada akhirnya hanya terdengar dengkuran halus dari keduanya tanda sudah terlelap. Aku menarik napasnya berat ketika menoleh kearah mereka.
Aku memandangi wajah keduanya. Bie dan Qie permata hatiku. Benar-benar kedua anakku ini menjadi motivasi terbesar dalam hidup bagi diriku. Teringat dulu saat menjadi seorang anak, aku serba kekurangan. Kedua orangtuaku hanya seorang petani dan hidup mereka serba pas-pasan. Hanya karna tekad yang kuat aku berani pergi kekota untuk memasuki sekolah menengah tingkat atas dan masuk keperguruan tinggi berniat merubah hidupku. Dulu motivasi terbesarku adalah kedua orangtua. Sekarnag selain kedua orangtua merekalah motivasiku.
Ternyata bagi mereka menjalani hari terasa kurang jika tanpa ibu mereka. Aku terlalu egois merasa aku bisa membahagiakan mereka tanpa ibunya, tanpa kami harus bersama lagi. Awalnya aku tak pernah terpikir rumah tangga kami akan seperti ini. Aku sangat meyakini dia tak akan mampu tanpa aku. Dia tak akan berkeinginan untuk bercerai.
"Aku tahu hidup seperti membangun sebuah rumah, bertahap tapi memiliki tujuan, jangan pernah biarkan aku pergi dan jangan pernah meninggalkan aku separah apapun keadaannya...."
Aku yang pernah berkata seperti itu tapi aku pula yang berucap seakan menyuruhnya membiarkanku pergi. Dia tidak pernah meninggalkan aku, tetapi aku yang meninggalkan rumah karna dia yang meneriakiku untuk meninggalkannya. Harusnya kata berpisah biasanya selalu diucapkan seorang istri pada suaminya. Ini kenapa malah aku yang dengan arogan memancing kata berpisah?
Aku tahu pada prinsipnya dari awal pernikahan dia ingin menikah sekali seumur hidup. Kami sudah berjanji apapun yang terjadi akan selalu bersama-sama. Yang aku tahu dia sangat mencintai aku. Dia menerima aku apa adanya. Tentu saja setelah aku ada apanya dia takkan mungkin melepaskan aku.
Ternyata aku salah. Entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu. Aku mengucapkan kalimat yang tentu saja sangat menyakitkan untuk didengar. Tak respect lagi padanya. Aku mengatakan aku bertahan cuma karna anak-anak dan aku tak menyangka dia akan membalasku dengan ucapan seperti emosional seemosional kalimat yang keluar dari mulutku.
Drrrrtttt.....drrtttt......dddrrttttt.....
Suara handphone yang berada diatas nakas sebelah Bie bergetar dan berbunyi. Aku secepatnya meraih ponsel agar tak membangunkan mereka yang sudah tertidur.
My Mom calling
"Hallo sweethearth...."
Lagi-lagi suaranya terdengar menyapa diujung telpon. Meskipun aku tau bukan aku yang disapanya, tetaplah aku merasa dadaku berdenyut nyeri. Sweethearth. Bahkan memanggil namanya saja aku sudah hampir tak pernah. Apalagi saling memanggil nama kesayangan kami masing-masing. Lie dan Pie.
"Ini akuuu...." aku akhirnya bersuara menjawab sapaannya. Hanya helaan napas yang kudengar.
"Bie dan Qie sudah tidur..."
Klik.
Dan telponpun ditutup lagi. Aku memandang layar ponsel yang sudah tak tertera panggilannya. Dia sama sekali tak mau bicara padaku. Kenapa tidak mau hubungan tetap baik meskipun sudah berpisah? Dia selalu saja menjadikan anak-anak sebagai juru bicara jika ingin menyampaikan sesuatu atau menjawab pertanyaanku. Kalau bukan karna ada anak-anak, mungkin kami sudah tidak ada kontak sama sekali.
Aku mengutak-atik ponsel Bie. Bahkan wallpapernya saja masih photo kami berdua sedang berangkulan dengan senyum ceria. Photo yang diambil Bie ketika kami pergi ke mall dan makan disebuah tempat favorit setelah nonton setahun lalu sebelum pertengkaran hebat kami.
"Nanti kita nonton lagi ya bi..." kata Bie waktu itu.
"Sesekali nanti kita nonton film horor ya!" Usulku.
"Ah jangan horor, Qie takuttt...." sahut Qie dengan mulut penuh es krim.
"Tapi Qie kan sering minta bacain cerita horor yang dipinjem dari temen Qie sama umi..." sahut uminya.
"Tau nih Qie, sampai bayar segala itu mi seribu satu buku, besoknya diambil sama si Sholeh yang punya buku!"
"Ya tapi Qie dibacain nutup telinga nggak denger..." sahut Qie lagi dan kami tertawa. Gimana sih Qie, minta bacain tapi nutup telinga. Jadi ngapain juga sewa buku dan minta bacain kalau nggak didengerin saat dibacakan.
Aku tersenyum mengingat kebersamaan kami yang telah lewat. Apakah uminya tak pernah mengenang saat-saat manis? Atau hanya mengingat buruknya saja sehingga sedikitpun sekarang tidak pernah mau bicara padaku kecuali teramat sangat penting.
Aku mengutak-atik kembali ponsel Bie, membuka gallery photonya yang penuh dengan photo aktivitas kami. Saat melihat photo mantan istriku dalam jarak yang sangat dekat, terlihat mata hazelnya yang indah. Mata yang dulu sangat aku kagumi. Aku menelan ludahku sendiri. Sekarang begitu sulit menatap matanya yang bercahaya. Dia selalu menghindari aku. Apa aku terlalu bersalah dimatanya? Apa hanya karna sebuah screenshoot tiket pesawat yang tak mau didengar apa alasannya.
"Mikir deh, jika kamu menemukan screenshoot sebuah tiket pesawat atas namaku dan pria yang tidak dikenal, apa yang ada dalam pikiran kamu?"
Pertanyaan sebelum sumpah serapah keluar dari mulutnya sebenarnya menyadarkan aku. Tentu aku juga akan merasa curiga. Tapi aku sudah menjelaskan kalau wanita itu hanya menitip minta pesankan ketika ada sebuah acara yang melibatkan kami. Tapi dia sudah terlanjur tidak percaya. Dan sesungguhnya memang setelah itu wanita itu seperti memepet bergerak mendekati aku. Dia wanita yang sudah memiliki kekasih dan kekasihnya saat itu begitu cemburu padaku apalagi dia adalah saingan bisnisku. Aku cuma tertantang dengan ucapan pacarnya yang menghina kerjasamaku dengan wanita itu dan mengatakan, pria sekelas aku takkan bisa meraihnya karna belum punya apa-apa pada saat itu.
"Kenapa sih kamu juga sukanya main-main begitu Li? Inget lho, Pi dulu terima kamu apa adanya, susah senang sama-sama kamu, bahkan dia nggak pernah ngeluh sama mama apapun itu tentang kamu, setelah kamu sekarang berlimpah segalanya kenapa harus membuang-buang uangmu buat wanita lain?"
"Sekedar teman ma, bukan apa-apa!" tegasku menenangkan mama waktu itu.
"Tak akan ada yang masuk kedalam rumah jika kita tidak membukakan pintu ketika ada yang mengetuk, Li..."
**************************
Banjarmasin, 8 April 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top