Bab 26: Manusia itu Aneh

"Aiden, kamu jadi masuk tim basket gantiin Reynand?"

Tiba-tiba seseorang menghampiri Aiden dan menduduki bangku taman yang sama dengannya. Aiden tidak terlalu mengenalnya meski mereka satu kelas. Akan tetapi, papan namanya cukup untuk Aiden mengenal anak itu. Albir.

"Kenapa aku harus menggantikan Reynand?" Aiden balik bertanya.

"Bukannya kamu udah direkrut sama Deva?"

Aiden termangu. Dua hari tidak masuk sekolah, sepertinya Xavier sudah melakukan banyak hal menggantikan dirinya. Bahkan, sekarang saja anak cowok ini berani mengajaknya mengobrol. Padahal, biasanya tidak ada siapa pun yang mau bertegur sapa dengan dirinya. Kalaupun ada yang bicara padanya, yang terlontar hanya kata-kata ejekan.

"Aku gak bisa main basket," ujar Aiden sembari mengarsir bagian rambut dari gambar yang dia buat.

"Kamu merendah untuk meroket, ya? Semua orang udah lihat videonya, kok."

Aiden tertegun dan menoleh pada anak cowok yang duduk di sebelahnya. Dia sedang menyedot susu kotak rasa stroberi sembari memperhatikan gambar Aiden.

"Video apa?" tanya Aiden.

"Video waktu kamu masukin bola ke ring dari luar garis lapangan."

Napas Aiden menyembur pelan. Ternyata Xavier bertindak sampai sejauh itu. Tiba-tiba Aiden bertanya-tanya, apakah Xavier menikmati masa-masa sekolahnya?

"Kamu pandai menggambar." Anak cowok itu kembali berujar.

"Enggak terlalu pandai, kok."

Aiden fokus lagi pada gambar yang sedang dia kerjakan, sebelum akhirnya seseorang datang mengalihkan perhatian.

"Wah, apa-apaan, nih? Kamu punya teman baru lagi? Udah pandai bersosialisasi, ya sekarang?" ujar Reynand seraya membelah celah di antara Aiden dan Albir kemudian duduk di tengah-tengah.

"Duh, sempit banget!" Albir mengomel dan akhirnya berdiri. Dia kemudian pergi setelah melambai pada Aiden sebentar.

"Kamu lagi gambar siapa? Kenapa mukanya beda sebelah?" Reynand menunjuk tablet Aiden, tepat pada wajah yang dia gambar. Sebelah wajahnya datar dan berkacamata, sebelah lagi sedang tersenyum lebar sampai matanya menyipit membentuk bulan sabit.

"Yang kiri manusia biasa, yang kanan tokoh novel," jawab Aiden membuat Reynand menoleh dan memandangnya lama.

"Kenapa?" Aiden bertanya dan balik menatapnya.

"Kamu lagi bikin komik?"

Aiden menggeleng. "Enggak."

"Kenapa manusia biasa sebelahan sama tokoh novel? Wajahnya sama pula. Ekspresinya doang yang beda."

Aiden terdiam, bingung harus menjawab apa. Akhirnya, dia memilih mengalihkan pembicaraan dengan bertanya, "Kenapa tim basket cari pengganti kamu?"

Setelah menghela napas, Reynand menjawab, "Mereka memang perlu anggota baru."

"Mereka udah gak butuh kamu? Kenapa cari yang lain?"

Reynand memegang dadanya dan berujar, "Wah, kamu benar-benar gak punya perasaan."

Aiden terdiam lagi. Selain tiba-tiba ada seseorang yang mengajak dirinya mengobrol, sepertinya dia juga ketinggalan banyak informasi yang membuatnya makin bingung.

"Kamu sendiri gimana? Mau masuk tim basket? Aku dengar kamu yang direkrut," kata Reynand sambil menendang-nendang rumput dengan ujung sepatunya.

"Aku gak tertarik."

Reynand tertawa kecil. "Karena kamu yang ngomong, aku senang dengernya."

"Kenapa?" Aiden menatap Reynand yang menunduk sambil memandang rumput yang dia tendang.

"Karena kamu ngomongnya pasti jujur. Bukan karena merasa gak enak sama aku."

"Kamu masih ingin di tim basket?"

"Aku bodoh dalam hal apa pun kecuali basket."

Aiden terdiam cukup lama untuk memahami perkataan Reynand.

"Itu artinya kamu akan sedih kalau kehilangan posisi di tim basket?" tanya Aiden kemudian.

Reynand menoleh. "Wah, kamu udah pandai memahami perasaan orang lain, ya, sekarang?" Senyum samar tampak di bibir Reynand.

"Jadi tebakanku benar?"

Reynand berdecak dan memukul pelan lengan Aiden. "Semua orang juga bakal bisa menebak dengan mudah."

"Tapi aku enggak."

"Memangnya sebelum ketemu jawaban yang barusan, tadinya kamu menebak apa?"

"Jawaban yang paling mudah adalah ... karena emang gak ada yang bisa kamu lakuin lagi kecuali basket. Sama halnya denganku kalau gak ada yang bisa dimakan kecuali mi instan. Itu aja yang aku pilih daripada repot cari yang lain."

Reynand tergelak. "Gitu amat analoginya."

Tawa Reynand tidak berlangsung lama. Aiden bisa melihat raut wajah Reynand berubah lagi saat dia kembali menunduk.

"Terus kenapa kamu bisa menyimpulkan kalau aku bakal sedih?" tanya Reynand.

"Om Alfi bilang, manusia kadang suka menyembunyikan makna lain di balik ucapan mereka."

"Terus kenapa kesimpulannya harus sedih?" Reynand menoleh. "Siapa tahu aku malah bahagia?"

"Yang namanya kehilangan, gak ada yang bahagia."

Reynand ternganga. "Hei ... aku rasa kamu lebih peka daripada orang normal, deh."

"Ada rumusnya. Terluka sama dengan sakit. Kehilangan sama dengan sedih. Jatuh cinta sama dengan bahagia. Aku mempelajari itu."

Menganga lagi, Reynand tidak berkata apa-apa. Hanya terdengar gelak tawa setelah beberapa saat.

"Tapi ...," kata Aiden membuat tawa Reynand berhenti, " ... aku gak mau pakai rumus-rumus itu lagi. Soalnya gak semuanya bisa dipakai buat menemukan jawaban yang benar."

"Iya, sih. Jatuh cinta gak selamanya bahagia. Kalau kamu jatuh cinta sama orang yang gak bisa kamu miliki, pasti sakit juga ujung-ujungnya."

"Tuh, kan?"

Reynand terbahak lagi. Dia menepuk-nepuk punggung Aiden.

"Reynand, terima kasih," ujar Aiden membuat tawa Reynand berhenti seketika.

"Buat?"

"Dibanding dulu waktu gak punya teman sama sekali, aku bisa memahami lebih banyak hal sekarang."

Reynand tersenyum. "Lihat, kan? Kalau dulu aku gak memutuskan buat jadi teman kamu, apa yang akan terjadi?"

"Aku masih punya Luna sama Dean, kok."

Mata Reynand tiba-tiba mendelik. Dia berdecak kemudian pergi. Aiden menatap punggung Reynand sambil menggumam, "Salah ngomong lagi."

Setelah menghela napas panjang, Aiden kembali pada tabletnya. Hingga seseorang terdengar berujar di sampingnya sambil duduk tiba-tiba.

"Reynand kenapa mukanya kusut gitu?" tanya Luna.

"Mungkin marah padaku."

"Kenapa?"

"Enggak tahu."

Terdengar semburan napas Luna dan kepalanya geleng-geleng. Perhatiannya kemudian tertuju pada tablet di tangan Aiden.

"Wah, sejak kapan kamu menggambar?" Luna bertanya dengan mata agak membeliak.

"Sejak bercita-cita jadi ilustrator picture book-nya Papa."

Luna terdiam.

"Tapi semuanya berakhir sebelum aku debut," lanjut Aiden.

Luna tersenyum samar dan menepuk lengan Aiden. "Hei! Apanya yang berakhir? Kamu masih bisa jadi ilustrator walaupun bukan untuk buku papa kamu."

Aiden tidak menjawab dan hanya menunduk menatap tabletnya.

"Kamu gak berpikir buat berhenti menggambar, kan?" tanya Luna.

Aiden menoleh. "Kenapa tanya gitu?"

"Aku khawatir aja."

"Aku gak berhenti menggambar, kok. Sekarang aku menggambar sebagai latihan."

Luna mengernyit. "Latihan?"

"Papa dan Om Alfi mengajari berbagai ekspresi melalui foto atau video. Lalu aku menggambarnya biar ingat."

"Itu bisa bikin kamu sembuh?"

"Mmm ... ya, mungkin. Tapi sebenarnya ini lebih berguna untuk bersosialisasi aja."

"Tapi muka kamu tetap lempeng, tuh."

"Karena manusia itu gak jelas. Gak semua orang bilang marah kalau dia lagi marah, atau bilang sedih kalau dia lagi sedih."

"Kalau orang bilang dengan jelas bagaimana perasaannya, itu lebih mudah buat kamu?"

Aiden mengangguk mantap.

"Misalnya aku bilang lagi sedih, kamu bakal ngapain?" tanya Luna.

"Katanya salah satu cara menghibur orang yang lagi sedih adalah mengajaknya melakukan hal yang dia sukai. Aku akan mengajak kamu ke toko buku, terus baca buku di pojokan kayak waktu kecil dulu."

"Tapi kalau lagi sedih, kadang aku cuma mau berbaring di kasur sambil dengerin lagu sedih sampai ketiduran."

"Tuh, kan? Kenapa, sih, manusia itu aneh?"

Luna tergelak. Dia kemudian mengambil tablet dari tangan Aiden dan memperhatikan gambarnya dengan saksama. Diangkatnya tablet itu dan dia bandingkan dengan wajah Aiden.

"Ini kamu sama Xavier?" tanyanya.

"Kok, bisa tahu?"

Luna berdecak. "Kelihatan banget dari ekspresinya."

"Ngomong-ngomong, Xavier ngapain kalau gak sekolah?"

"Paling dia main sama kucing kalau udah selesai bersih-bersih."

Aiden terdiam sejenak sampai akhirnya bertanya, "Jadi, kamu udah jatuh cinta sama Xavier?"

Luna menoleh. Kedua bola matanya membulat sampai Aiden bisa membandingkannya dengan biji jengkol.

"Jangan bahas masalah itu lagi!" tegas Luna.

"Dia bisa mati—"

"Eh, itu siapa?" Luna tiba-tiba memotong perkataan Aiden dengan menunjuk dua orang gadis yang berdiri lumayan jauh dari tempat mereka duduk.

"Aku gak terpengaruh walaupun kamu mengalihkan pembicaraan. Xavier bisa mati."

"Felly! Ya ampun! Dia berantem sama siapa?"

Barulah perhatian Aiden teralihkan dan dia menoleh pada gadis yang ditunjuk Luna. Salah satunya memang Felly, tetapi satunya lagi Aiden tidak kenal. Luna bergegas bangun dari posisinya dan berlari menghampiri dua gadis yang saling jambak itu. Aiden pun ikut menyusul bersama orang-orang yang mulai berkerumun. Luna berusaha melerai kedua gadis itu sambil teriak-teriak meminta bantuan agar mereka memanggil guru. Aiden menoleh ke arah samping ketika seorang gadis memelesat dari kerumunan, berlari untuk melapor. Sementara itu, dua gadis yang menjadi pusat perhatian baru saling melepas jambakan setelah Luna dibantu seorang cowok untuk melerai mereka.

"Felly, apa-apaan, sih, pake berantem segala?" Luna mengomel sambil memegangi sahabatnya itu. Sepertinya dia takut Felly kembali melancarkan serangan.

"Dia cewek yang bikin Reynand didepak dari tim bakset!" Felly menunjuk lawan di hadapannya.

"Terus apa masalahnya sama kamu?" Sang lawan berteriak dan maju selangkah, tetapi orang-orang di sekitarnya menahan.

"Masalahnya, kamu bikin orang gak bersalah menerima hukuman karena fitnah!"

"Felly, kamu tahu dari mana kalau itu fitnah?" Luna menyela.

"Aiden yang bilang."

Sontak saja semua mata kini tertuju pada Aiden. Sementara itu, Aiden hanya mematung di tempatnya tanpa ekspresi apa-apa.

"Kapan aku bilang begitu?" Jujur saja, Aiden tidak mengerti kenapa dirinya jadi disangkutpautkan.

"Tadi kamu sendiri yang bilang, kan, kalau Reynand sebenarnya dijebak?" kata Felly.

Aiden terdiam dan berpikir keras. Mungkinkah Felly bertemu dengan Xavier? Itu artinya, hari ini Xavier datang ke sekolah. Tapi buat apa? Kenapa Luna juga tidak bilang apa-apa?

"Dijebak gimana? Aiden, jelasin, dong!" celetuk seorang siswa.

Aiden hanya bisa menoleh tanpa menjawab apa-apa. Dia saja baru dengar sekarang tentang masalah ini. Bagaimana bisa menjelaskan?

"Beneran, kok. Reynand dijebak. Dia yang bilang sama kami." Tiba-tiba suara Dean menyelamatkan posisi Aiden yang terpojok.

Anak-anak jadi riuh, dan salah satu dari mereka bicara dengan suara lebih keras, "Jangan asal nuduh, dong. Buktinya apa kalau dia dijebak?"

"Bener, tuh," timpal yang lain.

"Kalau mau bukti, tanya aja sama ceweknya." Dean melangkah pelan menuju gadis yang wajahnya nyaris tertutup rambut acak-acakan. "Apa kamu udah bosen sama Deva tapi gak punya alasan buat mutusin dia makanya jebak Reynand?"

Gadis itu tertawa. "Kamu ngomong apa?"

Dean memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan mengedarkan pandangan seraya berujar, "Detektif Lambe udah menerima laporan, dan dia akan segera mengunggah buktinya. Pantengin grup kesayangan kita, ya."

Setelah mengatakan itu, Dean menyeret Luna, Felly, dan Aiden meninggalkan kerumunan. Namun, Felly tidak bisa ikut dengan mereka karena tertangkap guru BK. Dia dibawa bersama lawannya untuk mempertanggungjawabkan perbuatan. Aiden menghentikan langkah dan menahan Dean untuk menanyainya sesuatu.

"Ada apa ini? Aku gak ngerti apa-apa," ujar Aiden.

"Kenapa Felly bilang tahu dari Aiden? Apa Aiden yang dia maksud itu Xavier?" Luna juga ikut mencerca Dean dengan pertanyaan.

Dean menghela napas dan menggaruk kepalanya. "Ini gara-gara Xavier yang bikin kekacauan. Aku kira dia nelepon aku pakai handphone Ayah dan merengek minta ke sini beneran cuma karena bosan dan pengen main. Eh, mainnya kejauhan sampai nyari Detektif Lambe segala."

"Detektif lambe?" Aiden makin tidak paham dengan apa yang terjadi.

"Admin akun lambe yang biasa mengunggah gosip di grup sekolah," jawab Dean sembari menyandar di tembok.

"Terus, ketemu?" Luna menatap kakaknya serius.

"Enggak. Dia cuma ketemu Felly dan menyebabkan kekacauan ini."

"Terus kenapa Kak Dean ngomong kayak gitu tadi?" Luna bicara sambil mengentakkan kaki.

"Aku cuma meredam kekacauan."

Luna menghela napas dan memijit pelipisnya.

"Terus sekarang Xavier ke mana?" tanya Aiden.

"Dia aku simpen di warung belakang sekolah. Nanti baru aku jemput kalau mau pulang," jawab Dean.

"Emang dia ke sini naik apa?" Luna bertanya lagi.

"Aku pesenin ojol."

Luna menghela napas sambil geleng-geleng.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top