11
•
•
Selamat membaca
•
•
GHINA berusaha menunduk dalam-dalam, bersembunyi dari tatapan dan kerutan dahi banyak orang saat dia berjalan menuju kantor Pak Gunawan. Berapa hari dia bekerja di sini? 2 hari, dan selama itu dia bolak-balik ke ruangan direktur operasional. Banyak selentingan? Banget. Ghina berusaha tidak dengar, tapi tetap saja mendengar. 'Itu arsitek baru rekrutan Pak Gun, tumben ya Pak Gun berani rekrut-rekrut orang, langsung masuk lagi.' 'Jangan-jangan ada apa-apa sama Pak Gun. Doi Arsitek cewek, muda, langsung mau diikutin ke proyek penting. Mencurigakan nggak, sih?' Dan masih banyak lagi.
Dunia kerja lebih kejam daripada dunia belajar.
Abaikan, Ghina! Abaikan! Lo di sini pure kerja. Bodo amat sama mereka, toh, bukan mereka yang bayar lo! perintah suara di kepalanya. Jangan nunduk! Lo nggak melakukan yang dituduh! Angkat dagu, lurusin bahu, jalan dengan percaya diri!
Ghina melakukan semua yang diperintahkan otaknya, menghela satu napas pajang. Lalu berjalan dengan pecaya diri sampai ke ruang Pak Gunawan, mendorong pintu, dan langsung disambut teriakan antusias Pak Gunawan. "Ghina! Ghina! Masuk. Kita nunggu kamu dari tadi."
Ghina mengambil napas dalam-dalam, mengelap telapak tangannya yang bekeringat ke celana cropped hight waist, lalu masuk. Dia tidak menyangka, sudah ada orang lain di ruangan itu. Yang dikenali Ghina sebagai arsitek senior di kantor ini, dengar-dengar juga paling tegas.
"Duduk. Duduk," kata Pak Gunawan terlihat lebih semangat dari biasanya, mengarahkan dia duduk di depan meja kerja Pak Gunawan—di samping si arsitek senior. "Ini Steven. Kemarin itu, kalian nggak sempat ketemu. Kebetulan Steven sedang ke Bali, riset di sana. Ingat kan, Pak Alby meminta kamu bergabung ke proyek resort di Ubud. Nah... Steven yang memimpin tim Ubud."
Entah kenapa Ghina menahan napas sambil melirik pria di sebelahnya, lebih tua darinya—tidak setua Pak Gunawan, mungkin pertengahn tiga puluh. Meski terlihat santai dengan kemeja putih tanpa dasi, yang dilapisi crew neck sweaters, dan celana jins hitam. Terlihat trendy dengan model rambut brushed on top, yang dibiarkan berantakan. Namun, dengan kedua alis naik dan pandangan meneliti sekaligus sedikit mengejek. Ghina merasa sedang dihakimi.
Ada apa sih dengan orang-orang di sini? Baru dua hari melihatnya, tapi menilai seolah sudah tahu di batas mana kemampuannya. Ghina memiringkan posisi duduknya, mengulurkan tangan pada Steven. "Selamat pagi Pak Steven, saya Ghina. Salam kenal."
Steven membiarkan dia menunggu, tidak cukup lama dengan bantuan deham Pak Gunawan, lalu menyambut uluran tangannya. "Salam kenal," ucapnya. Kemudian, melepaskan tangan Ghina cepat-cepat.
"Jadi..." Pak Gunawan menepuk ujung meja, entah berusaha menarik perhatiannya dari sikap kurang ramah Steven atau ingin kecanggungan hilang dari ruangan ini. "Proyek Ubud ini, bisa dibilang proyek penting kantor kita. Yang memesan klien abadi, sekaligus kolega dekat bos-bos kita." Ghina segera memusatkan perhatian. "Karena itu—"
"Saya nggak mau buat kesalahan," potong Steven.
"Stev!"
"Lebih sedikit basa-basi, lebih cepat urusan ini selesai," kata Steven lagi. Dan Ghina cuma bisa memandang Steven dan Pak Gunawan bergantian, sambil berdoa dalam hati tidak mendengar kalimat; Saya tidak percaya kamu, jangan harap masuk tim kami. "Saya perlu diyakinkan." Steven memutar kursi ke arahnya dengan cepat, dan Pak Gunawan duduk tegang di seberang meja sana.
"Hah?" Sialan! Kenapa itu yang keluar Ghina? Ghina ikut memiringkan kursi, menyamakan posisi. "Maksud Bapak?"
"Sebelum ke proyek besar, tangani proyek kecil dulu." Steven mengedikkan pundak. "Ada proyek baru masuk ke saya, menangani lahan sempit untuk dijadikan paviliun keluarga. Sudah ada rumahnya, si klien cuma mau tambahan paviliun dengan memanfaatkan lahan samping rumah utama. Di Jakarta."
Sebelum menyahut Ghina melirik Pak Gunawan, mengira akan melihat kekhawatiran di mata pria itu. Tidak ada. Pak Gunawan terlihat tertarik dan semangat, sangat yakin Ghina mampu menangani itu. Berbading terbalik dengan dirinya.
"Seberapa sempit lahan itu?" Ghina jarang bermain dengan lahan sempit, sesaat dia merasa ragu dengan ini. Namun, dia tidak mau melepas proyek besar di Ubud.
"Saya belum meeting sama si klien. Kalau kamu berani ambil, kamu ikut meeting sama saya. Sore ini, sekitar jam 4. Kalau nggak, ya—kemampuan kamu nggak se-wah yang dibilang Pak Gun."
Tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring, tepat saat Ghina siap menjawab. Suara Upin Ipin yang memberitahu ada telepon masuk, membuat dua pria itu mengerutkan kening. Shit! Kenapa gue lupa silent nih handphone?! Sejak pagi Ghina menunggu kabar bapaknya, saking takutnya terlambat mengetahui hal-hal penting, dia sengaja menyetel volume ponsel paling kencang. Tidak tahu bakal ada panggilan penting seperti ini
Ghina menjatuhkan tangan ke sisi kiri blazer, memencet asal benda pintar itu—yang penting suara dua bocah hilang. Ghina tersenyum kaku. "Maaf, Pak. Tentang proyek itu, jujur, saya jarang... hmmm... hampir nggak pernah bermain di lahan sempit. Tapi, saya terima."
Steven berdeham, Pak Gunawan tersenyum puas.
"Kamu---"
"Saya pasti memberikan yang terbaik untuk proyek ini, dan membuktikan saya memang layak gabung ke perusahaan ini. Bukan cuma karena beruntung sudah bertemu Pak Gunawan, tapi kemampuan saya juga mumpuni." Tanpa mengurangi kesopanan, Ghina memotong Steven, yang masih terlihat ragu padanya.
Kemudian, suara Upin Upin kembali terdengar. Kerpecayaan dirinya merosot, pikirannya tentang pekerjaan meluntur, digantikan semua tentang Bapak di Batu. Dan sepertinya, dua pria ini tidak ingin menyelesaikan pembicaraan dengan cepat. Lagi. Dengan berat hati, tanpa melihat siapa yang menghubungi, Ghina memencet asal ponsel.
"Keputusan sudah diambil," seru Pak Gunawan. "Stev?"
Kalau Ghina tidak salah lihat, Steven memutar bola mata malas sebelum mengangguk pasrah. Dan rasanya Ghina sudah bisa menebak akan seperti apa hari-harinya di kantor ini. Memusingkan. Mungkin Steven akan mati-matian mencari celah sekecil apa pun untuk mengatakan pada dunia, dia tidak layak. Sialan!
Steven dan Ghina kompak berdiri dan meninggalkan ruang Pak Gunawan. Steven terlihat gentel, membukakan pintu dan meminta dia keluar lebih dulu. Namun, setelah mereka benar-benar keluar...
"Selama kamu bekerja di bawah saya, dilarang menggunakan handphone," tegas Steven, dengan suara sangat kencang. Beberapa kepala langsung menyebul, mengitip dari Batasan kubikel. "Mengerti? Hal di dalam sana, nggak professional!"
Ghina membuka mulut, tetapi Steven sudah memunggunginya dan menjauh begitu saja.
Mungkin, semua hanya perasaan Ghina saja. Namun, dia merasakan seringai-seringai puas di belakangnya. Dengan punggung tegak Ghina pergi menjauh dari keramain, menuju ke pintu darurat. Lalu, duduk di ujung pijakan terakhir tangga turun dari lantai 3.
Dengan lesu dia menarik ponsel dari saku blazer, seperti dugaan Ghina—dari Gerry. Dia bergegas menelepon, tapi tidak diangkat. Ketakutan demi ketakutan memenuhi pikiran Ghina. Apa yang terjadi sama Bapak? Bagaimana kondisi Bapak? Semakin baik, atau buruk? Kenapa Gerry tidak mengangkat telepon?
"Fuck!" desis Ghina, menjatuhkan kening ke kedua lutut dengan kedua tangan terjatuh di sisi-sisi kakinya.
Rasanya Ghina ingin segera pulang ke Batu, tetapi melakukan itu sama saja bunuh diri. Dengan status karyawan baru, banyaknya omongan tidak enak, diragukan sana-sini. Tiba-tiba minta cuti, tidak tahu neraka apa lagi yang akan menyambut.
Ada derap langkah dari lantai satu, Ghina jadi bergegas untuk meninggalkan tempat ini—menyudahi acara meratapi nasib. Belum juga dia berdiri, si pemilik langkah lebih dulu muncul dan berdiri di hadapannya.
Si pemilik langkah terlihat kaget sepersekian detik, lalu kembali datar dan dingin. Ghina mengerjap beberapa kali sebelum berkata, "saya nggak tahu kenapa akhir-akhir ini dunia saya berasa kecil banget. Selalu ada Dokter Alfa, di mana pun, kapan pun." Ghina menepuk lutut dua kali, lalu berdiri. "Stop! Jangan buka mulut! Hari saya lagi buruk, nggak minat nambahin buruk dengan kalimat pecel karet dua ala Dokter Alfa."
*
*
*
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa comment dan vote yang buanyakkkkkkkkk, kalau bisa dishare juga--biar teman-teman kamu yang lain ikut baca. ehehhehe.
Buat info ttg novel2 aku, spoiler, dll. Kalian bisa follow ig
Bagaskarafamily
Flaradeviana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top