Part 52
Dean tahu, Gia tidak mau terlihat lemah di depannya. Apalagi saat ini dia sedang mengalami kesulitan, sebisa mungkin dia pasti akan menutupi masalahnya. Untuk pertama kalinya Dean terkesan dengan Gia. Perihal hubungannya dengan Jae, tepat perkiraannya, hubungan Jae dan Gia sebenarnya masih dekat.
Ternyata Jae sudah tahu semuanya, tapi kenapa Gia tidak menceritakannya padaku?
Kepala Dean menoleh kebelakang untuk melihat Gia sekilas. Mata mereka bertemu sebelum Dean membalikkan badan, menyembunyikan bulan sabit di bibirnya. Langkah kakinya semakin menjauh hingga punggung Dean menghilang di balik dinding. Setengah berlari Dean menuju area parkir.
Kepalan tangannya meninju udara, sementara pikirannya tak juga berhenti bekerja. Bukan hal yang mudah untuk memberitahu Gia soal tingkah Jae di luar sana. Apalagi saat ini hubungannya dengan Gia saat ini sedang meruncing. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk mmebongkar semuanya.
Iris mata Dean menemukan sosok mamanya masih menunggu di area parkir. Dean baru menyadari, tubuh mamanya yang semakin kurus. Sebisa mungkin Dean menutupi kegelisahan yang menguasai hatinya di depan mama agar wanita paruh baya ini tidak semakin cemas. Dean terus berlari untuk memperpendek jarak agar mamanya tidak terlalu lama menunggu.
"Dari mana aja sih? Lama banget." Berta mengulurkan tangan menyambut anak kesayangannya.
"Dari kantin Ma," jawab Dean cepat.
"Kenapa bajumu berantakan?"
"Tadi Dean jatuh Ma," Dean menghindari tatapan mata mamanya.
"Masak jatuh sampai seperti itu?" Berta tak percaya begitu saja.
"Iya Ma, maaf ya Ma nunggunya lama."
"Nggak apa-apa. Sudah ketemu sama Gia? Mana anaknya? Kok nggak dikenalin sama Mama?" Berta mengarahkan pandangan ke tempat dari mana Dean datang.
"Gia tadi pulang duluan Ma, besok aja Dean kenalin." Dean mengikuti pandangan Berta yang masih menatap ke arah kantin. "Ma, aku ambil ponsel dulu ke ruang seni ya, deket kok. Cuma disitu," Dean menunjuk ke arah bangun yang tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Oke, Mama tunggu di mobil ya, biar Mang Diman yang bawa motormu." Berta menyunggingkan senyum pada anaknya.
Sebandel-bandelnya Dean tak pernah punya keberanian untuk melawan perintah mamanya. Berta tipe orangtua bijak yang tidak langsung memarahi Dean saat anak kesayangannya melakukan kesalahan. Sebaliknya dia selalu punya cara untuk mengambil hati anaknya agar mau menuruti perintahnya. Tidak hanya terhadap anaknya, Berta juga selalu bersikap baik pada teman-teman anaknya.
Tapi Leo, Duta, Rama sekarang hampir tak pernah main lagi ke rumahnya. Hanya Tundra yang sesekali masih datang ke rumah untuk main game. Itu pun karena Dean yang minta, dia merasa kesepian setiap kali orangtuanya tidak di rumah. Ada saja alasan mereka untuk menghindari Dean.
Dean berlari saat melihat penjaga sekolah mengeluarkan kunci dari dalam saku. Tangan kirinya masih memegang handle pintu.
"Jangan dikunci dulu, Pak!" teriak Dean.
"Kenapa Mas?" tanya Rahmat, pria separuh baya yang setiap hari bertugas membersihkan lingkungan sekolah.
Brakk!
"Mas Dean nggak apa-apa?" tanya Rahmat cemas.
Salah satu kaki Dean menginjak tali sepatunya yang terlepas, membuatnya tersungkur di depan kaki Rahmat. Telapak tangannya terasa nyeri setelah menahan berat tubuhnya yang menghantam lantai. Ada lebam yang masih merah, hingga mengeluarkan cairan merah juga. Deuh! Desis Dean sambil mengusap lukanya.
"Nggak apa-apa Pak." Dean hanya menjawab pendek sambil memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Ada apa sih Mas sampai mohon-mohon gitu sama saya?" Rahmat menahan tawa.
"Hish! Ngapain juga mohon-mohon Pak. Saya mau ambil ponsel sebentar, jangan dikunci dulu."
"Ponsel apaan sih Mas?" tanya Rahmat polos.
Gantian Dean yang menahan tawa, "Tuh sama kayak yang di saku Pak Rahmat."
"Ini HP Mas bukan ponsel."
Sekarang tawa Dean benar-benar meledak. "Ponsel itu ya HP, Pak. Emang Bapak pikir apa?" Dean melenggang ke dalam ruang seni, "Sebentar ya Pak, ponsel eh HP saya ketinggalan di dalam."
Rahmat hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tangan kirinya yang sudah mulai keriput mengambil kotak kecil yang terselip di saku kemejanya. Garis-garis hijau terlihat menjulur besar di bawah kulit arinya, menunjukkan bahwa selama ini dia bekerja sangat keras.
"Nih Pak, udah. Makasih," kata Dean tak lama kemudian yang sudah melangkah keluar dari pintu.
"Nggak ada lagi yang ketinggalan Mas?" Rahmat menutup pintu di belakang Dean sebelum memasukkan anak kunci ke dalam lubang pintu. Dean sudah tak menghiraukan panggilannya saat Rahmat melihat sesuatu jatuh dari sakunya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top