Chapter 3

Setelah insiden misterius dengan lilin, perbincangan dengan Nando berlanjut, meskipun suasana tetap terasa tegang. Kami mencoba meredakan ketidaknyamanan dengan bercanda, namun topik pembicaraan tetap berkutat pada ibu-ibu yang hilang anting.

"Dede, kita tadi ngomongin ibu-ibu yang nyari anting, kenapa, ya? Aneh banget," ujarku, mencoba merinci kejanggalan yang terasa di udara.

Nando mengangkat bahunya. "Entahlah, mungkin dia cuma kesasar. Atau mungkin dia bukan manusia biasa."

"Dede, serius. Ibu-ibu itu muncul dan menghilang begitu saja. Dan tadi waktu lampu padam, ada sesuatu yang aneh." Aku mencoba membangun argumen yang lebih serius.

Nando mengedipkan mata. "Kamu itu, aa. Mulai percaya hal-hal aneh."

Aku merasa frustrasi karena adikku tidak mengambil serius kekhawatiranku. Namun, seiring waktu berlalu, rasanya seperti ada suara aneh yang mengalun dari luar rumah. Hujan deras yang tadi mengguyur kini berubah menjadi suara nyanyian yang tak wajar.

Kami berdua mendiamkan diri, mendengarkan dengan cemas. Suara nyanyian semakin mendalam dan membuat suasana semakin gelap. Aku merasa adrenalin meningkat, dan ketakutan melingkupi hatiku.

"Dede, apa itu suara apa?" tanyaku dengan suara berbisik, takut suara itu akan mendengar.

Nando menatapku dengan serius, dan wajahnya mencerminkan ketidakyakinan. "Aku juga gak tau, A."

Lilin yang menyala memancarkan cahaya temaram di ruangan, menimbulkan bayangan yang menciptakan atmosfer misterius. Aku sengaja memilih cahaya yang minim agar suasana tak terlalu tegang, namun kekhawatiran terus menghantui pikiranku.

Duduk di sofa, aku berharap lampu segera menyala untuk mengusir ketidaknyamanan ini. Nando tetap asyik dengan gamenya, tampaknya tak terpengaruh dengan ketegangan yang melingkupi kami. Sementara itu, laptopku yang mati dan baterai yang habis membuatku merasa terputus dari dunia laporan yang kubuat.

Kami berdua terdiam dalam keheningan, diiringi suara hujan yang semakin pelan di luar. Tiba-tiba, perutku memberi isyarat yang tidak menyenangkan. Suara garukan seperti monster kelaparan bergema di dalam perutku, memberi sinyal bahwa sesuatu tidak beres.

Dengan perlahan, aku mencoba bangkit dari sofa, menyadari bahwa ke toilet adalah satu-satunya tujuan yang harus kudatangi. Nando masih asyik dengan gamenya, bahkan tak menyadari ketidaknyamanan yang kualami.

"De, bisa tolong ambilin obat di kamar aa? Kotak P3K ada di atas lemari," pintaku, sambil mengurut perut yang terasa semakin tak karuan. Meskipun hatiku dipenuhi kegelisahan, aku berharap bahwa perutku yang bergemuruh ini hanya masalah sementara.

Nando mengangkat kepalanya sejenak dari layar handphone-nya, melihatku yang tampak kesakitan. Matanya segera kembali terpaku pada permainannya, seolah-olah tidak terlalu peduli dengan kondisiku. Meski begitu, aku tahu bahwa di balik sikap cueknya itu, adikku tetap memperhatikan, karena aku melihat Nando beranjak ke ruang belakang tidak lama kemudian.

Tidak berselang lama, Nando muncul membawa sekotak obat-obatan dan perlengkapan pertolongan pertama. Langkah-langkahnya tergesa-gesa, memperlihatkan kekhawatiran yang tersembunyi di balik ekspresi santainya. Dengan tangkas, aku meraih kotak tersebut dan mulai mencari obat diare yang kubutuhkan.

"Aa kok bisa sakit perut?" tanya Nando dengan rasa penasaran, lampu senter dari handphone-nya menyoroti kotak obat.

"Gak tau, padahal kwetiau tadi gak terlalu pedes," jawabku sambil terus menggali isi kotak.

Setelah menemukan obat yang kucari, aku segera meminumnya. Rasa sakit di perutku mulai mereda, dan aku merasa lega. Kami kembali fokus pada aktivitas masing-masing.

Mengingat banyaknya nyamuk yang menggangu, aku meminta Nando untuk menyalakan obat nyamuk. Tidak lama kemudian, suasana redup dan nyaman membawa kami berdua masuk ke alam mimpi, terlelap di sofa ruang tengah.

Esoknya di pagi buta, aku terbangun oleh suasana yang penuh kegelapan dan asap hitam yang menyelimuti seisi rumah. Mataku langsung menyengat karena dampak asap yang semakin tebal, membuatku merasa sesak napas.

Aku yakin asap itu berasal dari obat nyamuk yang sempat dinyalakan semalam, tetapi anehnya, aku hanya menemukan satu buah obat nyamuk yang sudah terbakar habis.

Panik menguasai diriku, dan aku segera merespons dengan membukakan pintu dan jendela-jendela rumah secepat mungkin. Udara segar dari luar masuk ke dalam, mencoba menggantikan keadaan yang semakin tak terkendali di dalam rumah.

Aku berlari ke luar seraya mengibas-ngibaskan tangan agar asap tersebut hilang. Hujan deras dari malam sebelumnya membuat udara semakin dingin, dan aku merasakan tetesan air hujan menyentuh wajahku.

Setelah beberapa lama berusaha membersihkan asap, aku kembali masuk ke dalam rumah untuk mencari adikku. Suasana yang terasa semakin mencekam dan gelap membuatku semakin cemas.

Aku membuka pintu kamar dan mendapati Nando masih terlelap tidur. Meskipun aku lega melihatnya dalam keadaan baik, namun ketegangan tidak langsung hilang. Aku mendekati adikku itu dan dengan cemas memerhatikan suhu tubuhnya, khawatir akan dampak asap yang mungkin mempengaruhi kesehatannya.

Setelah memastikan bahwa semuanya baik-baik saja, aku duduk di ujung tempat tidur dan melihat ke sekeliling. Udara di dalam kamar Nando terasa lebih segar, tak ada jejak bau asap yang sempat memenuhi ruang tengah tadi.

Seolah kamar ini adalah benteng kedap yang tak bisa ditembus oleh gas berbahaya. Aku membiarkan pandanganku melayang ke sekitar, hingga mataku tertuju pada sebuah buku yang tergeletak tepat di samping kepala Nando.

Tanpa ragu, aku mengambil buku tersebut dan membuka halaman demi halaman. Ternyata itu adalah buku harian milik Nando, sebuah catatan perjalanan hidupnya. Setiap halaman dihiasi dengan satu foto yang di bawahnya disertai keterangan. Kenangan-kenangan tentang keluarganya terekam dalam setiap lembar.

"Ini foto liburan terakhir bersama bapa dan mama," gumamku dalam hati. Sesaat, aku terhanyut dalam kenangan yang terpancar dari gambar tersebut.

Foto itu menampilkan diriku, Nando, bapak, dan ibunya, berpose bahagia di bawah air terjun. Gambar itu diambil tepat di ulang tahunku dan Nando, satu tahun sebelum kecelakaan tragis yang mengubah segalanya.

Aku melihat ibuku, mengenakan baju merah panjang, tersenyum manis seolah menyampaikan kebahagiaan pada diriku. Aku juga melihat sang ayah yang dengan lembut mengelus rambutku, dan Nando yang erat memeluk ibunya dari belakang.

Aku terpaku, larut dalam nostalgia yang mengalir dari setiap sudut foto. Tiba-tiba, satu tepukan lembut menghantam lenganku, membawa aku kembali ke kamar yang nyaman ini.

"A?" suara Nando memecah keheningan, dia sudah terbangun dan duduk di sebelahku dengan tatapan penuh rasa penasaran. "Sekarang jam berapa? Aa gak kerja?" lanjutnya.

Sementara aku memutar otak untuk menjawab pertanyaan adikku, sorotan mata kami bertemu. Dalam tatapan itu, tersembunyi kehangatan dan kebersamaan keluarga yang mungkin sudah lama kami rindukan.

Namun, semua lamunan itu pupus seketika ketika aku menoleh ke jam di kamar Nando dan menyadari bahwa pukul enam pagi telah tiba. Tak terasa waktu telah berlalu begitu cepat, terbawa dalam aliran kenangan yang terpancar dari buku harian Nando.

Aku sebenarnya masuk jam kerja pada pukul delapan pagi, tapi urusan rumah tangga dan persiapan sarapan untuk diriku dan adikku menanti.

"Astaga, kamu buruan mandi, biar aa nyiapin sarapan." Aku bangkit dari tempat dudukku dan melangkah keluar dari kamar.

"Aku kan gak ke mana-mana, aa aja yang mandi duluan." Nando menjawab dengan santai.

"Oh, iya." Aku menyadari kebenaran kata-katanya, dan tanpa menunggu lebih lama, aku bergerak cepat menuju taman belakang untuk mengambil handuk. Dengan langkah terburu-buru, aku berlari menuju kamar mandi.

Melihat tingkahku yang tergesa-gesa, Nando hanya tersenyum kecil. Aku bisa mendengar tawanya menggema di belakang, menciptakan nuansa ringan di pagi yang semula penuh dengan lamunan.

Setelah aku selesai mandi dan berpakaian rapi, aku bergegas memanggil Nando untuk membantuku menyiapkan sarapan. Aku memberikan instruksi padanya untuk memasak nasi, sementara aku sendiri sibuk dengan tugas memasak telur goreng yang menjadi menu santapan kami pagi itu.

"Kenapa aa ngelamun?" tanya Nando sambil cermat membersihkan beras di dalam wadahnya.

"Aa tadi baca buku harian dede, jadi keinget mama sama bapa, De. Kangen," jawabku sambil fokus memotong beberapa bawang.

"Dede juga kangen, A. Cuma Tuhan kayaknya lebih kangen daripada kita, jadi mama sama bapa diambil lebih dulu." Perkataan bijak dari Nando membuatku berhenti sejenak dari aktivitas memotong bawang.

Tatapanku melayang, mencoba meresapi makna dalam kata-kata adikku yang tak biasanya berbicara seperti ini. Ada kebijaksanaan yang tak terduga terpancar dari ucapan sederhana Nando, membuatku tersentak oleh kearifan dalam kata-katanya.

Semuanya selesai dalam waktu satu jam setengah. Handphone-ku berdering beberapa kali, menandakan adanya panggilan dari seseorang. Di deringan yang ke sekian, aku baru bisa menjawabnya.

"Halo, Kak? Iya, ini aku udah siap, aku tunggu di depan." Aku segera menutup teleponku dan bergegas menyambar satu tas yang sudah disiapkan oleh Nando.

"Kak Citra?" tanya Nando.

Aku mengangguk kemudian bergegas ke luar rumah. Di luar, tampak seorang perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun, Citra.

Ia adalah rekan kerjaku di rumah sakit, meskipun kami berada di profesi yang berbeda—Citra sebagai admin rumah sakit dan aku sebagai ahli farmasi. Aku mengenal Citra sejak hari pertama bekerja di rumah sakit baru kami. Kedekatan kami semakin bertambah saat kami mengetahui bahwa kami berdua tinggal di Violet Garden.

"Telat bangun?" tanya Citra dengan senyuman.

"Ngga, Kak. Cuma ada kendala tadi sedikit." Aku menghampiri Citra yang sudah siap di atas motor maticnya.

"Lho, rumahnya gak dikunci?" Melihatku langsung menyelonong, Citra berkomentar.

"Nggak, lah. Ada adekku di dalem," ujarku seraya naik dan duduk di jok belakang motor.

"Kamu tinggal berdua?" Citra menyalakan motornya sambil menyelipkan pertanyaan itu.

Aku mengangguk, tapi suatu ketegangan terasa dalam udara. Seolah ada sesuatu yang tersembunyi, tidak dapat dipastikan. Aroma misteri yang tak terungkap, membuat perasaanku gelisah.

Citra melirikku dengan tatapan tajam seakan ingin mengungkap sesuatu yang terpendam. Suasana pagi itu penuh dengan teka-teki yang menari di udara, menambah nuansa misteri dan ketidakpastian dalam keseharianku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top