Part 38
Ajakan Pak Sofyan memberikan efek yang luar biasa. Aliran darah yang menyusuri setiap syaraf terasa lebih hangat. Tubuh Dean tak lagi menggigil meski celananya masih basah. Ujung jarinya memberikan efek bahagia yang tak dapat diabaikan saat menyentuh permukaan cat yang sudah kering. Selama ini Dean sering mengamati lukisan Pak Sofyan tapi tak pernah berani menyentuhnya sama sekali.
Dean coba menemukan teknik yang digunakan Sofyan melalui gradasi warna. Emosi yang dirasakan pelukis bisa dirasakannya dengan mengamati permainan warna yang meliuk di setiap penggunaan warna terang. Dean juga bisa merasakan penurunan emosi saat menemukan lukisan lain yang menggunakan permainan warna lembut. Kepekaan dalam menilai lukisan dilatih Dean kecil, melalui berbagai jenis karya yang dilihat setiap kali mengikuti kakek menghadiri pameran lukisan.
Bukan berarti sejak kecil Dean memang termasuk siswa dengan ranking urutan paling bawah. Meski tidak berada ditingkat paling atas juga, Dean tidak pernah luput dari peringkat tiga besar. Tapi sejak kejadian itu, penyesalan selalu mengikuti kemana pun dia pergi. Bahkan Dean sudah tidak peduli lagi dengan nilainya yang terus menurun.
Nama Dena selalu terselip disetiap angka yang ditemukannya di buku pelajaran. Ingatan ini membuat Dean tak sedikit pun ingin menyentuh buku pelajarannya. Ada saja yang dilakukannya untuk membuat guru lesnya tidak bertah berlama-lama di rumahnya. Seribu alasan juga dibuatnya setiap kali mamanya menanyakan kehadiran guru lesnya.
Setiap kali jadwal les tiba, Dean lebih sering mengurung diri di ruang lukis. Dean menikmati setiap detik saat jemarinya menari di atas kanvas. Menyendiri menjadi satu-satunya cara untuk berdamai dengan masa lalu. Tak sehari pun bisa dilewatkan tanpa menghabiskan waktu di ruang lukis.
Keputusannya untuk menyetujui ide Bu Yustin kembali melintas dalam benaknya. Benarkah keputusan yang sudah diambilnya? Apakah dia akan betah bersama Gia tanpa bertengkar dalam waktu yang lama?Masih ada waktu jika dia ingin berubah pikiran, tapi ini kesempatan terakhir untuk memperbaiki masa depannya.
Jemari Dean terus menyusuri setiap sisi lukisan wanita yang sedang memegang satu buket bunga. Cat yang disentuhnya seperti berbicara, Dean merasakan dari ujung jarinya. Aura feminisme semakin kental terlihat pada setiap perubahan warna yang terkesan lembut tapi tetap hangat. Seulas senyum terbit di bibir Dean. Hatinya mencelus, retinanya justru menangkap wajah Gia dalam wajah wanita yang ada di dalam lukisan. Namun hanya dalam hitungan dua denyut nadi bayangan itu kembali menghilang.
"Gimana Dean? Sudah ada ide?" Suara Pak Sofyan memecah lamunannya.
"Sudah, Pak. Saya akan buat secepatnya." ucap Dean mantap.
"Oke sip," Pak Sofyan mengcungkan jempolnya. "Oh iya, nanti ada harga khusus deh catnya buat kamu." Senyum Pak Sofyan mampu menciptakan binar di mata Dean.
"Serius Pak," mata Dean membulat sempurna.
Kata ajaib yang diucapkan Pak Sofyan ini tentu sangat berarti buat kantongnya yang sedang menjalani hukuman. Meski Dean bisa meminta apa saja yang diinginkan, tapi mamanya tak segan memotong uang saku jika nilainya tak ada progress sama sekali. Tanpa sepengetahuan Dean, mamanya tak pernah absen memantau nilai ulangan Dean di sekolah.
"Iya, saya akan bilang sama Nita." Pak Sofyan tak menghiraukan senyum yang kembali mengembang di wajah Dean. Langkahnya menuju kasir diikuti Dean, "Sepertinya hujan sudah reda, saya harus pergi dulu." Pamit Pak Sofyan setelah mengatakan sesuatu pada pegawai kasirnya.
"Oh iya, Dean, kamu bisa menghubungi saya di sini kalau lukisan sudah siap." Sofyan menyodorkan sebuah kartu nama.
"Baik Pak," Dean menerima sebuah kartu berukuran kecil yang diulurkan Pak Sofyan.
Langkah Dean mendekati etalase yang memajang berbagai jenis cat warna untuk kanvas. Matanya menyusuri deretan benda berbentu panjang bulat yang disusun rapi. Dean masih menyusuri etalase yang terletak tidak jauh dari kaca jendela. Perhatiannya teralih sejenak pada bayangan yang ditangkapnya di luar jendela.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top