32 · Berita
Pluto pulang dengan perasaan lelah yang lebih akut dari biasanya. Nggak cuma lelah fisik, tapi otak juga. Rasanya hari ini begitu padat, pekat, dan... berat.
Keadaan rumah yang kosong melompong juga tidak membantu. Ke mana lagi sih, Kak Tami? pikirnya.
Satu-satunya benda yang menyambut kedatangan Pluto adalah sebuah kotak paket berbungkus selotip cokelat yang tergeletak di depan pintu rumahnya—bertuliskan jelas nama kakaknya selaku penerima: Tami Sal Aditya.
Nggak mau ambil pusing, Pluto lantas mengambil paket itu sebelum masuk rumah. Paket tersebut nggak begitu berat, nggak ringan juga. Pluto menebak-nebak kira-kira apa isinya; skin care kah? Atau make-up? Hmmm, nggak biasanya Kak Tami beli barang lewat online.
Tapi meskipun penasaran, Pluto masih menghormati privasi kakaknya. Sang adik lantas meletakkan paket tersebut di meja ruang tamu.
Pluto langsung menuju kamarnya untuk rebahan. Kepalanya sudah cukup pening tanpa harus memikirkan tingkah laku kakaknya yang sekarang entah sedang berada di mana itu.
Pluto sangat siap untuk mengistirahatkan otaknya, melepaskan kesadaran ke level alpha—tidur. Begitu banyak kereta pikiran yang berseliweran dalam tempurung kepala cowok itu, tapi dia tetap berusaha memejamkan mata. Pluto lelah.
Saat napasnya sudah mulai teratur, pikiran terkendali, dan kantuk mulai menghinggapi, tiba-tiba saja kelebatan kata-kata menggema di dalam kepalanya.
"... kakak dapet info, kalau bajingan yang jadi penyebab kecelakaan Ayah sama Bunda udah bebas dari penjara..."
"... papanya Ocha itu... pernah ngebunuh orang..."
"... selama Papa menghabiskan waktu di... ekhmm—berpikir, Papa mulai mengevaluasi semuanya. Setelah akhirnya Papa... bebas, Papa memutuskan untuk menata ulang hidup Papa. Start a new life..."
Kini Pluto terjaga sepenuhnya. Berharap setengah mati kalau prasangkanya itu adalah sebuah kesalahan hakiki. Mustahil. Nggak mungkin banget kalau...
Pluto nggak sanggup menyelesaikan pikirannya sendiri. Cowok itu memutuskan semua teka-teki ini harus tuntas sampai tandas. Dan untuk itu, Pluto tau persis siapa yang harus dia temui: Melvin Tjahyadewa.
🌑
"Kenapa kamu baru cerita sekarang, Cha??"
Mama Riris mondar-mandir mengitari ruang tengah unit apartemen, sementara Kak Arta duduk di atas sofa sambil mengelus-elus Macican dengan khusyuk—berusaha menenangkan diri, terapi kucing.
"Maafin Ocha, Ma, Kak... Ocha nggak cerita karena nggak mau bikin Mama sama Kak Arta khawatir," gumam Charon sambil menundukkan kepala.
Gadis itu baru saja menumpahkan semua pada mamanya dan Kak Arta. Semuanya.
"Mbak Ris, ini kita... jadi ambil keputusan apa, Mbak?" tanya Kak Arta sambil tak berhenti mengelus punggung kucingnya.
Mama Riris masih mondar-mandir, menggigit bibir dan melipat telunjuk di dagu, tampak sedang berpikir keras.
"Solusi efektif dari tindak pem-bully-an di sekolah itu ya kita harus turun tangan langsung, Ta! Itu tugas kita sebagai orang tua Ocha. Kurang ajar memang! Bisa-bisanya anakku sampai dikurung di gudang! Kita harus usut masalah ini sama pihak sekolah!"
Mama Riris tampak geram, sementara Kak Arta menggeleng dengan yakin.
"Mbak, dipikir dulu, Mbak... si Lala itu anaknya Ketua Yayasan loh. Bakal susah kalau kita—"
"Ya terus solusinya apa lagi, Ta??" potong Mama Riris, gemas.
"Menurut aku, kita harus menghindari konflik, jaga jarak, dan jaga kontak. Pilihannya ada dua, antara Ocha pindah sekolah, atau pindah kelas."
Mama Riris tampak memikirkan betul ucapan Kak Arta barusan. Setelah beberapa detik berjalan, akhirnya Mama Riris bertanya pada Charon.
"Gimana menurut kamu, Cha?"
Mendengar namanya terpanggil, Charon sontak membelalakkan mata.
"Ocha nggak mau pindah sekolah, Ma!" Kalimat itu reflek keluar tanpa dicerna kepalanya, entah kenapa.
Mama Riris menghentikan gerakannya. "Oke... kalau pindah kelas, mau?"
Kini Charon yang fokus berpikir, menimbang-nimbang.
Kalau nggak sekelas sama Riva dan Gillian, kayaknya nggak apa-apa... Ocha masih bisa bareng mereka pas istirahat, seenggaknya masih satu sekolah, dan masih bisa ketemu.
Dan yang terpenting, Ocha nggak harus berurusan lagi sama Lala !
"Mau, Ma."
Mama Riris mengangguk setuju. Malam itu, keputusan akan nasib Charon di SMA Magella genaplah sudah.
Namun demikian, Charon masih merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.
"Ma, itu... masalah tawaran Papa... Ocha harus gimana, Ma?" tanya Charon polos setelah mamanya duduk di sofa, menghela napas.
Mama Riris menoleh ke arah anaknya. "Kamu tadi udah bener jawabnya, Cha. Mama bangga kamu bisa ambil keputusan dewasa begitu, nggak langsung percaya kata-kata papa kamu."
Charon tersenyum mendengar pujian dari mamanya.
"Nah, sekarang Mama tanya... Ocha maunya gimana? Mau ikut Mama, atau ikut Papa?"
Gadis itu terdiam, berkonsentrasi memikirkan jawaban.
Kelebatan gambar lewat di pikirannya. Gambar Papa Theo yang menampar mamanya, menjambak, menyeret, dan membentak-bentak.
berganti juga akan gambar mamanya yang selama ini bekerja keras, pulang larut, raut lelah, dan kemarin masih mau berusaha menghabiskan waktu dengan Charon, mengajaknya lunch meeting, mencuri momen ditengah kesibukan.
Charon menghabiskan beberapa detik untuk mengumpulkan pikirannya. Setelah merasa yakin, gadis itu menjawab:
"Ocha mau sama Mama aja."
Mendengar itu, Mama Riris tersenyum bangga dan menggenggam wajah manis Charon dalam kedua telapak tangannya.
"Makasih sudah milih Mama ya, Cha..." ucap Mama Riris sebelum kemudian menciumi wajah anak gadis semata wayangnya. Charon yang bertubi-tubi diserang kecupan cinta hanya bisa tertawa pasrah. Betapa dia sayang mamanya.
Malamnya, Charon berbaring terjaga di atas kasur busa yang digelar di ruang tengah apartemen. Sudah lebih dari sepuluh menit yang lalu saat dia dan mamanya saling bertukar kata "night-night", namun mata gadis itu tidak kunjung terpejam juga.
Charon kepikiran sesuatu. Pikirannya berkelana pada fakta tentang Pluto—cowok itu yang disebut-sebut Lala mempunyai kelainan jiwa, yang punya bunda seorang Psikolog. Fakta itu mengusik keingintahuan Charon, membuatnya susah tidur.
Perlahan-lahan, Charon mengambil Galaxy Flip yang terselip di bawah bantal. Dibukanya gawai itu dan mulailah Charon mengetik di mesin pencarian virtual.
Dicobanya mencari dengan keyword 'Psikolog daerah Permata Hijau', lantas muncullah beberapa nama dengan belakang gelar 'M.Psi'.
Untungnya dari situ juga terdapat alamat dan foto lokasi tempat praktik mereka, sehingga Charon bisa menelusuri identitas bunda Pluto dari bangunan yang dikenalinya.
Ketika Charon menatap foto rumah yang familiar, tempat tempo hari Charon "mencuri" tanaman Adam Hawa, terdapat keterangan tertulis di sana:
[Praktik Psikologi - Ertha Maria Aditya, M.Psi., Psikolog
4.8 ⭐⭐⭐⭐⭐ (52) · Psychologist
Permata Hijau, South Jakarta
Permanently Closed.]
Hati Charon terenyuh sepersekian sedetik ketika membaca kata 'tutup permanen' yang diketik menggunakan huruf merah.
Gadis itu lantas berinisiatif mengetikkan nama 'Ertha Maria Aditya' di mesin pencarian.
Berbagai artikel bermunculan, juga tautan pada jurnal akademis, podcast, video wawancara, seminar, hingga beberapa headline berita yang merujuk namanya sebagai narasumber.
Mata Charon membulat. Sepertinya bunda Pluto ini bukan orang sembarangan.
Gadis itu mulai menilik layar ponselnya dengan serius. Dibacanya beberapa artikel, ditontonnya beberapa video—wajahnya Bu Ertha ini cantik juga, kayak Pluto versi cewek, pikir Charon—sampai akhirnya pencarian gadis itu terhenti saat menemukan file PDF lawas berupa jurnal Tesis Bu Ertha.
Tesis. Charon langsung ingat pada Kak Gita yang menjelaskan apa itu Tesis, dengan ekspresif.
"Tesis itu tugas akhir untuk kuliah Magister strata dua, Ocha. Kayak pe-er di sekolah kamu, tapi susahhhhhhhhhh banget!"
Charon tertawa tanpa suara mengingat klien mamanya yang ajaib itu. Disetir rasa penasaran, gadis itu langsung mengunduh file PDF tersebut.
"Cognitive behavioral therapy untuk mengurangi simtom gangguan panic tanda agoraphobia pada anak usia dini..." Charon mengeja judul penelitian tersebut dengan kening berkerut. Perhatiannya nyangkut.
Apa ini? Abstrak? Summary? Keyword... panic disorder, panic attack, agoraphobia, anak.
Aduhhh! Pusing! Otak Ocha nggak nyampe...
Dengan putus asa, Charon menggulir jurnal membingungkan itu, coba memahami semampunya. Jemari Charon terhenti ketika ada satu footnote (catatan kaki) yang memberikan keterangan bahwa Subjek penelitian itu adalah anak Bu Ertha sendiri, berinisial P, yang pada waktu itu berumur 8—10 tahun.
Inisialnya P? Jangan-jangan, ini maksudnya Pluto? Apa ini berarti, bundanya Kak Pluto meneliti keadaan anaknya sendiri? Wah?!
Charon mendadak bersemangat memahami jurnal Tesis ini sebaik-baiknya. Berkali-kali gadis itu meng-Google pengertian dari kata-kata sulit yang dia nggak paham.
Yang pertama, agoraphobia.
[Agoraphobia is an anxiety disorder that often develops after one or more panic attacks.]
[Penderita agoraphobia cenderung menghindari bepergian ke ruang publik atau tempat ramai, seperti pusat perbelanjaan, bioskop, pasar, ataupun transportasi umum. —alodokter.com]
Lalu berlanjut ke kosakata lainnya. Anxiety, panic attack, CBT serta grounding.
Charon terus menekuri jurnal itu hingga lewat tengah malam. Tanpa terasa, gadis itu telah tuntas membaca jurnal sampai bagian akhir, kesimpulan.
[Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan: bahwa dengan terapi CBT (teknik kognitif, teknik guided discovery, dan exposure therapy), dapat menurunkan tingkat kecemasan Subjek, dimana bagian utama dari terapi berperan penting dalam mengatasi kondisi fobia keramaian dan tempat umum.
Hal tersebut dapat dilihat ketika subjek mengutarakan perasaannya, rileks dan santai (tidak menghindar dan mau berbaur dengan khalayak umum hingga tingkat tertentu), sehingga secara kognitif Subjek mulai terlihat perubahannya, terutama berkurangnya rasa cemas dan anxiety yang mempengaruhi perilaku Subjek.
Pada situasi tertentu, serangan panik (panic attack) masih dapat terpicu jika Subjek dihadapkan dengan keadaan ekstrim. Munculnya rasa takut atau gelisah berlebihan secara tiba-tiba ini dapat ditanggulangi dengan teknik grounding, yang terbukti efektif pada Subjek dalam meredakan serangan panik (panic attack) tersebut.]
Ingatan Charon sekilas me-rewind momen saat berjalan bersama Pluto, sambil membawa Yono dan pot tanaman, ketika Pluto tiba-tiba terlihat cemas saat mengantar Charon pulang. Waktu itu jalanan sedang ramai-ramainya.
Oh jadi ini sebabnya Kak Pluto waktu itu kelihatan nggak nyaman? Ini juga yang buat Kak Pluto nggak suka keramaian di sekolah, dan lebih milih sendirian? Pantesan...
Chaorn menghela napas. Malam itu, dia mendapat pelajaran baru, ilmu baru, dan juga pemahaman baru akan kondisi Pluto yang sebenarnya.
Entah kenapa hatinya merasa lebih tenang. Charon kemudian menguap, dia mulai ngantuk. Gadis itu mulai menutup berbelas-belas tab pada browser gawai-nya hingga sampai pada tab pencarian pertama tadi.
Ketika Charon hendak menutup tab terakhir itu, matanya terbelalak saat melihat satu headline berita yang belum dibacanya—berita itu bertuliskan kabar kematian ibunda Pluto.
[Kecelakaan Beruntun di Tol Cipularang, sepasang suami-istri asal Jakarta meninggal di tempat, 8 korban lain luka-luka. Korban tewas teridentifikasi sebagai Psikolog kllinis yang berdomisili di Jakarta Barat, EM, beserta suaminya, F.]
Dada Charon mencelus.
Tol Cipularang? ulangnya dalam hati. Kecelakaan? Jangan-jangan... ah, mustahil. Nggak mungkin.
🌑
Keesokan paginya, matahari terbit seperti biasa—tidak mau tahu akan urusan manusia-manusia yang pada hari itu sedang kalut hatinya.
Menepati perkataannya kemarin, Pluto menjemput Charon sebelum mereka berangkat sekolah. Cowok itu memarkirkan motornya di pelataran apartemen, tak lama sebelum Charon berjalan turun dan menerima helm yang disodorkannya.
Gadis itu tersenyum manis. Pluto membalas senyumannya. Dua manusia ini sedang memasang topeng terbaik mereka, menutupi hati yang sebenarnya semrawut.
"Gimana Cha? Udah baikan? Udah ngobrol sama Mama sama Kak Arta?" tanya Pluto saat Charon baru mendudukkan bokong di jok motornya.
"Iya Kak, semalam udah sharing sama mereka. Kayaknya Ocha bakal pindah kelas deh, biar nggak sekelas sama Lala lagi... dan untuk tawaran Papa kemarin, bakal Ocha tolak. Ocha mau ikut Mama aja."
"Oh gitu, baguslah," respon Pluto sembari menarik gas. Motor mereka melaju kemudian.
SMA Magellan megah seperti biasa. Pluto dan Charon juga tiba seperti biasa. Tapi ada hiruk-pikuk yang tak biasa, serta pandangan-pandangan miring yang tertuju jelas ke sosok Charon. Janggal.
"Itu bukan sih? Iya? Itu anaknya!"
"Anjir nggak nyangka gue, mukanya polos gitu padahal."
"Wah gila! Cantik-cantik lont—"
"Heh, sssttt! Ntar dia denger!"
"Ya gimana, biar aja dia denger..."
Charon tidak tuli, dia juga tidak buta. Dia bisa mendengar dan melihat kejanggalan itu begitu kentara.
"Ada apa nih, Cha?" tanya Pluto yang juga merasa heran. Charon mengangkat kedua bahunya, nggak tau.
Jawaban dari kejanggalan itu tiba ketika Riva dan Gillian berlari kearah mereka, menyambut Charon yang baru saja keluar dari parkiran.
"Gawat! Aduh, kamu udah lihat papan pengumuman belum, Cha?" tanya Riva yang tampak begitu panik.
"Belum, Riva. Ocha aja kan baru nyampe... emangnya ada apa, sih?"
Tak buang tempo, Riva langsung menarik tangan Charon menuju depan papan pengumuman. Banyak siswa Magella yang berkumpul di sana, dan ketika Charon tiba, gumaman desas-desus mengudara bagai dengungan lebah. Parah.
Terpampang jelas di papan pengumuman, penyebab utama dari semua kericuhan ini:
Charon Theodora, anak narapidana!
Charon Theodora, 'korban' pemerkosaan dan pelecehan seksual!
Ngakunya jadi korban, tapi aslinya keenakan! Penikmat Asusila!!
Hati-hati warna SMA Magella, bisa kotor nama sekolah kita karena ada sampah di kelas XI IPA 1!
BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA!!
DEPAK CHARON DARI SMA MAGELLA!!!
Tulisan itu diketik dengan tinta hitam, tebal, tercetak di kertas hasil print-out, lengkap dengan foto-foto sebagai "bukti" yang ditempel di bawahnya.
Napas Charon tercekat ketika mendapati foto lebam tangannya yang dipotret Lala di UKS, pada hari-hari pertama Charon tiba di SMA Magella. Di sebelahnya, juga ada foto Pak Theo yang mukanya ter-blur, mengenakan seragam tahanan berwarna oranye. Foto itu diambil saat Pak Theo digiring keluar pengadilan.
"Apa-apaan ini?!" desis Pluto sambil meringsak maju, merobek kertas di papan pengumuman itu beserta gambar-gambarnya.
Sedetik kemudian, cowok itu telah menarik pergelangan Charon, menjauh dari kerumunan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top